Makna

Saya ingin bercerita soal ‘makna’ kepada pembaca. Pertama, kejadian yang saya alami di kampus saya sendiri. Suatu ketika seorang dosen meminta saya untuk dicarikan pemateri terkait kuliah umum ‘perfilman’ untuk para mahasiswa. Saya sebenarnya tidak memiliki background mumpuni terkait dengan persoalan yang satu ini. Namun saya adalah penikmat dokumenter, setidaknya terkait dengan film-film yang memiliki daya dorong membongkar persoalan di masyarakat dan dengan film tersebut orang-orang terprovokasi untuk memahami kemudian melawan. Kedua, Mahasiswa pemenang Eagle award Metro Tv dari IAIN Raden Intan bernama Miftahudin bukanlah mahasiswa perfilman seperti di prodi Komunikasi Penyiaran Islam atau lainnya , tapi dia adalah mahasiswa Ekonomi Syariah. Maksud saya asal manusia mau belajar orang punya kemampuan yang baik pula dengan bidang yang mereka tekuni. Dengan kata lain, sebagai dosen yang bukan berlatar belakang perfilman saya boleh saja bicara persoalan ini dengan sebatas pengetahuan yang saya miliki.

Di sebuah kampus kecil STAIN Metro ini, film dokumenter mungkin belum familiar diajarkan untuk menggugah kesadaran. Namun sebagai dosen dan beberapa dosen muda lainnya, saya menggunakan media film sebagai media pembelajaran. Setidaknya ini menguatkan statement seorang kawan di komunitas, bahwa di negara maju sudah biasa film dijadikan media belajar. Misalnya, jika seseorang ingin belajar persoalan hukum, mahasiswa tersebut harus melihat 20 film terkait hal tersebut baru kemudian menjadikannya sebagai bahan penulisan dan diskusi yang matang selain buku dan jurnal yang jelas wajib.

Suatu hari dosen yang menghubungi saya untuk mencari pemateri terkait film. Saya mengatakan kepadanya akan saya usahakan. Saya bercerita ke komunitas bahwa prodi di salah satu kampus saya, minta dicarikan pemateri terkait film sebagai media dakwah. Intinya bagaimana film bisa sebagai sarana untuk mengajak manusia kepada kebaikan, simple itu saja yang saya pahami. Pada akhirnya kawan-kawan komunitas usul untuk mengundang Mas Dandhy Dwi Laksosno yang seantero nusantara ini jelas terkenal track record-nya dalam pembuatan film yang menginspirasi. Wong beliau juga di undang di Jerman belum lama ini dan filmnya di putar di kampus di  Belanda, NUS Singapura, Australia, London UK dan kota-kota Eropa lainnya.

Dosen itu kemudian bertanya memastikan kepada saya, apakah tokoh yang diundang ini kelas nasional. Saya sebenarnya bingung menjawab, kelas nasional itu yang bagaimana? Saya hanya menjawab masak sampean nggak kenal buk sebagai dosen Komunikasi Penyiaran Islam? Mungkin saja—pertanyaan saya yang salah—dia bingung. Sebelum dia menjawab saya langsung katakan ke dirinya. “Buk cari saja di google nama Dandhy Dwi Laksono, buka karyanya di Youtube Watchdoc Documentary, dan belum lama ini nongol di Metro TV di undang oleh Kick Andy.”Jawab saya.

Sebenarnya mas Dandhy juga pernah datang ke kampus kecil kami. Beliau mampir saat Ekspedisi Indonesia Biru, dan ketika sampai Lampung beliau mampir di kota kecil ini dan memberi kuliah umum di mahasiswa saya sekitar 300 orang. Saya kira jawaban saya tidak keliru, karena kami punya media pojoksamber.com dan pada saat itu berita tentang kuliah umum ini tersebar di berbagai media di Lampung baik cetak maupun online. Ya bagi mereka yang bergelut di jurnalisme mengetahui bahwa Mas Dandhy termasuk senior di Aliansi Jurnalis Independent (AJI) di pusat.

