Pendidikan dan Populisme
Friday, October 28, 2016
Add Comment
Pada era ini, kita tidak dikagetkan pada sebuah fenomena populis, yang mengukur tingkat keberhasilan dan kesuksesan bertolok dari ketenaran dan asumsi publik. Hal ini disadari atau tidak telah membudaya dan tumbuh berkecambah dalam alam fikir bawah sadar manusia kekinian. Era digital ini akhirnya menjadikan riuh sorak tepuk tangan menjadi sebuah drama penambah babak baru pada episode kemasyhuran, hal ini terus diamini sebagai bagian dari instrumen dalam membangun sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Generasi zaman yang mengalami gradasi pada pemaknaan subtansial ini akhirnya berdampak pada fenomena krisis identitas. Berakhir pada hilangnya makna inti dari segala hal yang bersifat kias, berujung pada logika realistis juga materialitis. Tidak ada ruang kompromi pada diskursus metafisik, sehingga makna ruhani pada dimensi kehidupan hanya menjadi mitos.
Hilangnya kesadaran akan pentingnya sebuah falsafah bangsa, pengetahuan akan pemakanaan nilainya, akhirnya menjadikan bangsa ini kehilangan jati dirinya. Inti dari sebuah bangsa adalah generasinya, tanpa generasi sebuah bangsa akan punah dan hilang dari peredaran. Sejarah telah mencatat bahwa Bangsa Indonesia itu lebih dahulu ada daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara adalah wadah untuk menampung entitas manusia dan kebudayaannya, tanah juga airnya, dan formalisasi dari sebuah tatanan struktur cara hidup bersama.
Tujuan dari berdirinya sebuah negara adalah untuk menjamin sandang, pangan dan papan para rakyat yang berada pada naungannya. Menjamin harkat dan martabat kehidupan sebagai manusia, dan bersama-sama dengan anggota negara mewujudkan cita-cita hidup yang kolektif berlandaskan falsafah negara. Negara harus memiliki tujuan, tanpa ada tujuan maka negara hanyalah alat penindasan bagi rakyat yang ada di dalamnya.
Cara hidup bernegara dalam pelaksanaan sistem yang bertujuan untuk mencapai sebuah kesejahteraan sosial tentu tidak dapat dikatakan mudah untuk sampai pada kesepakatan bersama. Perdebatan untuk membangun sistem bernegara tidak sedikit telah mengorbankan darah dan air mata. Perang antara kapitalisme dan komunisme berdampak terbentuknya Blok Barat dan Blok Timur pada perang dunia 1 dan 2. Kita akhirnya terjebak pada ruang dimana kita harus menggunakan ideologi kiri atau kanan.
Para pendahulu bangsa ini tidak kehilangan akal untuk mengatasi polemik tersebut. Mereka yang telah tercelup pada pola pendidikan ala barat dan ala timur akhirnya mampu berdamai dan membangun konsensus baru di atas barat dan timur juga kanan dan kiri. Falsafah dasar yang terangkum pada Pancasila dan UUD 1945 adalah solusi mutakhir dari segala aspek kerusakan pada saat itu untuk sampai pada cita-cita persatuan. Akhirnya semua pihak mampu berdamai dan menerima Pancasila sebagai sebuah konsensus dalam meletakkan dasar pijakan negara.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa fungsi negara dalam melahirkan generasi penerusnya? Negara harus menjadi subjek dimana generasi muda adalah aset yang tidak dapat pisahkan dari cara mengelola negara, tidak menjadikannya sebagai objek eksploitasi dalam menajamkan skrup-skrup kapitalisme. Kondisi ini tentu akan berdampak pada peningkatan kualitas generasi muda yang harus menjadi prioritas. Sumber daya manusia yang handal, terampil, kompeten, insiator, memiliki visi dan on mision adalah kualitas SDM yang diharapkan di masa depan. Mampu mengisi pos-pos strategis yang menjadikan hajat hidup orang banyak dan bersiap dalam membangun dinamika kehidupan komunal yang dinamis serta menciptakan keseimbangan tentu merupakan impian yang nyata harus diwujudkan.
Membangun generasi tentu tidak dapat terlepas dari membangun sebuah sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang baik tidak boleh lepas dari falsafah berdirinya sebuah negara. Tujuan negara harus mampu dikemas menjadi sebuah sistem pendidikan yang menghantarkan manusia sampai pada cita-cita besar sebuah negara. Sehingga tidak ada ruang yang terputus dan akhirnya menjadikan gagap dan gamang dalam mengambil keputusan.
