Bumi Bratasena dan Kuasa Pemodal
Monday, April 18, 2016
Add Comment
Hari ini, Senin (18/4/2016) pukul 13.00 perwakilan petambak dari desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna mengadukan nasibnya ke Komnas HAM. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya Jumat (15/4/2016) terjadi kekerasan dan pengusiran terhadap 66 petambak dan keluarganya, karena dianggap melawan perusahaan Central Pertiwi Bahari (PT. CPB) dan tokoh-tokoh petambak pendukung perusahaan.
Selain diusir rumah-rumah mereka juga dirusak. Tidak hanya berhenti di situ, Sabtu tanggal 16 April 2016 pihak pendukung perusahaan melanjutkan penyisiran petambak yang dianggap menentang, hingga kini tercatat sebanyak 58 KK terusir dan terpencar dalam pengungsian di berbagai tempat.
Persoalan konflik petambak di Bumi Bratesana sebenarnya bukanlah persoalan baru, kisruh itu sudah dimulai sejak tahun 1993 ketika pertama kali PT. CPB datang ke Bratasena dan mengundang para petani tambak pada pertemuan di Dusun Sungai Burung. Saat itu para petani tambak itu diharuskan menerima ganti rugi lahan senilai Rp. 150.000–250.000/0,5 ha lahan pertanian, Rp 3-4juta lahan tambak dan Kartu Plasma sebagai syarat menjadi Plasma, warga yang menolak rumahnya dibakar.
Kehidupan petani tambak yang berjumlah 500 orang, sebelumnya berjalan damai dan sejahtera, sejak mereka membuka lahan untuk pertambakan dan pertanian dengn luas areal sekitar 6000 ha tahun 1980 membuka tambak dan lahan hingga akhirnya PT. CPB hadir dan ‘memaksa’ para petani tambak itu membangun pola kerjasama kemitraan yang dikenal dengan Kemitraan Inti-Plasma (Inti/CPB dan Plasma/petambak) tahun 1995.
Petambak diikat dengan Perjanjian Kemitraan (PKS) yang mereka tandatangani tanpa mengerti sepenuhnya isi perjanjian itu. Petambak diharuskan mengambil kredit Bank 145 juta rupiah dengan PT. CPB sebagai penjamin, yang oleh pihak Bank kredit tersebut diserahkankepada PT. CPB. Sejumlah120 juta untuk petambak membeli 1 ha lahan tambak dan rumah bedeng yang dibangun oleh PT CPB, dan 25 juta sisanya dikembalikan kepada petambak dalam bentuk saprodi (sarana produksi), bahan makanan pokok dan uang biaya hidup Rp 150 ribu/bln.
Tahun 2012, petambak mulai melakukan protes, karena pola kemitraan yang berlangsung kurang lebih 20 tahun, pelaksanaannya dirasakan sangat merugikan petambak, karena PT. CPB menentukan harga saprodi sangat tinggi, dan harga udang saat panen sangat rendah, dan setelah bermitra selama 20 tahun (1995-2015), hutang 96% petambak berkisar 200-800 juta, 2% berhutang 1,6 milyar, dan hanya 3% lunas. Petambak yang lunas harus menyimpan uang di perusahaan, Rp 25-125 juta/panen.
Tahun 2013, pihak perusahaan mulai menggunakan cara membenturkan sesama petambak untuk meredam protes. Pada 12 Maret 2013 bentrok fisik antar petambak meledak dan memakan korban, sedikitnya 9 meninggal, sekitar 100 luka ringan dan berat, 10 pengurus Forsil dikriminalkan dan 2 orang dipenjara.
Kuasa Pemodal
Awal tahun 2016, tepatnya tanggal 28 Januari, Harian Kompas menurunkan berita utama Pemodal Kuasai Lahan Desa,merujuk pada data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Kasus-kasus yang diacu adalah desa-desa di Pandeglang, Serang dan Lebak, Kompas menulis bahwa lahan-lahan tersebut dibeli oleh para spekulan dari luar daerah yang melihat adanya rencana KEK (Kawasan Ekonomi Khusus).
