Dialog Pesantren dan Modernitas

Menilai perkembangan pesantren dari dulu hingga sekarang merupakan perkara yang agak sulit. Sulit karena tidak ada satu pun panduan baku yang dijadikan tolak ukur untuk menilai kemajuannya. Ya, pesantren dibiarkan bebas menonjolkan ciri-cirinya sendiri sesuai dengan jargon ilmu yang mendominasi muatan pengajarannya. Tidak ada lembaga supervisor macam badan akreditasi yang bertugas menilai tingkat kelayakan dan ranking sebuah pesantren.

Jika dihadapkan dengan perkembangan zaman yang makin mengarah pada moderasi, hampir dipastikan, kita akan semakin bingung lagi. Manakah pesantren yang paling bagus dan ideal? Apakah pesantren yang berhasil melakukan adaptasi dengan moderinitas? Atau pesantren yang masih konservatif dalam mempertahankan tradisi dan sistem pengajaran klasik (wetonan dan sorogan), sehingga masih murni?

Dalam era milenium ini, masih ditemukan pesantren salafi. Seorang kiai yang yang mengasuh pondok pesantren tersebut mewajibkan santrinya untuk mengikuti tarekat dengan menolak segala peralatan modern seperti alat speaker. Di satu sisi, kita juga bisa menemukan pesantren yang sudah melakukan kolaborasi dengan memasukan unsur-unsur  pendidikan umum yang sudah modern.

Berhadapan dengan realitas demikian, Nurcholis Madjid (dalam Aphasia, 2006) menjelaskan bahwa kalangan pesantren terpolarisasi ke dalam empat kelompok. Pertama, adalah kelompok yang merupakan bagian yang terbesar, yaitu kelompok pesantren yang menyadari dirinya, apakah bernilai baik atau kurang baik. Mereka menganggap bahwa apa yang telah terjadi adalah terjadi begitu saja, tanpa ada persoalan serius yang menyangkutnya.

Kedua, adalah kelompok yang fanatik, yakni kelompok yang menilai begitu saja dengan segala aspeknya adalah positif dan mutlak harus dipertahankan. Ketiga, adalah kelompok yang terhinggapi perasaan rendah diri dan justru menumbuhkan sikap dangkal dalam mengejar ketertinggalan zamannya, sehingga akhirnya merusak dirinya sendiri dan identitas keseluruhannya. Keempat, dan ini merupakan paling sedikit jumlahnya, adalah pesantren yang sepenuhnya baik dalam hal berkaitan dengan segi-segi positifnya maupun negatifnya, sanggup melihat dengan jernih mana yang harus diteruskan dan mana yang harus ditinggalkan dan karenanya mereka memilki kemampuan adaptasi pada perkembangan zaman dan masyarakat.

Apa yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid, menurut pandangan Aphasia bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Masih adanya pesantren yang terkesan konservatif dalam memandang perkembangan dan perubahan zaman. Menurutnya, fenomena ini bisa dibedah dengan menelisik akar sejarah dan epistemologis nalar orang-orang di dalamnya. Dalam aspek sejarah misalnya, kentalnya nuansa sufisme dan tarekat pada awal perkembangan pesantren, yang menjadikan seorang kiai sebagai tokoh sentral yang titahnya harus ditaati seutuhnya, sehingga bukan perkembangan di luar yang dijadikan ‘cermin’, namun kiai yang memimpinnya

Tidak hanya itu, secara epitemologis, kitab semacam “Ta’lim Muta’alim” dan kitab lain yang senada dengannya praksis mempunyai andil yang besar dalam membentuk semangat penghormatan yang tinggi terhadap kiai dan semua keluarganya.

Penyebab sikap apatis pesantren terhadap modernitas juga ungkap oleh El shirazy (2006). Beberapa alasan reaksi mereka antara lain karena kemunculan modernitas dari barat tidak bisa dilepaskan dari dunia barat itu sendiri. Modernisasi dicurigai sama dengan westernisasi. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat di barat telah menyebabkan ketimpangan yang luar biasa antara masyarakat islam dan modern. Islam dan modernisme dianggap sebagai sesuatu yang kontradiktif.

Namun demikian pendapat kalangan pesantren, modernisme tetap memiliki implikasi dalam kehidupan sosial dan beragama. Ada beberapa beberapa fenomena seperti yang dieksplorasi oleh A. Malik Fadjar (dalam El-shirazy, 2006) yang bisa diungkap mengenai implikasi modernisme. Pertama, berkembanganya budaya massa karena pengaruh kemajuan media. Hal ini akan berdampak pada tatanan nilai yang dianut masyarakat. Kedua, tumbuhnya sikap yang lebih terbuka terhadap segala bentuk perubahan, termasuk dalam beragama. Ketiga, tumbuhnya sikap hidup rasional. Dan keempat, tumbuhnya sikap orientasi hidup pada kebendaan atau sikap hidup materialistik.

Implikasi modernisme terhadap perubahan realitas sosial dan beragama, oleh sebagian kalangan pesantren lainnya ditanggapi dengan paradigma yang lebih moderat. Gaung kejayaan modernitas yang ditawarkan tidak serta merta membuat pesantren gagap dan gegabah untuk segera menelan mentah-mentah tradisi moderintas itu. Dengan berpegang teguh pada adagium “Al-muhafadzhoh ‘ala qadimi shalih wal ahdlu bi jadidil ashlah” kalangan pesanten mulai menerima modernitas dengan mengutamakan sikap selektif dalam memilih mana unsur modernitas yang patut diambil dan mana yang tidak. Di satu sisi, penerimaan ini diimbangi dengan sikap menjaga tradisi yang dianggap masih cukup baik.

Sebagai bukti empirik yang bisa dilihat sekarang adalah banyaknya pesantren yang menggunakan sistem klasikal, serta pengaturan kurikulum. Bahkan sebagai bentuk negosiasi, kebanyakan pondok pesantren menggunakan dua sistem pembelajaran sekaligus. Sistem klasikal yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah yang dilakukan pada jam sekolah biasa, dan selebihnya adalah pengajian wetonan pada waktu-waktu ba’da shalat, seperti shalat 'ashar hingga subuh.

Lebih dari itu, beberapa pondok pesantren bahkan mulai menerapkan sistem pembelajaran modern secara penuh, di mana pola pembelajaran semaan ta’lim, wetonan, dan sorogan ditiadakan sama sekali. Contoh pesantren jenis ini seperti: Pondok Pesantren Gontor, Walisongo Ngabar Ponorogo, Al-zaitun, dan lain-lain.

Terlepas dari semua fenomena dan beraneka ragam cara pesantren dalam merespon modernitas, kita sepakat bahwa pesantren telah memberikan kontribusi terhadap proses transformasi sosial, perkembangan kenegaraan dan khususnya pendidikan di tanah air, yang dimotori oleh tokoh-tokoh nasional jebolan pesantren sekelas Gus Dur, Cak Nur, Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, dan tokoh-tokoh lainnya.

Dengan demikian, dalam konteks pelebaran akses pendidikan di segala lapisan sosial masyarakat, peran  pesantren tidak hanya perlu ditegaskan, tetapi mendesak untuk dilibatkan secara langsung.

Wallahua’lam.

Nurul Farida dan Tomi Nurrohman (Mahasiswi STAIN Metro dan Pegiat Jurai Siwo Corner)

 

 

 

0 Response to "Dialog Pesantren dan Modernitas"

Post a Comment