Ketika saya menjelaskan ini tentu bagi dosen—walaupun dirinya mengajarkan tentang jurnalistik dan perfilman—saya kok merasa, bahwa saya berani berdiskusi dengan beliau soal pengetahuan misalnya menulis atau mendiskusikan sebuah film dokumenter ke mahasiswa beliau. Toh saya selalu mendiskusikan film dokumenter soal ekonomi kepada mahasiswa yang saya ampu. Bukan bermaksud merendahkan, jika mereka sama-sama ingin berdiskusi dan saling belajar kepada dosen lain walaupun tidak punya bakground jurnalistik, belum tentu dosen di prodi lain kapasistasnya tidak mumpuni. Malah saya sanksi kepada mereka yang sekolah di bidang itu tapi minim karya terkait bidang jurnalistinya seperti yang ukurannya sederhana nulis di media, atau membuat film. Apalagi jaman sekarang, kampus sudah menyediakan alat kamera canggih, sebagaimana kawan saya mengatakan “bukan kameranya yang penting tapi siapa dibelakang kamera yang bisa menjawab.” Alat canggih tapi sumber daya manusia rendah, tentu tidak akan menghasilkan karya yang baik.

Tulisan ini hendak membincangkan keresahan saya terkait sebuah acara yang saya diminta membantu mencari pemateri flm. Dalam hal ini tentu saya tidak punya kepentingan apapun tapi saya kecewa saat permintaan bantuan itu dibatalkan sepihak oleh pimpinan kata dosen tersebut. Pertama, saya tentu malu kepada kawan-kawan komunitas yang saya sudah berrdiskusi dengan mereka terkait akan mengundang mas Dandhy Dwi Laksosno. Kedua, saya jadi gagal paham terkait dengan muatan ‘makna dakwah’ dalam banner di acara,  yang akhirnya tidak jadi mengundang mas Dandhy.

Bahwa pemateri yang akhirnya mereka undang adalah seorang produser televisi yang saya juga belum tahu apa karyanya. Namun di media sosial mahasiswa saya membaca sebuat banner di Gedung Serba Guna bertuliskan “Sukses Berdakwah Melalui Televisi”. Saya jadi berkesimpulan apakah pemateri yang saya coba hubungi tidak layak jadi pendakwah di televisi. Mungkin mereka tidak tahu bahwa Mas Dandhy sebelum di Watchdoc pernah bekerja sebagai producer di Liputan 6 SCTV juga pernah di RCTI.

Dakwah? Sukses? Televisi? Setidaknya 3 kata ini menjadikan saya berpikir kembali, apa ‘makna’ tiga kata di atas yang belum saya pahami. ‘Dakwah’ setahu yang saya pahami merupakan masdar dari kata kerja da’a, yad’u yang berarti panggilan, seruan dan ajakan. ‘Sukses’ dalam arti sederhana adalah berhasil—atau saya salah tafsir jika yang mereka maksud adalah sukses meraup keuntungan layaknya dagang atau modofikasi antara enterprenuer dan agama. Mungkin saja menjadi penggabungan antara kepentingan uang yang mengerucut ke  ‘kapitalisme agama’. Kalau ‘Televisi’ tentu tidak asing, sebuah layar media audio visual yang menampilkan acara dengan tujuan mendulang rating agar iklan membayar mahal acara tersebut. Maka acara Dangdut Mania, Pencarian Bakat, tontonan anak muda ‘Ganteng Ganteng Srigala’, ‘Anak Jalanan’ laris manis dengan menjual content kehidupan hedonis masa kini. Televisi seolah sukses membangun Jargon “Muda, Artis, Kaya Raya, Tua, Meninggal dan masuk Surga. Pokoknya ‘Happy Ending Full Barokah’. Selain suskes mendapat rating tinggi, acara televisi tersebut juga sukses melambungkan impian ibu-ibu di rumah dan pemuda yang hobi naik motor dengan impian membonceng wanita ‘bahenol merkom’.

