Antara AADC2 dan Rayuan Pulau Palsu
Sunday, May 1, 2016
Add Comment
Ada dua film kini yang tengah ramai diperbincangan media,baik media minstream maupun media sosial. Dua film tersebut adalah Ada Apa Dengan Cinta 2 dan Rayuan Pulau Palsu. Dua film ini penulis perhatikan mendapatkan liputan media yang cukup untuk menjadikan kedua film ini menjadi terkenal.
Sebagaimana dilansir Tribunews penayangan perdana AADC 2 di Malaysia saja berhasil meraup lebih dari 300 ribu ringgit atau setara dengan Rp960 juta pada hari pertama penayangannya. Pemasukan film yang diedarkan oleh Primeworks Distribution itu diperkirakan akan erus meningkat karena penjualan tiket untuk akhir pekan ini habis terjual.AADC 2 ditayangkan di 90 bioskop di seluruh Malaysia dan lebih dari 25 ribu penonton menyaksikan film ini di hari pertama penayangannya pada Kamis (28/4).
Jikalau pertanyaanya apakah penulis menonton film AADC 1, Jawabanya pasti iya.Saat itu penulis masih kuliah di FISIP Unila dan kalo tidak salah bioskop satu-satunnya yang memutar AADCsaat itu adalah bioskop 21 di Artomoro. Saat itu, eforia kerinduan akan film Indonesia tengah melanda rakyat kebanyakan. AADC saat itu menjadi salah satu film yang cukup sukses.
Kini, kehebohan kembali terjadi saat AADC2 tayang di bioskop dalam ruang dan waktu yang berbeda setelah 14 tahun kemunculan pertamanya. Kini bioskop semakin banyak di Lampung. Namun penulis menduga bahwa faktor romantisme sejarahlah yang menyebabkan film ini begitu heboh. Terlebih secara cerdik produsernya telah mengunggah traile film ini melalui youtube sejak akhir 2015 lalu kalo tidak salah.
Seorang rekan mengunggah tiket nonton AADC1 dan AADC2 bersama kekasihnya yang kelak menjadi istrinya di akun Facebook. Wow, romantis dan keren juga sampe masih menyimpan tiketnya. Pastinya film AADC menyimpan kenangan tersendiri bagi kawan tersebut. Meski tak melakukan riset, penulis memprediksi faktor romantisme sejarah inilah yang membuat film AADC 2 ini sukses dipasaran.
Nah ketika AADC2 mulai tayang , penulis sempat berpikir untuk menontonnya. Terlebih di grup jurnalis hampr semuanya membicarakan film tersebut. Ada yang bersedia ngantri hingga ngajak nobar, dahsyat bukan. Ya iyalah, secara itu film legend bro. Pastinya ada banyak kenangan,romatisme dan bla bla bla.
Bahkan saat Konferkot AJI Bandar lampung yang kebetulan dihelat pada Sabtu yang notabene akhir pekan, banyak peserta sudah kasak-kusuk ingin nonton AADC2. Diam-diam dalam hati saya berucap, Wah mesti nonton juga film ini. Meski demikian, karena saya yakin film AADC2 akan lama tayangnya di bioskop maka bisa ditunda saat sudah sepi. Kalo baru tayang kan ramainya pasti sudah bisa kita bayangkan.
Sayangnya saat baru saja merencanakan, sebuah kalimat dari WatchdoC Documentary muncul di Facebook. Tulisannya agak panjang tapi bagian akhirnya kira-kira begini Layar dan gedung yang megah tak akan berarti apa-apa, jika setelah film selesai lalu kita pulang ke rumah masing-masing dengan hati riang.
Jujur, ini tulisan bikin galau aja, terlebih malam ini saya kembali membaca tulisan Dandhy Dwi Laksono di akun facebooknya. Biar lengkap saya sertakan disini.
Polisi-Tentara dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film “Rayuan Pulau Palsu” diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.
Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.
Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap “Yang Ketu7uh”.
Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.
Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang “tertib”, atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.
Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.
Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.
Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.
Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6×4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri.
Proyektor digital pinjaman kerap mati karena tak tahan panas. Dengan daya yang besar, ia terbiasa di ruangan ber-AC. Warga lalu datang dengan kipas angin, meski tak menolong.
Seorang warga berinisiatif mencari proyektor pinjaman dan sekelompok mahasiswa pasca-sarjana menawarkan bantuan mencari sewaan di hotel-hotel terdekat.
Gerimis turun. Sebagian warga bergegas mencari terpal. Bukan untuk melindungi orang, tapi sound system kampung. Orang-orang tak beranjak meski gerimis mulai rapat.
Proyektor pun datang. Sebuah sekretariat Karang Taruna meminjamkan. Para mahasiswa juga datang dengan proyektor lain, beberapa menit kemudian.
Akhirnya film diputar. Semua lega dengan pandangan tak lepas dari layar.Sambil melihat ke langit dan berharap hujan tak turun, saya tak ingin menukar pengalaman malam itu dengan apapun.
