Guru Itu, Ya Siswanya!
Wednesday, May 11, 2016
Add Comment
Hingga kini, pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari. Pepatah yang menjadi petunjuk betapa pentingnye keteladanan dalam proses belajar-mengajar. Ketika seseorang memilih guru sebagai pilihan profesinya, sesungguhnya ia sedang memilih jalan mulia, yang memiliki konsekuensi ikutan sikap dan ucap yang mulia. Sikap dan ucap yang dalam benak siswanya, sempurna. Ketia ia mengajarkan kebenaran dan sopan santun, maka seluruh siswanya akan beranggapan sikapnyalah menjadi referensi utama kebenaran dan kesopan-santunan itu.
Itulah juga yang menjadi alasan, seringnya guru disebut sebagai pahlawan. Pahlawan sejati, yang memang tak perlu dan patut menuntut untuk mendapatkan tanda jasa.
Suatu ketika, sepulang sekolah, saya terkaget-kaget begitu mendapati anak saya yang sulung mogok untuk les Bahasa Inggris. Sebelumnya, saya telah menyampaikan bahasa itu penting, apalagi ia hidup di pasar yang pesaingnya bukan hanya teman-temannya sekampung atau senegara, tetapi juga lulusan-lulusan sekolah di luar negeri, dan Bahasa Inggris adalah bahasa yang saat ini disepakati oleh dunia sebagai bahasa pergaulannya.
Dia mogok, lantaran melihat gurunya juga bisa sukses tapi menurutnya tidak bisa bahasa Inggris. Padahal menurutnya sekolahnya itu adalah sekolah yang bertaraf internasional, dulu memang pernah ditulis di pintu gerbangnya RSBI.
Pada suatu peristiwa yang lain, saya pernah ditegur oleh anak saya gara-gara sering marah, ia membacakan beberapa dalil pendek, bahwa menurutnya orang yang suka marah itu temannya setan. Sebagai orang tua, saya berusaha meluruskan pernyataannya bahwa sesungguhnya ada marah yang bertujuan baik, yakni untuk menegur orang yang keliru atau salah.
Sekali lagi saya harus kaget, karena dia bisa menjawab bahwa sesungguhnya untuk menyuruh orang menjadi baik itu bisa dengan cara yang baik-baik, tak harus marah. Begitu Ibu Guru bilang, katanya.
Nyaris, setiap kali ingin menguatkan pendapat dan melakukan pembelaan, anak-anak saya selalu menyandarkan alasannya kepada guru. Hampir-hampir saya menilai, gurunya telah merebut sebagian pikiran dan rasionalisasi tindakan anak saya, karena begitu besarnya pengaruh guru dalam tindakan, ucapan dan pikiran mereka.
Lantas, kenapa banyak siswa yang bejat dan brutal di antara sedikit siswa-siswa yang penurut?
Saya sering mengoreksi, gagalnya guru menghadirkan sebuah lingkungan sekolah dan kelas sebagai tempat yang nyaman dan akrab dengan siswa. Ada banyak siswa yang tidak pernah merasakan kelas sebagai dunianya, dunia anak-anak, dunia remaja. Kelas lebih sering terkesan angker, menyeramkan dan memenjarakan, dan guru hadir dalam bentuk hantu dan sipir penjara.
Akhirnya, ketundukan, kepatuhan dan sopan santun siswa menjadi kepatuhan dan sopan santun semu. Klimaknya, begitu lulus mereka seperti orang-orang yang lepas-bebas dari penjara.
Untuk itu, banyaknya kasus kejahatan dan kekerasan yang melibatkan siswa harus menjadi bahan renungan dan koreksi penting bagi setiap guru, apakah selama ini mereka telah memainkan peran secara maksimal, atau hanya masih sebatas mengajar dan disibukan dengan tetek bengek urusan metode, cara menilai dan memberikan skor? Apakah guru telah berperan juga sebagai orang tua bagi siswa-siswanya di sekolah?
Jika, guru masih beranggapan hanya ada satu, dua, tiga orang saja yang pintar di sekolah, atau hanya ada sepuluh besar orang yang menonjol di kelas, maka sudah semestinya mereka juga bertanya, apakah separuh lebih dari jumlah siswa yang dianggap tidak pintar dan tidak berprestasi itu, bukan dari kebodohon dan kegagalan mereka sebagai guru?
Apatah lagi, jika ada kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah seperti kasus mutakhir yang terjadi di sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) di Kota Metro, guru berdalih tidak tahu. Menjadi pertanyaan besar, apa peran dan ngapain saja mereka selama ini di sekolah, saat kekerasan seksual itu terjadi di sekolah? Apakah sekolah benar-benar telah menjadi tempat yang tidak nyaman bagi anak?
Guru semestinya sudah memainkan peran bukan hanya sebagai guru yang hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga guru yang mengajarkan tentang kehidupan, tempat yang nyaman untuk berbagi, curhat dan mengadukan setiap masalah bagi siswanya. Guru ideal adalah sosok guru yang menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan dahaga siswa-siswanya.
Indikatornya jelas, siswa senang saat belajar di sekolah atau terburu-buru ingin pulang, senang ketika guru berhalangan, senang ketika liburan, dan menjadi lepas-bebas ketika mereka dinyatakan lulus.
Benarlah, konsep Kihajar Dewantara dengan istilah Taman Siswa-nya, semestinya sekolah adalah taman, Taman yang selalu menjadi tempat idola bagi anak-anak untuk bermain. Sekolah harus bebas dari kesan seperti kuburan, angker, menyeramkan dan menghadirkan ketegangan.
