Dosenku Bendoroku?
Sunday, October 16, 2016
Add Comment
Jika anda pernah membaca roman berjudul Gadis Pantai yang tidak lain adalah buah pemikiran dari empunya ‘tetralogi buru’ yaitu Pramoedya Ananta Toer. Maka anda akan mendapati sosok Bendoro yang sangat disegani karena kedudukanya, digambarkan bahwasanya Bendoro adalah orang yang berilmu bahkan paham betul soal agama Islam.
Bendoro selalu menenteng tasbih kecil dan berpakaian rapi, setiap subuh tak pernah luput Sang Bendoro membaca lantunan ayat suci hingga menyingsingnya fajar. Meskipun demikian, Bendoro memiliki sifat yang keji, picik, dan semena-mena. Bagaimana tidak, tak ada satu sahayanya-pun yang boleh menatap wajahnya saat berbicara menunduk dan membungkuk sudah menjadi suatu keharusan.
Selebihnya tentang deskripi Bendoro bisa dipahami langsung saat membaca buku tersebut. Dalam buku yang sangat kental dengan nuansa ‘feodalisme Jawa’ tersebut, jelas digambarkan sosok Bendoro selain seorang yang mengetahui terhadap hukum Islam, ia juga seorang yang cerdas dan kaya raya. Akan tetapi sifat pongah culasnya jauh melampaui keilmuan yang ia miliki.
Adat Jawa memang sarat akan nilai-nilai feodal, alih-alih memberikan rasa hormat dan bersikap sopan, justru hal tersebut malah menunjukan kesenjangan sosial yang sangat jelas. Bagaimana tidak, keharusan untuk menunduk dan membungkuk seolah pandangan mata telah terikat dilantai ketika bertegur sapa dengan orang lain dewasa ini malah terkesan kurang pas.
Tak ada unsur kesetaraan sesama manusia dalam tindakan tersebut, justru memperlihatkan secara terang-terangan bahwasanya kaum proletar harus tunduk terhadap kaum borjuis. Sistem feodalisme yang seperti itu apakah sudah lenyap di zaman modern seperti ini? Jawabanya tidak, istilah jawa menyebutnya malih rupo atau bertransformasi kedalam bentuk yang lebih elegan.
Dosenku, Bendoroku?
Tenaga edukasi dalam perguruan tinggi jelas memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni. Bagaimana tidak, merekalah yang kelak akan mengantarkan mahasiswa menjadi sarjana jadi sudah tidak diragukan lagi kredibiltas dosen dalam disiplin ilmunya masing-masing. Terlebih apabila mereka berada dalam perguruan tinggi Islam, sudah kepalang pasti paham akan hukum islam.
Dari sini kemudian ditemukan ada kesamaan antara Dosen dan Bendoro yakni sama-sama mahir dalam bidang keilmuan serta cakap soal urusan agama Islam. Dari prespektif mahasiswa sosok dosen memang sudah selayaknya di hormati karena dari para dosenlah mereka nantinya akan mendapatkan pencerahan perihal ilmu pengetahuan secara komprehensif.
Menghormati dosen memang suatu keharusan bagi mahasiswa akan tetapi tidak harus sampai kelewat batas dalam melakukanya. Bisa jadi apabaila mahasiswa sampai melewati tapal batas dalam menghormati dosen, justru ia malah menjadi penyokong sistem feodalisme yang terbarukan. Lalu seperti apa menghormati dosen yang kelewat batas?
Misalnya saja ketika mengundang dosen untuk menjadi juri dalam suatu kegiatan mahasiswa dosen yang telah menyetujui undangan tersebut tidak akan bergeming dari ruangan apabila tidak dijemput oleh mahasiswa yang bersangkutan. Haruskah seperti itu?
Apakah ketika anda mempunyai hajat resepsi pernikahan misalnya, kemudian anda mengundang kepala kampung haruskah anda menjemputnya, menunggunya bersolek, lalu mengawalnya hingga tepat di rumah anda? Itu feodal! Miris memang ketika jiwa sosialis humanis luntur di diri dosen, menganggap bahwasanya dirinya harus dihargai setinggi-tingginya.
Mahasiswa sejatinya adalah agen perubahan bukan penyokong sistem dan pelancar praktik feodal. Mahasiswa juga bukan seorang sahaya dalam cerita Bendoro di atas. Pertanyaannya dimanakah posisi mahasiswa saat ini? penyokong feodalisme kah? atau pelawan feodalisme itu sendiri? pertanyaan yang jawabanya akan sangat subyektif.
Perlu diketahui juga bahwasanya tidak semua dosen memiliki mind set seperti Bendoro, dosen yang berjiwa sosial besar dan menjunjung tinggi ilmu humaniora. Dalam pembelajaranya-pun masih ada walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Sikap kritis mahasiswa-lah yang mampu menampik praktik feodalisme di era modern jika tidak mahasiswa bukan lagi Agent of Change. Tabik!