Muara Angke, 30 April 2016.
Terus terang saya merinding membacanya. Ini orang memang bikin saya galau. Tapi sesungguhnya Dandhy hendak mengingatkan kita semua bahwasannya dibalik keriuhan masih ada yang terpinggirkan. Di hari yang sama saya menulis pendapat saya soal film Rayuan Pulau Palsu yang juga tak kalah heboh di media sosial.
Tepat di Hari Buruh, saya juga membaca tulisan di Tempo berjudul Suara Nelayan dan Rayuan Pulau Palsu. Ga kalah gagah, produser film ini, Randy Hernando mengatakan bahwa filmnya diputar dengan konsep nonton bareng. "Kami ingin penetrasinya sebanyak mungkin," sebagaimana dilansir Tempo.co
Meski tak adil membandingkan kedua film ini, terlebih dalam ruang, waktu dan konteks yang berbeda, saya optimis kesuksesan film Rayuan Pulau Palsu akan menyamai kesuksesan AADC2. Antrian penonton AADC2 di bioskop-bioskop megah berpendingin akan diimbangi dengan antusiasme massa di kampung-kampung, dikampus-kampus yang menonton ala layar tancap.
Bedanya bila AADC2 akan mampu meraup rupiah, Rayuan Pulau Palsu akan meraup gelora dan semangat perjuangan. Apa yang Dandhy Laksono rasakan dimalam pemutaran Rayuan Pulau Palsu di Muara Angke juga pernah saya rasakan ketika rajin memutar film-film ala layar tancap bersama para petani di desa.
Film dokumenter menjadi media pendidikan dan pengorganisasin kala itu. Saya melihat gairah, antusiasme dan kebanggan saat mereka melihat film tentang masalah, perjuangan dan refleksi dirinya sendiri dalam film dokumenter. Dandhy benar, saya pun tak ingin menukar pengalaman itu dengan apapun. Jadi segera kirimkan film itu bung!
Penulis : Oki Hajiansyah Wahab
Sebagaimana dilansir Tribunews penayangan perdana AADC 2 di Malaysia saja berhasil meraup lebih dari 300 ribu ringgit atau setara dengan Rp960 juta pada hari pertama penayangannya. Pemasukan film yang diedarkan oleh Primeworks Distribution itu diperkirakan akan erus meningkat karena penjualan tiket untuk akhir pekan ini habis terjual.AADC 2 ditayangkan di 90 bioskop di seluruh Malaysia dan lebih dari 25 ribu penonton menyaksikan film ini di hari pertama penayangannya pada Kamis (28/4).
Jikalau pertanyaanya apakah penulis menonton film AADC 1, Jawabanya pasti iya.Saat itu penulis masih kuliah di FISIP Unila dan kalo tidak salah bioskop satu-satunnya yang memutar AADCsaat itu adalah bioskop 21 di Artomoro. Saat itu, eforia kerinduan akan film Indonesia tengah melanda rakyat kebanyakan. AADC saat itu menjadi salah satu film yang cukup sukses.
Kini, kehebohan kembali terjadi saat AADC2 tayang di bioskop dalam ruang dan waktu yang berbeda setelah 14 tahun kemunculan pertamanya. Kini bioskop semakin banyak di Lampung. Namun penulis menduga bahwa faktor romantisme sejarahlah yang menyebabkan film ini begitu heboh. Terlebih secara cerdik produsernya telah mengunggah traile film ini melalui youtube sejak akhir 2015 lalu kalo tidak salah.
Seorang rekan mengunggah tiket nonton AADC1 dan AADC2 bersama kekasihnya yang kelak menjadi istrinya di akun Facebook. Wow, romantis dan keren juga sampe masih menyimpan tiketnya. Pastinya film AADC menyimpan kenangan tersendiri bagi kawan tersebut. Meski tak melakukan riset, penulis memprediksi faktor romantisme sejarah inilah yang membuat film AADC 2 ini sukses dipasaran.
Nah ketika AADC2 mulai tayang , penulis sempat berpikir untuk menontonnya. Terlebih di grup jurnalis hampr semuanya membicarakan film tersebut. Ada yang bersedia ngantri hingga ngajak nobar, dahsyat bukan. Ya iyalah, secara itu film legend bro. Pastinya ada banyak kenangan,romatisme dan bla bla bla.
Bahkan saat Konferkot AJI Bandar lampung yang kebetulan dihelat pada Sabtu yang notabene akhir pekan, banyak peserta sudah kasak-kusuk ingin nonton AADC2. Diam-diam dalam hati saya berucap, Wah mesti nonton juga film ini. Meski demikian, karena saya yakin film AADC2 akan lama tayangnya di bioskop maka bisa ditunda saat sudah sepi. Kalo baru tayang kan ramainya pasti sudah bisa kita bayangkan.
Sayangnya saat baru saja merencanakan, sebuah kalimat dari WatchdoC Documentary muncul di Facebook. Tulisannya agak panjang tapi bagian akhirnya kira-kira begini Layar dan gedung yang megah tak akan berarti apa-apa, jika setelah film selesai lalu kita pulang ke rumah masing-masing dengan hati riang.
