Sublimasi Identitas Muslim
Tuesday, May 31, 2016
Add Comment
Bagaimanakah cara semestinya mengenali identitas keagamaan (Islam) ketika simbol dan tanda-tanda yang dirujuk tidak cukup menjelaskan tentang agama yang sebenarnya dan seharusnya? Sorban dan jilbab tidak lagi mewakili corak keislaman, saat penggunanya justeru menebar kemarahan, kebengisan dan jarak yang cenderung melahirkan sikap dehumanisasi.
Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia beragama mulai jungkir balik, simbol dan tanda lebih sering tampil sebagai kedok dan manipulasi daripada tampil sebagai keshalihan yang berimplikasi pada sikap rahmatan lil ‘alimin.
Wacana agama sebagai jalan hidup (the way of life) dan penggerak perubahan sosial kerap kali memunculkan beragam pertanyaan, dimana sebenarnya agama ketika mayoritas pemeluknya berada di garis kemiskinan dan kebodohan, ketika para pemeluknya yang miskin itu semakin terdesak ke pinggir oleh para pemodal? Dimana agama ketika kelaliman dan korupsi penguasa semakin merajalela?
Max Weber (1864-1920) yang pernah mengajukan tesis bahwa agama memiliki jasa besar terhadap perubahan sosial yang spektakuler dalam sejarah peradaban manusia, mungkin juga akan meninjau ulang buku Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme-nya yang lahir dari gagasan sekitar seratus limapuluh tahun yang lalu, ketika melihat fakta pola interaksi sosial agamawan dan instrumen teologisnya saat ini.
Kapitalisme yang kini berjaya yang dulu diyakini lahir dari rahim agama, tidak lagi memerlukan dukungan agama. Ketika elit agama dan kaum agamawan umumnya bisa dihargai dengan materi, dan materalisme dengan leluasa bisa mendikte fatwa dan tafsir teks-teks suci agama yang dibaca dengan sangat fasih untuk kepentingan pemodal dan kekuasaan.
Begitulah agama, jika agama disandarkan pada wilayah teosentris semata, agama hanya sebagai pengabdian untuk menuhankan Tuhan, tanpa harus mengurusi kesenjangan dan kemungkaran sosial, maka agama akan kita temukan di banyak orang-orang berjubah yang membawa pentungan, di lidah-lidah fasih para ulama yang membacakan ayat untuk mencari pembenaran korupsi, melegitimasi penggusuran, mendukung pembangunanmall, hotel, dan tempat wisata milik pemodal, termasuk pada penampilan ustadz-ustadz selebritas dan orang-orang taat dadakan menjelang dan ketika Ramadhan.
Fenomena gagalnya agama menjelaskan identitasnya, menjadikan agama sebagaimana istilah Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan sebagai suara keterasingan, karena tercerabut dari akar budayanya sendiri, identitasnya tertutup oleh pemeluknya sendiri (al islam mahjubun bil muslim).
Hal itu karena agama gagal ditempatkan sebagai suprastruktur dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya, yang dipahami kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan, sisi kemanusiaan (human) sebagai dasar dan spiritual maupun ritus yang selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Agama gagal dipahami sebagai upaya memanusiakan manusia, meski sukses menuhankan Tuhan.
Diperparah lagi, adanya perebutan atas identitas agama. Masing-masing kelompok strukturulis-agama merasa paling memiliki otoritas untuk mengaku paling beragama dan menunjuk kelompok yang lain sebagai tidak beragama, sehingga kelompok-kelompok inilah yang merasa paling memiliki otoritas sebagai penafsir tunggal teks-teks agama dan sebagai satu-satunya juru kunci kebenaran.
Abdul Munir Mulkhan di tahun 2000 menulis judul Islam Bagi Semua di Majalah Gatra, sebagai bentuk protes atas perebutan otoritas tersebut, dengan menegaskan bahwa jika hanya orang Islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an, maka bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.
Lantas bagaimana seharusnya beragama? Kaum agamawan harus mampu mendefiniskan diri dan agamanya dengan kerja-kerja yang lebih kongkrit, jangan sampai publik akhirnya memahami agama dari cara berpakaian, ketaatan dan kesucian diukur dari pakaian gamis dan jilbab lebar, sehingga koruptor dan para penjahat bisa memanipulasi simbol-simbol itu untuk kepentingan jahatnya. Diferensiasi antara ketaatan dan ketidaktaatan beragama, harus dimanifestasikan dalam sikap keberpihakan pada kemanusiaan dan kaum mustadhafien.
Agama, khususnya Islam hanya bisa dirasakan kehadirannya, jika secara praksis mampu mengikis kepalsuan yang inhern dalam realitas sosial dan membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam yang menampilkan keramahan, kesucian, ketaatan, dan kepeduliannya untuk berbagi, bukan hanya ketika berada di dalam masjid, mengikuti pengajian, atau di bulan Ramadhan dan Syawal, kemudian kembali menjadi korup, sadis, jahat dan serakah di luar masjid dan di bulan-bulan selain Ramadhan.
Penulis : Rahmatul Ummah (Jamaah Komunitas CangKir Kamisan, Metro)
Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia beragama mulai jungkir balik, simbol dan tanda lebih sering tampil sebagai kedok dan manipulasi daripada tampil sebagai keshalihan yang berimplikasi pada sikap rahmatan lil ‘alimin.