Julianto Nugroho (Pegiat Jurai Siwo Corner)
Bendoro selalu menenteng tasbih kecil dan berpakaian rapi, setiap subuh tak pernah luput Sang Bendoro membaca lantunan ayat suci hingga menyingsingnya fajar. Meskipun demikian, Bendoro memiliki sifat yang keji, picik, dan semena-mena. Bagaimana tidak, tak ada satu sahayanya-pun yang boleh menatap wajahnya saat berbicara menunduk dan membungkuk sudah menjadi suatu keharusan.
Selebihnya tentang deskripi Bendoro bisa dipahami langsung saat membaca buku tersebut. Dalam buku yang sangat kental dengan nuansa ‘feodalisme Jawa’ tersebut, jelas digambarkan sosok Bendoro selain seorang yang mengetahui terhadap hukum Islam, ia juga seorang yang cerdas dan kaya raya. Akan tetapi sifat pongah culasnya jauh melampaui keilmuan yang ia miliki.
Adat Jawa memang sarat akan nilai-nilai feodal, alih-alih memberikan rasa hormat dan bersikap sopan, justru hal tersebut malah menunjukan kesenjangan sosial yang sangat jelas. Bagaimana tidak, keharusan untuk menunduk dan membungkuk seolah pandangan mata telah terikat dilantai ketika bertegur sapa dengan orang lain dewasa ini malah terkesan kurang pas.
Tak ada unsur kesetaraan sesama manusia dalam tindakan tersebut, justru memperlihatkan secara terang-terangan bahwasanya kaum proletar harus tunduk terhadap kaum borjuis. Sistem feodalisme yang seperti itu apakah sudah lenyap di zaman modern seperti ini? Jawabanya tidak, istilah jawa menyebutnya malih rupo atau bertransformasi kedalam bentuk yang lebih elegan.
Dosenku, Bendoroku?
Tenaga edukasi dalam perguruan tinggi jelas memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni. Bagaimana tidak, merekalah yang kelak akan mengantarkan mahasiswa menjadi sarjana jadi sudah tidak diragukan lagi kredibiltas dosen dalam disiplin ilmunya masing-masing. Terlebih apabila mereka berada dalam perguruan tinggi Islam, sudah kepalang pasti paham akan hukum islam.
Dari sini kemudian ditemukan ada kesamaan antara Dosen dan Bendoro yakni sama-sama mahir dalam bidang keilmuan serta cakap soal urusan agama Islam. Dari prespektif mahasiswa sosok dosen memang sudah selayaknya di hormati karena dari para dosenlah mereka nantinya akan mendapatkan pencerahan perihal ilmu pengetahuan secara komprehensif.
Menghormati dosen memang suatu keharusan bagi mahasiswa akan tetapi tidak harus sampai kelewat batas dalam melakukanya. Bisa jadi apabaila mahasiswa sampai melewati tapal batas dalam menghormati dosen, justru ia malah menjadi penyokong sistem feodalisme yang terbarukan. Lalu seperti apa menghormati dosen yang kelewat batas?
Misalnya saja ketika mengundang dosen untuk menjadi juri dalam suatu kegiatan mahasiswa dosen yang telah menyetujui undangan tersebut tidak akan bergeming dari ruangan apabila tidak dijemput oleh mahasiswa yang bersangkutan. Haruskah seperti itu?
Apakah ketika anda mempunyai hajat resepsi pernikahan misalnya, kemudian anda mengundang kepala kampung haruskah anda menjemputnya, menunggunya bersolek, lalu mengawalnya hingga tepat di rumah anda? Itu feodal! Miris memang ketika jiwa sosialis humanis luntur di diri dosen, menganggap bahwasanya dirinya harus dihargai setinggi-tingginya.
Mahasiswa sejatinya adalah agen perubahan bukan penyokong sistem dan pelancar praktik feodal. Mahasiswa juga bukan seorang sahaya dalam cerita Bendoro di atas. Pertanyaannya dimanakah posisi mahasiswa saat ini? penyokong feodalisme kah? atau pelawan feodalisme itu sendiri? pertanyaan yang jawabanya akan sangat subyektif.
Perlu diketahui juga bahwasanya tidak semua dosen memiliki mind set seperti Bendoro, dosen yang berjiwa sosial besar dan menjunjung tinggi ilmu humaniora. Dalam pembelajaranya-pun masih ada walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Sikap kritis mahasiswa-lah yang mampu menampik praktik feodalisme di era modern jika tidak mahasiswa bukan lagi Agent of Change. Tabik!
Julianto Nugroho (Pegiat Jurai Siwo Corner)
0 Response to "Dosenku Bendoroku?"
Post a Comment