Era populis saat ini akan menjadi sangat fatal untuk diikuti jika instrumen dari popularitas menjadi dasar dan pijakan sebuah konsep pendidikan. Dengan menyelenggarakan sistem kurikulum yang terus berubah dari waktu ke waktu, wacana pelaksanaan proses belajar full day, penyelenggaraan UN dan berbagai macam polemik lain dalam penyikapan hendaknya harus berdasar pada falsafah dasar negara, dan bukan berdasar pada falsafah penerimaan publik dan asal beda untuk menarik sebuah simpati masyarakat.
Tafsir terhadap makna dari falsafah bangsa ini tentu tidak dapat dimaknai dengan liar hingga kontra produktif. Namun kita tidak dapat memungkiri bahwa setiap kita bebas dan dapat menafsirkan Pancasila sebagai sebuah dasar negara. Tapi kita memiliki perihal mendasar yang tidak dapat dihilangkan dari proses penafsiran itu adalah bagaimana instrumen akal, pikiran dan rasa menjadi sebuah alat untuk menafsir yang baik. Kita tidak dapat meninggalkan budi pekerti sebagai sarana subtansi yang jernih dan murni untuk merangkai aksioma dari determinasi nilai pendidikan yang hilang dalam wujud bangsa dan kebudayaannya.
Bagaimana pendidikan yang berfalsafah? Proses pendidikan yang ideal berdasarkan falsafah negara dan bangsa Indonesia ketika pendidikan itu berlandaskan pada aspek Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pada aspek Ke-Tuhanan inilah akan melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab. Mereka akan takut untuk berbuat culas dan dzolim karena ada Tuhan yang senantiasa mengawasi dan membersamai langkahnya. Setelah menjadi adil dan beradap maka tercipta sebuah persatuan, persatuan tidak akan terwujud jika tidak di ada sikap yang beradab dan adil serta objektif terhadap fenomena yang berkelindan dalam kesehariannya.
Persatuan akan membentuk sebuah siklus, yang di dalamnya ada sebuah konsep kebersamaan, musyawarah, gotong royong serta kepemimpinan yang dipimpin oleh khitmat dan kebijaksanaan. Setelah itu baru tercapailah kesejahteraan sosial yang di idam-idamkan para pendiri bangsa ini dan menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa ini.
Bangsa yang telah memiliki segala kekayaannya ini hendaknya tidak boleh gagal dalam mencapai sebuah cita-citanya. Generasi penerus adalah masa depan sebuah bangsa, mereka semua harus terbentuk dengan pendidikan yang baik, berdasarkan falsafah dasar dari negara ini dirikan. Jangan sampai kita membiarkan proses pendidikan kita tidak memiliki karakter dan tujuan yang sesuai dengan dasar negara kita, cita bangsa kita.
“Tidak akan sampai kita ke India, jika langkah kaki menuju Cina”
Robert Edy Sudarwan (Kandidat Doktor Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, UNJ)
Generasi zaman yang mengalami gradasi pada pemaknaan subtansial ini akhirnya berdampak pada fenomena krisis identitas. Berakhir pada hilangnya makna inti dari segala hal yang bersifat kias, berujung pada logika realistis juga materialitis. Tidak ada ruang kompromi pada diskursus metafisik, sehingga makna ruhani pada dimensi kehidupan hanya menjadi mitos.
Hilangnya kesadaran akan pentingnya sebuah falsafah bangsa, pengetahuan akan pemakanaan nilainya, akhirnya menjadikan bangsa ini kehilangan jati dirinya. Inti dari sebuah bangsa adalah generasinya, tanpa generasi sebuah bangsa akan punah dan hilang dari peredaran. Sejarah telah mencatat bahwa Bangsa Indonesia itu lebih dahulu ada daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara adalah wadah untuk menampung entitas manusia dan kebudayaannya, tanah juga airnya, dan formalisasi dari sebuah tatanan struktur cara hidup bersama.
Tujuan dari berdirinya sebuah negara adalah untuk menjamin sandang, pangan dan papan para rakyat yang berada pada naungannya. Menjamin harkat dan martabat kehidupan sebagai manusia, dan bersama-sama dengan anggota negara mewujudkan cita-cita hidup yang kolektif berlandaskan falsafah negara. Negara harus memiliki tujuan, tanpa ada tujuan maka negara hanyalah alat penindasan bagi rakyat yang ada di dalamnya.
Cara hidup bernegara dalam pelaksanaan sistem yang bertujuan untuk mencapai sebuah kesejahteraan sosial tentu tidak dapat dikatakan mudah untuk sampai pada kesepakatan bersama. Perdebatan untuk membangun sistem bernegara tidak sedikit telah mengorbankan darah dan air mata. Perang antara kapitalisme dan komunisme berdampak terbentuknya Blok Barat dan Blok Timur pada perang dunia 1 dan 2. Kita akhirnya terjebak pada ruang dimana kita harus menggunakan ideologi kiri atau kanan.