Sekali lagi saya hendak menegaskan, bahwa cara yang baik menilai guru adalah dengan menilai siswanya. Jika siswanya bejat, maka gurunya bejat!!!
Penulis : Rahmatul Ummah
Itulah juga yang menjadi alasan, seringnya guru disebut sebagai pahlawan. Pahlawan sejati, yang memang tak perlu dan patut menuntut untuk mendapatkan tanda jasa.
Suatu ketika, sepulang sekolah, saya terkaget-kaget begitu mendapati anak saya yang sulung mogok untuk les Bahasa Inggris. Sebelumnya, saya telah menyampaikan bahasa itu penting, apalagi ia hidup di pasar yang pesaingnya bukan hanya teman-temannya sekampung atau senegara, tetapi juga lulusan-lulusan sekolah di luar negeri, dan Bahasa Inggris adalah bahasa yang saat ini disepakati oleh dunia sebagai bahasa pergaulannya.
Dia mogok, lantaran melihat gurunya juga bisa sukses tapi menurutnya tidak bisa bahasa Inggris. Padahal menurutnya sekolahnya itu adalah sekolah yang bertaraf internasional, dulu memang pernah ditulis di pintu gerbangnya RSBI.
Pada suatu peristiwa yang lain, saya pernah ditegur oleh anak saya gara-gara sering marah, ia membacakan beberapa dalil pendek, bahwa menurutnya orang yang suka marah itu temannya setan. Sebagai orang tua, saya berusaha meluruskan pernyataannya bahwa sesungguhnya ada marah yang bertujuan baik, yakni untuk menegur orang yang keliru atau salah.
Sekali lagi saya harus kaget, karena dia bisa menjawab bahwa sesungguhnya untuk menyuruh orang menjadi baik itu bisa dengan cara yang baik-baik, tak harus marah. Begitu Ibu Guru bilang, katanya.
Nyaris, setiap kali ingin menguatkan pendapat dan melakukan pembelaan, anak-anak saya selalu menyandarkan alasannya kepada guru. Hampir-hampir saya menilai, gurunya telah merebut sebagian pikiran dan rasionalisasi tindakan anak saya, karena begitu besarnya pengaruh guru dalam tindakan, ucapan dan pikiran mereka.
Lantas, kenapa banyak siswa yang bejat dan brutal di antara sedikit siswa-siswa yang penurut?
Saya sering mengoreksi, gagalnya guru menghadirkan sebuah lingkungan sekolah dan kelas sebagai tempat yang nyaman dan akrab dengan siswa. Ada banyak siswa yang tidak pernah merasakan kelas sebagai dunianya, dunia anak-anak, dunia remaja. Kelas lebih sering terkesan angker, menyeramkan dan memenjarakan, dan guru hadir dalam bentuk hantu dan sipir penjara.
Akhirnya, ketundukan, kepatuhan dan sopan santun siswa menjadi kepatuhan dan sopan santun semu. Klimaknya, begitu lulus mereka seperti orang-orang yang lepas-bebas dari penjara.
Untuk itu, banyaknya kasus kejahatan dan kekerasan yang melibatkan siswa harus menjadi bahan renungan dan koreksi penting bagi setiap guru, apakah selama ini mereka telah memainkan peran secara maksimal, atau hanya masih sebatas mengajar dan disibukan dengan tetek bengek urusan metode, cara menilai dan memberikan skor? Apakah guru telah berperan juga sebagai orang tua bagi siswa-siswanya di sekolah?
Jika, guru masih beranggapan hanya ada satu, dua, tiga orang saja yang pintar di sekolah, atau hanya ada sepuluh besar orang yang menonjol di kelas, maka sudah semestinya mereka juga bertanya, apakah separuh lebih dari jumlah siswa yang dianggap tidak pintar dan tidak berprestasi itu, bukan dari kebodohon dan kegagalan mereka sebagai guru?
Apatah lagi, jika ada kejahatan dan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah seperti kasus mutakhir yang terjadi di sebuah Taman Kanak-Kanak (TK) di Kota Metro, guru berdalih tidak tahu. Menjadi pertanyaan besar, apa peran dan ngapain saja mereka selama ini di sekolah, saat kekerasan seksual itu terjadi di sekolah? Apakah sekolah benar-benar telah menjadi tempat yang tidak nyaman bagi anak?
Guru semestinya sudah memainkan peran bukan hanya sebagai guru yang hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga guru yang mengajarkan tentang kehidupan, tempat yang nyaman untuk berbagi, curhat dan mengadukan setiap masalah bagi siswanya. Guru ideal adalah sosok guru yang menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan dahaga siswa-siswanya.
Indikatornya jelas, siswa senang saat belajar di sekolah atau terburu-buru ingin pulang, senang ketika guru berhalangan, senang ketika liburan, dan menjadi lepas-bebas ketika mereka dinyatakan lulus.
Benarlah, konsep Kihajar Dewantara dengan istilah Taman Siswa-nya, semestinya sekolah adalah taman, Taman yang selalu menjadi tempat idola bagi anak-anak untuk bermain. Sekolah harus bebas dari kesan seperti kuburan, angker, menyeramkan dan menghadirkan ketegangan.
Sekali lagi saya hendak menegaskan, bahwa cara yang baik menilai guru adalah dengan menilai siswanya. Jika siswanya bejat, maka gurunya bejat!!!
Penulis : Rahmatul Ummah
0 Response to "Guru Itu, Ya Siswanya!"
Post a Comment