Tak jauh berbeda, praktik penguasaan lahan dan petani tambak di Bratasena oleh PT. CPB, para pemodal CPB melihat potensi dan prospek yang menjanjikan keuntungan besar bagi perusahaan. Sehingga akhirnya, dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan negara, melakukan ‘pendekatan’ dengan tokoh-tokoh lokal hingga memperalat rakyat untuk berhadapan dengan rakyat yang kontra, PT. CPB secara pasti terus bergerak menguasai lahan untuk menumpuk keuntungandan petani untuk menjadi pekerja dengan upah murah. Eksploitasi!
Forum Silarurahmi (Forsil) yang berdiri Maret tahun 2012 sebagai organisasi yang memperjuangkan kemitraan adil, pun akhirnya pecah. CPB mengkooptasi sebagian pengurus inti Forsil sehingga organisasi pecah. Para aktivis Inti (petambak) yang masih berpihak kepada kepentingan petambak memisahkan diri.
Pada 31 Maret 2016 yang lalu, dengan difasilitasi UPC, 2 perempuan dan 8 lelaki wakil petambak (di luar Forsil) menemui Menteri Tenaga Kerja untuk menyampaikan permasalahan mereka dan mengusulkan pemecahan. Hari Jumat, 15 April 2016, mereka mengadakan pertemuan publik melaporkan hasil pertemuan dengan Menaker, akibatnya mereka diintimidasi dan diteror, pertemuan dibubarkan oleh Satgas Forsil bersama sekitar 10 aparat Kepolisian, dan kini mereka terusir dari tanah sendiri.
Hal ini menjadi catatan penting dan pengingat, bahwa kuasa begitu kuat mencengkram siapa saja, pintu masuknya bisa darimana saja, termasuk dari teman berjuang dan para tokoh yang dihormati. Kisah perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru yang tergambar dari seri film dokumenternya, menjadi penjelas bagaimana pemodal menguasai tanah Papua, Bali, Jawa dan daerah-daerah potensial untuk menancapkan kuku-kuku bisnisnya.
Penulis : Rahmatul Ummah ( Mahasiswa Paska Sarjana STAIN Metro)
Selain diusir rumah-rumah mereka juga dirusak. Tidak hanya berhenti di situ, Sabtu tanggal 16 April 2016 pihak pendukung perusahaan melanjutkan penyisiran petambak yang dianggap menentang, hingga kini tercatat sebanyak 58 KK terusir dan terpencar dalam pengungsian di berbagai tempat.
Persoalan konflik petambak di Bumi Bratesana sebenarnya bukanlah persoalan baru, kisruh itu sudah dimulai sejak tahun 1993 ketika pertama kali PT. CPB datang ke Bratasena dan mengundang para petani tambak pada pertemuan di Dusun Sungai Burung. Saat itu para petani tambak itu diharuskan menerima ganti rugi lahan senilai Rp. 150.000–250.000/0,5 ha lahan pertanian, Rp 3-4juta lahan tambak dan Kartu Plasma sebagai syarat menjadi Plasma, warga yang menolak rumahnya dibakar.
Kehidupan petani tambak yang berjumlah 500 orang, sebelumnya berjalan damai dan sejahtera, sejak mereka membuka lahan untuk pertambakan dan pertanian dengn luas areal sekitar 6000 ha tahun 1980 membuka tambak dan lahan hingga akhirnya PT. CPB hadir dan ‘memaksa’ para petani tambak itu membangun pola kerjasama kemitraan yang dikenal dengan Kemitraan Inti-Plasma (Inti/CPB dan Plasma/petambak) tahun 1995.