Para pendahulu bangsa ini tidak kehilangan akal untuk mengatasi polemik tersebut. Mereka yang telah tercelup pada pola pendidikan ala barat dan ala timur akhirnya mampu berdamai dan membangun konsensus baru di atas barat dan timur juga kanan dan kiri. Falsafah dasar yang terangkum pada Pancasila dan UUD 1945 adalah solusi mutakhir dari segala aspek kerusakan pada saat itu untuk sampai pada cita-cita persatuan. Akhirnya semua pihak mampu berdamai dan menerima Pancasila sebagai sebuah konsensus dalam meletakkan dasar pijakan negara.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa fungsi negara dalam melahirkan generasi penerusnya? Negara harus menjadi subjek dimana generasi muda adalah aset yang tidak dapat pisahkan dari cara mengelola negara, tidak menjadikannya sebagai objek eksploitasi dalam menajamkan skrup-skrup kapitalisme. Kondisi ini tentu akan berdampak pada peningkatan kualitas generasi muda yang harus menjadi prioritas. Sumber daya manusia yang handal, terampil, kompeten, insiator, memiliki visi dan on mision adalah kualitas SDM yang diharapkan di masa depan. Mampu mengisi pos-pos strategis yang menjadikan hajat hidup orang banyak dan bersiap dalam membangun dinamika kehidupan komunal yang dinamis serta menciptakan keseimbangan tentu merupakan impian yang nyata harus diwujudkan.
Membangun generasi tentu tidak dapat terlepas dari membangun sebuah sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang baik tidak boleh lepas dari falsafah berdirinya sebuah negara. Tujuan negara harus mampu dikemas menjadi sebuah sistem pendidikan yang menghantarkan manusia sampai pada cita-cita besar sebuah negara. Sehingga tidak ada ruang yang terputus dan akhirnya menjadikan gagap dan gamang dalam mengambil keputusan.
Era populis saat ini akan menjadi sangat fatal untuk diikuti jika instrumen dari popularitas menjadi dasar dan pijakan sebuah konsep pendidikan. Dengan menyelenggarakan sistem kurikulum yang terus berubah dari waktu ke waktu, wacana pelaksanaan proses belajar full day, penyelenggaraan UN dan berbagai macam polemik lain dalam penyikapan hendaknya harus berdasar pada falsafah dasar negara, dan bukan berdasar pada falsafah penerimaan publik dan asal beda untuk menarik sebuah simpati masyarakat.
Tafsir terhadap makna dari falsafah bangsa ini tentu tidak dapat dimaknai dengan liar hingga kontra produktif. Namun kita tidak dapat memungkiri bahwa setiap kita bebas dan dapat menafsirkan Pancasila sebagai sebuah dasar negara. Tapi kita memiliki perihal mendasar yang tidak dapat dihilangkan dari proses penafsiran itu adalah bagaimana instrumen akal, pikiran dan rasa menjadi sebuah alat untuk menafsir yang baik. Kita tidak dapat meninggalkan budi pekerti sebagai sarana subtansi yang jernih dan murni untuk merangkai aksioma dari determinasi nilai pendidikan yang hilang dalam wujud bangsa dan kebudayaannya.
Bagaimana pendidikan yang berfalsafah? Proses pendidikan yang ideal berdasarkan falsafah negara dan bangsa Indonesia ketika pendidikan itu berlandaskan pada aspek Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pada aspek Ke-Tuhanan inilah akan melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab. Mereka akan takut untuk berbuat culas dan dzolim karena ada Tuhan yang senantiasa mengawasi dan membersamai langkahnya. Setelah menjadi adil dan beradap maka tercipta sebuah persatuan, persatuan tidak akan terwujud jika tidak di ada sikap yang beradab dan adil serta objektif terhadap fenomena yang berkelindan dalam kesehariannya.
Persatuan akan membentuk sebuah siklus, yang di dalamnya ada sebuah konsep kebersamaan, musyawarah, gotong royong serta kepemimpinan yang dipimpin oleh khitmat dan kebijaksanaan. Setelah itu baru tercapailah kesejahteraan sosial yang di idam-idamkan para pendiri bangsa ini dan menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa ini.
Bangsa yang telah memiliki segala kekayaannya ini hendaknya tidak boleh gagal dalam mencapai sebuah cita-citanya. Generasi penerus adalah masa depan sebuah bangsa, mereka semua harus terbentuk dengan pendidikan yang baik, berdasarkan falsafah dasar dari negara ini dirikan. Jangan sampai kita membiarkan proses pendidikan kita tidak memiliki karakter dan tujuan yang sesuai dengan dasar negara kita, cita bangsa kita.
“Tidak akan sampai kita ke India, jika langkah kaki menuju Cina”
Robert Edy Sudarwan (Kandidat Doktor Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, UNJ)
0 Response to "Pendidikan dan Populisme"
Post a Comment