Golkar, Antara Senioritas dan Pecun(dang) Politik
Wednesday, May 25, 2016
Add Comment
Golkar atau yang sekarang dikenal sebagai Partai Golkar adalah partai yang memiliki sejarah kegemilangan yang sejaligus menjadi beban. Peran-peran sejarah sepanjang Orde Baru berkuasa, adalah sejarah-sejarah kesuksesan sekaligus dosa-dosa politik yang akan selalu menghantui perjalanan partai berlambang beringin tua ini. Golkar bagaimanapun, punya tanggungjawab yang tidak akan pernah selesai terkait karut-marutnya krisis demi krisis yang melanda bangsa ini, hingga ia membubarkan diri.
Golkar adalah ‘stempel’ kekuasaan yang menyumbangkan jasa terbesar atas status quo kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Giovanni Sartori (1976) menyebut sistem kepartaian Golkar di masa Orde Baru adalah hegemonic party system, maksudnya adalah sistem kepartaian yang tidak membolehkan adanya kompetisi formal dalam kekuasaan. Golkar memang telah memosisikan keberadaan dua partai lain (PPP dan PDI) ketika itu tak memiliki makna apa-apa, kehadiran dua partai itu tak lebih sebagai kehadiran semu.
Tabiat dan watak Golkar sebagai partai yang memang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkar kekuasaan menjadikan partai ini, tidak pernah bisa teruji tahan berlama-lama di luar lingkar kekuasaan, kecuali saat awal Reformasi ketika Partai Gokar menjadi musuh bersama kaum reformis. Kini, tak sampai dua tahun bertahan di luar lingkar kekuasaan Jokowi-JK, Partai Golkar akhirnya menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK pasca Munas Luar Biasa di Bali, 17 Mei pekan lalu.
Dalam Buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era: Dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi Pasar (2009), Rully Chairul Azwar kader sekaligus tokoh Partai Golkar juga mengakui bahwa Partai Golkar memiliki kekuatan politik yang pandai berselencar mengarungi ombak politik.
Pernyataan tersebut menjadi penegas anggapan jika Partai Golkar selalu mengedepankan pragmatisme politik dan selalu menomorduakan moralitas dan ideologi, tak peduli meski partai ini dicap sebagai penganut opprtunisme politik yang absurd, yang penting ada kesempatan, sikat, tak perlu pertimbangan akibat.
Politik seperti ini persis seperti dalam statement Harold Laswell siapa dapat apa, kapan dan bagaimana, atau dalam istilah Machiavelli bahwa politik itu adalah soal bagaimana politik itu diraih dan dipertahankan. Soal moral, tatakrama, sopan-santun, menggadaikan marwah dan martabat partai tak menjadi soal yang layak dihitung.
Partai Golkar yang sebelumnya menegaskan akan menjadi kontrol lima tahun kedepan sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem politik dan demokrasi dengan menghadirkan cheks and balances terhadap kekuasaan yang cenderung abuse of power adalah omong kosong.
Alasan-alasan yang mengatakan bahwa dengan kembalinya Partai Golkar ke lingkar kekuasaan sebagai gerakan kembali ke jalan yang benar, atau pembenaran-pembenaran yang diteriakkan oleh petinggi-petinggi partai ini, bahwa Partai Golkar berideologi karya kekaryaan, Partai Golkar lahir dari rahim pemerintah dan dilahirkan untuk mengelola pemerintah bukan untuk melawan pemerintah, menemukan ruangnya jika dimaknai bahwa jalan Partai Golkar yang benar adalah pemerintahan dan kekuasaan tanpa nilai-nilai ideologis apalagi moral.
Suara Partai Golkar adalah suara rakyat adalah penghinaan dan pelecehan atas nama rakyat, karena sesungguhnya yang sering dikonotosikan sebagai rakyat adalah mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan, hidup marginal dan sering mengalami penggusuran dan terusir di negeri sendiri, bukan mereka yang berada di kursi empuk dan ruang berpendingin.
Karakter dan watak Partai Golkar sebagai satu-satunya partai yang mampu bertahan dalam kurun waktu periode 1969 – 1998 dengan karakter hegemonik di bawah kekuasaan rezim birokrasi yang otoriter dengan penyelenggaran Pemilu ‘abu-abu’ dan palsu, menjadi penjelas bahwa demokrasi ‘abu-abu’ dan palsu selalu menjadi wilayah pilihannya.
Senioritas dan kemapanan politik Partai Golkar untuk bermain di wilayah demokrasi yang seperti ini, tidak akan pernah bisa tertandingi oleh siapapun.Meskipun kalah dan menjadi pecun(dang) dalam Pemilu Presiden yang lalu, Partai Golkar tetap piawai memainkan peran dan posisi terbaiknya, dengan seribu satu logika dan pembenaran-pembenaran sebagai penutup malu.
Senapas dengan pernyataan Ryas Rasyid (1994) tentang skenario kepolitikan Indonesia masa depan, bahwa sangat mungkin lahirnya kembali rezim otoritarian baru, sangat penting untuk memunculkan pertanyaan, apakah dengan kembalinya Partai Golkar sebagai partai yang lahir di Era Orde Baru ke lingkar kekuasaan dan Pemerintahan Jokowi-JK adalah kembalinya juga Rezim Orde Baru yang telah didahului dengan tanda-tanda bangkitnya watak dan karakter Orde Baru yang otoriter, seperti razia dan pemusnahan buku-buku, pembungkaman kebebasan berekspresi dan pembubaran paksa kegiatan berkumpul warga?
