Dikuasai Atau Menguasai
Friday, November 11, 2016
Add Comment
Konflik pertanahan belakangan ini kian memprihatinkan kita semua. Selain jumlahnya meningkat, dampaknya sosial ekonomi yang timbul sungguh luar biasa. Dari orde baru hingga saat ini saja sudah banyak nyawa melayang, ratusan orang luka-luka dan kehilangan tempat tinggal. Banyaknya penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat hingga tidak bisa mendapatkan hak konstitusional sebagai warga negara.
Persoalan yang mencuat kepermukaan ialah perebutan lahan perkebunan, kawasan hutan, pertambangan, dan lahan pertanian. Setiap konflik memiliki akar masalah dan karakteristik yang berbeda. Ada konflik karena Hak Guna Usaha (HGU) habis dan masyarakat menilai tanah yang sudah habis masa HGU-nya dikembalikan kepada mereka. Ada pula masyarakat yang merebuat tanah Negara atau tanah yang berkualifikasi HGU karena manilai proses peralihannya terjadi secara paksa di masa lalu hingga membuat luka sampai saat ini masih menjadi gejola (masyarakat dengan PT BENHIL Lampung), tidak fair, tidak adil. Serta menilai lahan sumber daya alam yang tak pernah diberikan oleh rakyat.
Menimbang Keadilan
Semua itu berakar pada masalah ketimpangan agraria. Bagi masyarakat Indonesia yang disebuat sebagai Negara agraris dan bahari, tanah memiliki arti dan makna yang istimewa, yaitu sebagai wujud eksistensi, akar sosial budaya, alat produksi utama, dan simbol status sosial ekonomi. Tanah menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sehingga mereka akan berjuang mempertahankan.
Ada pula masyarakat yang menolak kehadiran perusahaan karena dinilai merusak kelestarian lingkungan yang bisa berdampak buruk, bahkan karena ketimpangan penguasaan yang diberikan oleh Negara kepada perusahaan terlalu besar dan mudah. Ini akan melahirkan perlawanan oleh masyarakat.
Kegagalan Negara dalam menangani konflik agraria. Karena hak dan kewajiban kedua belah pihak sama sama menjadi pemilik tanah, jika perorangan menjadi hak milik, maka negara juga memiliki hak menguasai Negara. Keduanya sama-sama mengacu pada Konstitusi: Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, Diamanatkan dalam pasal 33 ayat (1) sangat jelas “Bumi air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat UUD 1945 pasal 33 ayat (3)”
Pasal 33 itu harus dipahami menjadi satu kesatuan yang utuh. Ayat (3) di atas merupakan konsekuensi logis dari Ayat (1) dan Ayat (2). Perintah Konstitusi ini sangat jelas. Pemerintah, Negara diberikan kewenangan untuk menguasai seluruh aset agraria di wilayah Negara Indonesia. Perintah kedua, penguasaan oleh Negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat.
Pemikiran penyelesaian
Karena itu, penyelesaian konflik tidak bisa hanya memakai pendekatan hukum. Masyarakat akan tetap ngotot menuntut hak atas tanah tertentu meski tidak memiliki bukti hak yang sah. Mengapa? Sebab, tanah sutu satunya yang dimiliki untuk menghidupi keluarga dan di wariskan kepada anak cucu. Pendekatan yang paling efektif adalah pendekatan kesejahteraan dengan memberikan kompensasi yang adil dan bermutu kepada msyarakat pemegang hak atas tanah maupun warga seputar lokasi konflik.
Masyarakat sekitar perkebunan, pertambangan, dan industri harus diberikan saham kepemilikan, ini pun perwujudan dari ‘asas kekeluargaan’ yang diperintahkan oleh Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian maka masyarakat memiliki masa depan yang pasti. Untuk bisa juga merasakan penguasaan akses sumber daya alam.
Pokok-pokok pemikiran di atas bahwa konflik agraria merupakan persoalan serius, mulai dari hulu (regulasi kebijakan) hingga hilir (tatanan implementasi di lapangan). Karena itu, usaha pencegahan, penanganan, dan penyelesaian harus menyeluruh hingga ke akar persoalan. Untuk itu perlu disusun konsep besar (grand design) dengan melibatkan beberapa pihak mulai dari DPR, BPN, Kementerian terkait, Kepolisian, organisasi petani dan nelayan, serta pemerintah daerah dan tokoh masyarakat sebagai implementasi di lapangan. Hanya dengan demikian dapat berkurang konflik di bidang agraria.