Petambak diikat dengan Perjanjian Kemitraan (PKS) yang mereka tandatangani tanpa mengerti sepenuhnya isi perjanjian itu. Petambak diharuskan mengambil kredit Bank 145 juta rupiah dengan PT. CPB sebagai penjamin, yang oleh pihak Bank kredit tersebut diserahkankepada PT. CPB. Sejumlah120 juta untuk petambak membeli 1 ha lahan tambak dan rumah bedeng yang dibangun oleh PT CPB, dan 25 juta sisanya dikembalikan kepada petambak dalam bentuk saprodi (sarana produksi), bahan makanan pokok dan uang biaya hidup Rp 150 ribu/bln.
Tahun 2012, petambak mulai melakukan protes, karena pola kemitraan yang berlangsung kurang lebih 20 tahun, pelaksanaannya dirasakan sangat merugikan petambak, karena PT. CPB menentukan harga saprodi sangat tinggi, dan harga udang saat panen sangat rendah, dan setelah bermitra selama 20 tahun (1995-2015), hutang 96% petambak berkisar 200-800 juta, 2% berhutang 1,6 milyar, dan hanya 3% lunas. Petambak yang lunas harus menyimpan uang di perusahaan, Rp 25-125 juta/panen.
Tahun 2013, pihak perusahaan mulai menggunakan cara membenturkan sesama petambak untuk meredam protes. Pada 12 Maret 2013 bentrok fisik antar petambak meledak dan memakan korban, sedikitnya 9 meninggal, sekitar 100 luka ringan dan berat, 10 pengurus Forsil dikriminalkan dan 2 orang dipenjara.
Kuasa Pemodal
Awal tahun 2016, tepatnya tanggal 28 Januari, Harian Kompas menurunkan berita utama Pemodal Kuasai Lahan Desa,merujuk pada data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Kasus-kasus yang diacu adalah desa-desa di Pandeglang, Serang dan Lebak, Kompas menulis bahwa lahan-lahan tersebut dibeli oleh para spekulan dari luar daerah yang melihat adanya rencana KEK (Kawasan Ekonomi Khusus).
Tak jauh berbeda, praktik penguasaan lahan dan petani tambak di Bratasena oleh PT. CPB, para pemodal CPB melihat potensi dan prospek yang menjanjikan keuntungan besar bagi perusahaan. Sehingga akhirnya, dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan negara, melakukan ‘pendekatan’ dengan tokoh-tokoh lokal hingga memperalat rakyat untuk berhadapan dengan rakyat yang kontra, PT. CPB secara pasti terus bergerak menguasai lahan untuk menumpuk keuntungandan petani untuk menjadi pekerja dengan upah murah. Eksploitasi!
Forum Silarurahmi (Forsil) yang berdiri Maret tahun 2012 sebagai organisasi yang memperjuangkan kemitraan adil, pun akhirnya pecah. CPB mengkooptasi sebagian pengurus inti Forsil sehingga organisasi pecah. Para aktivis Inti (petambak) yang masih berpihak kepada kepentingan petambak memisahkan diri.
Pada 31 Maret 2016 yang lalu, dengan difasilitasi UPC, 2 perempuan dan 8 lelaki wakil petambak (di luar Forsil) menemui Menteri Tenaga Kerja untuk menyampaikan permasalahan mereka dan mengusulkan pemecahan. Hari Jumat, 15 April 2016, mereka mengadakan pertemuan publik melaporkan hasil pertemuan dengan Menaker, akibatnya mereka diintimidasi dan diteror, pertemuan dibubarkan oleh Satgas Forsil bersama sekitar 10 aparat Kepolisian, dan kini mereka terusir dari tanah sendiri.
Hal ini menjadi catatan penting dan pengingat, bahwa kuasa begitu kuat mencengkram siapa saja, pintu masuknya bisa darimana saja, termasuk dari teman berjuang dan para tokoh yang dihormati. Kisah perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru yang tergambar dari seri film dokumenternya, menjadi penjelas bagaimana pemodal menguasai tanah Papua, Bali, Jawa dan daerah-daerah potensial untuk menancapkan kuku-kuku bisnisnya.
Penulis : Rahmatul Ummah ( Mahasiswa Paska Sarjana STAIN Metro)
0 Response to "Bumi Bratasena dan Kuasa Pemodal"
Post a Comment