Matinya Politik Identitas

Salah satu hal yang disimpulkan oleh Profesor Francis Fukuyama pada awal 1990-an tentang masa depan pertarungan ideologi politik dunia adalah bahwa sistem Demokrasi-Liberal dimana Kapitalisme sebagai sistem ekonominya akan menjadi pemenang, yang dengan demikian ditandai sebagai akhir dari sejarah, mengadaptasi tradisi Hegelian. Itu tesis yang paling penting yang dikemukakan dalam salah satu bukunya yang paling terkenal, The End of History and The Last Man. Gagasan yang mulanya berbentuk esai ini diterbitkan sebagai buku pada 1992, tiga tahun setelah tumbangnya Tembok Berlin yang juga ditandai sebagai tumbangnya Komunisme.

Salah satu akademisi yang merespon gagasan Fukuyama adalah almarhum Profesor Samuel P. Huntington dari Universitas Harvard, yang tidak lain merupakan bekas guru dari Fukuyama. Huntington datang dengan tesis yang rupanya bertentangan: bahwa awal abad 21 adalah babak baru dari perbenturan peradaban, The Clash of Civilization, terma yang kemudian menjadi judul bukunya.

Huntington menjelaskan fenomena Perbenturan Peradaban ini dengan mengurainya dalam beberapa ideologi besar di dunia ini: Peradaban Barat, Amerika Latin, Ortodox, Dunia Timur, Dunia Islam, Peradaban Afrika Sub-Sahara, dan beberapa jenis “Peradaban” dan “Dunia” menurut kategorisasi yang dibuat Huntington. Intinya, abad 21 menurut Huntington akan memunculkan kembali kebanggaan hingga fanatisme beridentitas dalam politik.

Kasus Amerika Serikat

Salah satu hal yang menarik disoroti dari dua tesis klasik di atas adalah dengan melihat dinamika Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat yang sedang berlangsung saat ini. Ada dua partai besar yang sedang melakukan proses seleksi dengan menggelar debat di setiap state yang ada di Amerika Serikat.

Kedua partai tersebut tak lain adalah Partai Demokrat (Democratic Party) dan Partai Republik (Grand Old Party). Saat ini, melihat perkembangan yang ada, hampir dapat dipastikan bahwa Donald Trump akan menjadi Calon Presiden (capres) dari Partai Republik, dimana di saat yang sama Hillary Clinton dan Bernie Sanders masih bertarung dengan dominasi yang tipis di Partai Demokrat.

Dari semua kandidat, Donald Trump adalah kandidat yang paling sering menyinggung masalah identitas. Dari beberapa kampanye maupun debat partai yang dihadirinya, Trump bahkan terang-terangan mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Salah satunya adalah rencananya untuk melarang (ban) orang yang beragama Islam untuk masuk ke Amerika Serikat, kelak ketika Ia menjadi Presiden negara tersebut.

Tidak berhenti sampai di situ, Trump bahkan menyampaikan rencananya jika terpilih sebagai Presiden akan membangun tembok besar di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Pernyataan-pernyataan rasisme begitu mudah dikeluarkan oleh Trump, tidak luput di antaranya tentang imigran. Sikap yang ditunjukannya merupakan kombinasi dari kesombongan, ketidaksadaran terhadap sejarah, serta keinginan untuk mendulang suara dari kulit putih. Kontroversi yang dimunculkan Trump semakin menjadi-jadi ketika David Duke, mantan Grand Wizard dari Ku Klux Klan, menyatakan dukungan kepada Trump. Tidak bisa dielakkan bahwa banyak dari kalangan kulit putih yang konservatif, mendukung Trump dengan pendekatannya yang rasis tersebut.

Kondisi ini tentu saja menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah respon para kaum Muslim sendiri di Amerika Serikat. Secara pasti, mereka mendukung calon-calon dari Partai Demokrat. Namun, ada satu fenomena yang menarik, dimana separuh dari kaum Muslim di Amerika Serikat mendukung Bernie Sanders dalam pertarungan memperebutkan kursi Calon Presiden dari Partai Demokrat.

Hal ini disebabkan sikap Sanders yang fokus membicarakan kondisi dan manajemen ekonomi yang menurutnya sudah sangat tidak seimbang (inequality), termasuk soal kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah dan seterusnya. Sanders juga didukung terutama karena sikapnya yang lebih terbuka, tidak rasis dan mendukung pluralisme dan kesetaraan.

Refleksi bagi Indonesia

Para kaum Muslim di Amerika Serikat tentu sadarbahwa Sanders tidak lain adalah seorang Yahudi dan berkulit putih. Namun, mereka telah melampaui Politik Identitas semacam ini. Mereka berfokus pada agenda-agenda dari para calon. Hal yang sama juga sebenarnya terjadi di kubu Republikan, dimana Ben Carson yang berkulit hitam mendukung Donald Trump, terlepas dari janji-janji kampanyenya yang rasis.

Merefleksikan hal-hal di atas sebagai orang Indonesia, tentu saja kita tersentak menyadari bahwa di negeri ini pilihan politik masih diwarnai oleh sentimen identitas, baik itu agama, suku, partai politik dan lainnya. Saatnya kita bercermin kepada apa yang terjadi di Amerika Serikat, bahwa, dukungan kita terhadap calon pemimpin kita adalah berdasarkan kesamaan agenda untuk memberantas korupsi, meningkatkan mutu pendidikan dan menyejahterakan masyarakat.

Dengan demikian, mudah-mudahan semakin baiklah kualitas demokrasi kita dan menjadikannya sebagai jaminan untuk Indonesia masa depan yang adil dan sejahtera. Oleh:

 

Penulis : Muhammad Ihsan Harahap (YSEALI Academic Fellow di Kennesaw State University, Georgia, Amerika Serikat, Februari-Maret 2016)

0 Response to "Matinya Politik Identitas"

Post a Comment