Jujur, ini tulisan bikin galau aja, terlebih malam ini saya kembali membaca tulisan Dandhy Dwi Laksono di akun facebooknya. Biar lengkap saya sertakan disini.
Polisi-Tentara dengan radio genggam, ada di baris belakang. Saat film “Rayuan Pulau Palsu” diputar, tepuk tangan pecah pada adegan-adegan yang menguatkan sikap mereka menolak reklamasi Teluk Jakarta.
Sudah lama saya tak berada di tengah layar tancap seperti ini, sejak masa kecil silam di mana Departemen Penerangan membawa film keliling untuk penyuluhan program KB atau pertanian.
Agustus 2014, seribuan orang juga memenuhi lapangan Museum Fatahilah, Jakarta, untuk menyaksikan layar tancap “Yang Ketu7uh”.
Bedanya, semalam di Muara Angke, cemooh dan makian dilontarkan begitu saja saat gambar-gambar menunjukkan hal-hal yang tak mereka sukai. Sebagian bahkan cenderung kasar.
Tapi inilah forum rakyat. Saya tak berharap reaksinya seperti kaum ningrat terpelajar yang “tertib”, atau menutup mulutnya saat seharusnya tertawa ngakak.
Nama-nama pejabat publik diteriakkan di antara makian.
Anak-anak duduk tertib di baris depan. Tak ada yang ribut atau berlarian. Orang dewasa berdiri selama 60 menit durasi film diputar.
Orang tak peduli lagi menonton dari sisi layar yang salah, sehingga semua teks akan terbaca terbalik.
Dua jam mereka menunggu. Sebab layar diempas angin dan terlepas. Tapi orang-orang bergegas memanjat bambu, mengikatnya lebih erat, dan melubangi kainnya. Layar 6×4 meter ini hasil gotong royong kawan-kawan aktivis dan relawan yang menjahit sendiri.
Proyektor digital pinjaman kerap mati karena tak tahan panas. Dengan daya yang besar, ia terbiasa di ruangan ber-AC. Warga lalu datang dengan kipas angin, meski tak menolong.
Seorang warga berinisiatif mencari proyektor pinjaman dan sekelompok mahasiswa pasca-sarjana menawarkan bantuan mencari sewaan di hotel-hotel terdekat.
Gerimis turun. Sebagian warga bergegas mencari terpal. Bukan untuk melindungi orang, tapi sound system kampung. Orang-orang tak beranjak meski gerimis mulai rapat.
Proyektor pun datang. Sebuah sekretariat Karang Taruna meminjamkan. Para mahasiswa juga datang dengan proyektor lain, beberapa menit kemudian.
Akhirnya film diputar. Semua lega dengan pandangan tak lepas dari layar.Sambil melihat ke langit dan berharap hujan tak turun, saya tak ingin menukar pengalaman malam itu dengan apapun.
Muara Angke, 30 April 2016.
Terus terang saya merinding membacanya. Ini orang memang bikin saya galau. Tapi sesungguhnya Dandhy hendak mengingatkan kita semua bahwasannya dibalik keriuhan masih ada yang terpinggirkan. Di hari yang sama saya menulis pendapat saya soal film Rayuan Pulau Palsu yang juga tak kalah heboh di media sosial.
Tepat di Hari Buruh, saya juga membaca tulisan di Tempo berjudul Suara Nelayan dan Rayuan Pulau Palsu. Ga kalah gagah, produser film ini, Randy Hernando mengatakan bahwa filmnya diputar dengan konsep nonton bareng. "Kami ingin penetrasinya sebanyak mungkin," sebagaimana dilansir Tempo.co
Meski tak adil membandingkan kedua film ini, terlebih dalam ruang, waktu dan konteks yang berbeda, saya optimis kesuksesan film Rayuan Pulau Palsu akan menyamai kesuksesan AADC2. Antrian penonton AADC2 di bioskop-bioskop megah berpendingin akan diimbangi dengan antusiasme massa di kampung-kampung, dikampus-kampus yang menonton ala layar tancap.
Bedanya bila AADC2 akan mampu meraup rupiah, Rayuan Pulau Palsu akan meraup gelora dan semangat perjuangan. Apa yang Dandhy Laksono rasakan dimalam pemutaran Rayuan Pulau Palsu di Muara Angke juga pernah saya rasakan ketika rajin memutar film-film ala layar tancap bersama para petani di desa.
Film dokumenter menjadi media pendidikan dan pengorganisasin kala itu. Saya melihat gairah, antusiasme dan kebanggan saat mereka melihat film tentang masalah, perjuangan dan refleksi dirinya sendiri dalam film dokumenter. Dandhy benar, saya pun tak ingin menukar pengalaman itu dengan apapun. Jadi segera kirimkan film itu bung!
Penulis : Oki Hajiansyah Wahab
0 Response to "Antara AADC2 dan Rayuan Pulau Palsu"
Post a Comment