Kita bisa saja mendaku sebuah kata untuk menjadi dekat dengan apa yang seolah kita lakukan dan  ingin kita sampaikan ke publik. “Dakwah” terutama dalam pendekatan sosial kita. Karya-karya film yang memiliki daya dorong ‘dakwah’ bukan berarti hanya bagi mereka yang memancangkan nama ‘dakwah’ itu sendiri di tiap banner-banner kegiatan. ‘Dakwah’ juga bukan milik segelintir kaum agamawan yang lengkap dengan kostumisasinya—sorban, peci, sarung, jilbab, tasbih dan lainnya. Saya pribadi melihat dakwah ini sebagai energi ajakan kebaikan . Kemudian seberapa kuat energi itu mampu membangun kesadaran kepada banyak orang?

Film Mas Dandhy sudah berbicara soal kekuatan itu, yaitu ajakan dan perlawanan kepada para penindas di berbagai daerah. Film Watchdoc Dokumenter Samin Vs Semen, Belakang Hotel, Alkinemokiye, The Mahuzes, Rayuan Pulai Palsu, Kasepuhan Ciptagelar, Baduy, Lewa di Lembata, Kala Benoa,Onde Mande, dan yang terbaru Jakarta Unfair saya kira bicara soal ajakan perlawanan. Film di atas bagian dari ‘dakwah’ yang tidak berumah di atas angin. Ya, kesadaran untuk memahami realitas, kesadaran untuk melawan dan kesadaran untuk melakukan perubahan. Jika sampai pada titik ini para dosen dakwah itu belum mengerti, mungkin mereka terlalu sering menyampaikan dakwah di menara gading. Ummat mereka adalah mahasiswa di menara gading pula, yang bisa jadi mahasiswa yang masih gandrung dengan tontonan ‘Ganteng Ganteng Serigala’.

Film-film Watchdoc yang saya yakin dosen di prodi sebelah belum khatam itu, bisa saya tandingkan dengan film dari pemateri nasional yang sepertinya memikat dengan banner “suskes berdakwah di televisi”. Dunia ini simple saja, kalau mau melihat seseorang dengan hasil karyanya, chek saja di google. Dan bisa terjawab, apakah pemateri nasional yang dimaksud tadi benarkah berkapasitas nasional? Maaf, prodi sebelah itu sepi peminat lo, jadi ketika sudah sepi peminat jangan coba-coba malpraktik pengetahuan kepada mahasiswa, yang kita tahu cara belajar kampus kita belum punya kesadaran progesif seperti kampus-kampus di Jawa. Untuk itu sebagai dosen kita harus optimis. Kita sebagai dosen harus mendekatkan yang realitas dan mengajari mereka untuk membumi dan berkarya dengan baik.

Sulit kalau perjuangan Islam di masa depan belum tuntas memaknai ‘dakwah’, atau hanya cukup dengan tulisan di banner tapi content dakwahnya yang sebenarnya tak membincangkan apa-apa yang terjadi pada fakta kehidupan ini. Saat menjadi Da’i mereka seenak udelnya mengeruk materi uang karena diatur oleh pemilik televisi. Maka jangan heran publik televisi kita tidak tertarik dengan ceramah intelektual Islam sekelas  Prof. Quraish Sihab, KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Najib dan lainnya. Publik  kita lebih akrab dengan Ustad Solmed, Ustad Maulana dan Ustad rating lainnya.

Akhirnya, mahasiswa sejatinya bukan untuk menggembirakan jargon-jargon seperti,“jamaah....oh...jamaah.” Mahasiswa apalagi khususnya mahasiswa Islam seharusnya punya daya juang dakwah untuk mengajak, lebih dari jargon televisi di atas.  Bahkan, kelak suatu hari atas tempaan akal dan budinya mereka berkarya untuk perubahan dan berani mengatakan,“atas ketidakadilan kita harus melawan, kepada kaum beriman, dan kaum mustad’afin kita galang persatuan”. Begitulah seharusnya mahasiswa, bukan sekedar penggembira yang kehilangan makna.

Dharma Setyawan

0 Response to "Makna"

Post a Comment