Rico Andreas (Mahasiswa FH Unila, Aktifis FMN Lampung)
Persoalan yang mencuat kepermukaan ialah perebutan lahan perkebunan, kawasan hutan, pertambangan, dan lahan pertanian. Setiap konflik memiliki akar masalah dan karakteristik yang berbeda. Ada konflik karena Hak Guna Usaha (HGU) habis dan masyarakat menilai tanah yang sudah habis masa HGU-nya dikembalikan kepada mereka. Ada pula masyarakat yang merebuat tanah Negara atau tanah yang berkualifikasi HGU karena manilai proses peralihannya terjadi secara paksa di masa lalu hingga membuat luka sampai saat ini masih menjadi gejola (masyarakat dengan PT BENHIL Lampung), tidak fair, tidak adil. Serta menilai lahan sumber daya alam yang tak pernah diberikan oleh rakyat.
Menimbang Keadilan
Semua itu berakar pada masalah ketimpangan agraria. Bagi masyarakat Indonesia yang disebuat sebagai Negara agraris dan bahari, tanah memiliki arti dan makna yang istimewa, yaitu sebagai wujud eksistensi, akar sosial budaya, alat produksi utama, dan simbol status sosial ekonomi. Tanah menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sehingga mereka akan berjuang mempertahankan.
Ada pula masyarakat yang menolak kehadiran perusahaan karena dinilai merusak kelestarian lingkungan yang bisa berdampak buruk, bahkan karena ketimpangan penguasaan yang diberikan oleh Negara kepada perusahaan terlalu besar dan mudah. Ini akan melahirkan perlawanan oleh masyarakat.
Kegagalan Negara dalam menangani konflik agraria. Karena hak dan kewajiban kedua belah pihak sama sama menjadi pemilik tanah, jika perorangan menjadi hak milik, maka negara juga memiliki hak menguasai Negara. Keduanya sama-sama mengacu pada Konstitusi: Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, Diamanatkan dalam pasal 33 ayat (1) sangat jelas “Bumi air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat UUD 1945 pasal 33 ayat (3)”
Pasal 33 itu harus dipahami menjadi satu kesatuan yang utuh. Ayat (3) di atas merupakan konsekuensi logis dari Ayat (1) dan Ayat (2). Perintah Konstitusi ini sangat jelas. Pemerintah, Negara diberikan kewenangan untuk menguasai seluruh aset agraria di wilayah Negara Indonesia. Perintah kedua, penguasaan oleh Negara bertujuan untuk kemakmuran rakyat.
Pemikiran penyelesaian
Karena itu, penyelesaian konflik tidak bisa hanya memakai pendekatan hukum. Masyarakat akan tetap ngotot menuntut hak atas tanah tertentu meski tidak memiliki bukti hak yang sah. Mengapa? Sebab, tanah sutu satunya yang dimiliki untuk menghidupi keluarga dan di wariskan kepada anak cucu. Pendekatan yang paling efektif adalah pendekatan kesejahteraan dengan memberikan kompensasi yang adil dan bermutu kepada msyarakat pemegang hak atas tanah maupun warga seputar lokasi konflik.
Masyarakat sekitar perkebunan, pertambangan, dan industri harus diberikan saham kepemilikan, ini pun perwujudan dari ‘asas kekeluargaan’ yang diperintahkan oleh Ayat (1) Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian maka masyarakat memiliki masa depan yang pasti. Untuk bisa juga merasakan penguasaan akses sumber daya alam.
Pokok-pokok pemikiran di atas bahwa konflik agraria merupakan persoalan serius, mulai dari hulu (regulasi kebijakan) hingga hilir (tatanan implementasi di lapangan). Karena itu, usaha pencegahan, penanganan, dan penyelesaian harus menyeluruh hingga ke akar persoalan. Untuk itu perlu disusun konsep besar (grand design) dengan melibatkan beberapa pihak mulai dari DPR, BPN, Kementerian terkait, Kepolisian, organisasi petani dan nelayan, serta pemerintah daerah dan tokoh masyarakat sebagai implementasi di lapangan. Hanya dengan demikian dapat berkurang konflik di bidang agraria.
Rico Andreas (Mahasiswa FH Unila, Aktifis FMN Lampung)
0 Response to "Dikuasai Atau Menguasai"
Post a Comment