Wacana agama sebagai jalan hidup (the way of life) dan penggerak perubahan sosial kerap kali memunculkan beragam pertanyaan, dimana sebenarnya agama ketika mayoritas pemeluknya berada di garis kemiskinan dan kebodohan, ketika para pemeluknya yang miskin itu semakin terdesak ke pinggir oleh para pemodal? Dimana agama ketika kelaliman dan korupsi penguasa semakin merajalela?
Max Weber (1864-1920) yang pernah mengajukan tesis bahwa agama memiliki jasa besar terhadap perubahan sosial yang spektakuler dalam sejarah peradaban manusia, mungkin juga akan meninjau ulang buku Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme-nya yang lahir dari gagasan sekitar seratus limapuluh tahun yang lalu, ketika melihat fakta pola interaksi sosial agamawan dan instrumen teologisnya saat ini.
Kapitalisme yang kini berjaya yang dulu diyakini lahir dari rahim agama, tidak lagi memerlukan dukungan agama. Ketika elit agama dan kaum agamawan umumnya bisa dihargai dengan materi, dan materalisme dengan leluasa bisa mendikte fatwa dan tafsir teks-teks suci agama yang dibaca dengan sangat fasih untuk kepentingan pemodal dan kekuasaan.
Begitulah agama, jika agama disandarkan pada wilayah teosentris semata, agama hanya sebagai pengabdian untuk menuhankan Tuhan, tanpa harus mengurusi kesenjangan dan kemungkaran sosial, maka agama akan kita temukan di banyak orang-orang berjubah yang membawa pentungan, di lidah-lidah fasih para ulama yang membacakan ayat untuk mencari pembenaran korupsi, melegitimasi penggusuran, mendukung pembangunanmall, hotel, dan tempat wisata milik pemodal, termasuk pada penampilan ustadz-ustadz selebritas dan orang-orang taat dadakan menjelang dan ketika Ramadhan.
Fenomena gagalnya agama menjelaskan identitasnya, menjadikan agama sebagaimana istilah Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan sebagai suara keterasingan, karena tercerabut dari akar budayanya sendiri, identitasnya tertutup oleh pemeluknya sendiri (al islam mahjubun bil muslim).
Hal itu karena agama gagal ditempatkan sebagai suprastruktur dengan penonjolan sisi antroposentris dibandingkan sisi teosentrisnya, yang dipahami kemanfaatannya selalu pada ukuran-ukuran kemanusiaan, sisi kemanusiaan (human) sebagai dasar dan spiritual maupun ritus yang selalu disandarkan dalam konteks kemanusiaan. Agama gagal dipahami sebagai upaya memanusiakan manusia, meski sukses menuhankan Tuhan.
Diperparah lagi, adanya perebutan atas identitas agama. Masing-masing kelompok strukturulis-agama merasa paling memiliki otoritas untuk mengaku paling beragama dan menunjuk kelompok yang lain sebagai tidak beragama, sehingga kelompok-kelompok inilah yang merasa paling memiliki otoritas sebagai penafsir tunggal teks-teks agama dan sebagai satu-satunya juru kunci kebenaran.
Abdul Munir Mulkhan di tahun 2000 menulis judul Islam Bagi Semua di Majalah Gatra, sebagai bentuk protes atas perebutan otoritas tersebut, dengan menegaskan bahwa jika hanya orang Islam yang berhak membaca dan menafsir Al-Qur’an, maka bertentangan dengan misi penyebaran kebenaran Al-Qur’an dan maksud penurunannya sendiri. Pernyataan bahwa hanya yang paham kultur dan bahasa Arab yang berhak menafsir, berhak menyatakan yang lain salah, berarti Al-Qur’an hanya penting bagi dunia pesantren dan kelas elit yang Arabis.
Lantas bagaimana seharusnya beragama? Kaum agamawan harus mampu mendefiniskan diri dan agamanya dengan kerja-kerja yang lebih kongkrit, jangan sampai publik akhirnya memahami agama dari cara berpakaian, ketaatan dan kesucian diukur dari pakaian gamis dan jilbab lebar, sehingga koruptor dan para penjahat bisa memanipulasi simbol-simbol itu untuk kepentingan jahatnya. Diferensiasi antara ketaatan dan ketidaktaatan beragama, harus dimanifestasikan dalam sikap keberpihakan pada kemanusiaan dan kaum mustadhafien.
Agama, khususnya Islam hanya bisa dirasakan kehadirannya, jika secara praksis mampu mengikis kepalsuan yang inhern dalam realitas sosial dan membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam yang menampilkan keramahan, kesucian, ketaatan, dan kepeduliannya untuk berbagi, bukan hanya ketika berada di dalam masjid, mengikuti pengajian, atau di bulan Ramadhan dan Syawal, kemudian kembali menjadi korup, sadis, jahat dan serakah di luar masjid dan di bulan-bulan selain Ramadhan.
Penulis : Rahmatul Ummah (Jamaah Komunitas CangKir Kamisan, Metro)
0 Response to "Sublimasi Identitas Muslim"
Post a Comment