Wallahu a’lam.
Penulis : Rahmatul Ummah
Golkar adalah ‘stempel’ kekuasaan yang menyumbangkan jasa terbesar atas status quo kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Giovanni Sartori (1976) menyebut sistem kepartaian Golkar di masa Orde Baru adalah hegemonic party system, maksudnya adalah sistem kepartaian yang tidak membolehkan adanya kompetisi formal dalam kekuasaan. Golkar memang telah memosisikan keberadaan dua partai lain (PPP dan PDI) ketika itu tak memiliki makna apa-apa, kehadiran dua partai itu tak lebih sebagai kehadiran semu.
Tabiat dan watak Golkar sebagai partai yang memang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam lingkar kekuasaan menjadikan partai ini, tidak pernah bisa teruji tahan berlama-lama di luar lingkar kekuasaan, kecuali saat awal Reformasi ketika Partai Gokar menjadi musuh bersama kaum reformis. Kini, tak sampai dua tahun bertahan di luar lingkar kekuasaan Jokowi-JK, Partai Golkar akhirnya menyatakan mendukung pemerintahan Jokowi-JK pasca Munas Luar Biasa di Bali, 17 Mei pekan lalu.
Dalam Buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era: Dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi Pasar (2009), Rully Chairul Azwar kader sekaligus tokoh Partai Golkar juga mengakui bahwa Partai Golkar memiliki kekuatan politik yang pandai berselencar mengarungi ombak politik.
Pernyataan tersebut menjadi penegas anggapan jika Partai Golkar selalu mengedepankan pragmatisme politik dan selalu menomorduakan moralitas dan ideologi, tak peduli meski partai ini dicap sebagai penganut opprtunisme politik yang absurd, yang penting ada kesempatan, sikat, tak perlu pertimbangan akibat.
Politik seperti ini persis seperti dalam statement Harold Laswell siapa dapat apa, kapan dan bagaimana, atau dalam istilah Machiavelli bahwa politik itu adalah soal bagaimana politik itu diraih dan dipertahankan. Soal moral, tatakrama, sopan-santun, menggadaikan marwah dan martabat partai tak menjadi soal yang layak dihitung.
Partai Golkar yang sebelumnya menegaskan akan menjadi kontrol lima tahun kedepan sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki sistem politik dan demokrasi dengan menghadirkan cheks and balances terhadap kekuasaan yang cenderung abuse of power adalah omong kosong.
Alasan-alasan yang mengatakan bahwa dengan kembalinya Partai Golkar ke lingkar kekuasaan sebagai gerakan kembali ke jalan yang benar, atau pembenaran-pembenaran yang diteriakkan oleh petinggi-petinggi partai ini, bahwa Partai Golkar berideologi karya kekaryaan, Partai Golkar lahir dari rahim pemerintah dan dilahirkan untuk mengelola pemerintah bukan untuk melawan pemerintah, menemukan ruangnya jika dimaknai bahwa jalan Partai Golkar yang benar adalah pemerintahan dan kekuasaan tanpa nilai-nilai ideologis apalagi moral.
Suara Partai Golkar adalah suara rakyat adalah penghinaan dan pelecehan atas nama rakyat, karena sesungguhnya yang sering dikonotosikan sebagai rakyat adalah mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan, hidup marginal dan sering mengalami penggusuran dan terusir di negeri sendiri, bukan mereka yang berada di kursi empuk dan ruang berpendingin.
Karakter dan watak Partai Golkar sebagai satu-satunya partai yang mampu bertahan dalam kurun waktu periode 1969 – 1998 dengan karakter hegemonik di bawah kekuasaan rezim birokrasi yang otoriter dengan penyelenggaran Pemilu ‘abu-abu’ dan palsu, menjadi penjelas bahwa demokrasi ‘abu-abu’ dan palsu selalu menjadi wilayah pilihannya.
Senioritas dan kemapanan politik Partai Golkar untuk bermain di wilayah demokrasi yang seperti ini, tidak akan pernah bisa tertandingi oleh siapapun.Meskipun kalah dan menjadi pecun(dang) dalam Pemilu Presiden yang lalu, Partai Golkar tetap piawai memainkan peran dan posisi terbaiknya, dengan seribu satu logika dan pembenaran-pembenaran sebagai penutup malu.
Senapas dengan pernyataan Ryas Rasyid (1994) tentang skenario kepolitikan Indonesia masa depan, bahwa sangat mungkin lahirnya kembali rezim otoritarian baru, sangat penting untuk memunculkan pertanyaan, apakah dengan kembalinya Partai Golkar sebagai partai yang lahir di Era Orde Baru ke lingkar kekuasaan dan Pemerintahan Jokowi-JK adalah kembalinya juga Rezim Orde Baru yang telah didahului dengan tanda-tanda bangkitnya watak dan karakter Orde Baru yang otoriter, seperti razia dan pemusnahan buku-buku, pembungkaman kebebasan berekspresi dan pembubaran paksa kegiatan berkumpul warga?
Wallahu a’lam.
Penulis : Rahmatul Ummah
0 Response to "Golkar, Antara Senioritas dan Pecun(dang) Politik"
Post a Comment