Nightingale, Perawat, dan Filsafat

“Apakah menjadi bebas itu?” Florence Nightingale* bertanya dalam paragraf pembukaan A Note on Liberty, “Apakah kemerdekaan itu? Bukankah hal itu tidak dapat lepas begitu saja dari semua motivasi tentang kepentingan diri yang memperbudak diri kita, lepas begitu saja dari semua motivasi yang menundukkan kita terhadap beragam watak orang lain, yang kita cari hanya dalam setiap tindakan, dalam setiap kata, untuk menjadi seperti halnya diri-Nya satu-satunya yang bebas?” Dalam paragraf berikutnya Nightingale melanjutkan, “Apakah kebebasan Tuhan itu? Apakah kebebasan tersebut adalah sesuatu yang harus kita capai untuk menjadi seperti diri-Nya? Apakah itu merupakan kebebasan untuk memilih antara yang jahat dan yang baik?”

Dan setelah membaca pertanyaan di atas, sebagian dari kita mungkin akan bertanya-tanya, “Apa yang sedang dilakukan oleh Nightingale? Bukankah Nightingale adalah seorang perawat? Mengapa ia harus bertanya tentang hal-hal semacam itu?” Atau, mungkin juga ada yang sedikit paranoid, “Kok mengerikan sekali mempertanyakan tentang Ketuhanan?” Bahkan, mungkin saja ada yang langsung menuduh, “wah, liberal nih!”

Pernahkah Anda mendengar pertanyaan seperti ini: “Apabila Tuhan itu Maha Kuasa, apakah Tuhan dapat menciptakan batu yang sedemikian besarnya sehingga Tuhan sendiri tidak dapat mengangkatnya?”; atau, “Apakah dengan kebebasan-Nya berkehendak, Tuhan dapat berkehendak untuk melakukan suatu perbuatan yang buruk?”; dan pertanyaan lain yang serupa? Apakah Anda pernah mendengarnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali diajukan oleh orang yang menggeluti filsafat, khususnya filsafat ketuhanan. Inilah yang menyebabkan banyak orang anti terhadap filsafat. “Filsafat bisa membuat kita menjadi ateis,” begitu katanya. Padahal, filsafat adalah sesuatu yang bebas nilai. Penekanan filsafat bukan pada jawaban apa yang harus kita temukan—benar-salah, baik-buruk, indah-jelek—melainkan bagaimana cara kita mencari pertanyaan tersebut dengan metode-metode tertentu. Karena satu orang dengan orang lain bisa memakai metode yang berbeda, itulah mengapa jawaban atas sebuah pertanyaan serupa bisa sama sekali berbeda dan menimbulkan polemik; dan polemik adalah sesuatu yang wajar.

Katakan kita mau berfilsafat, tapi dalam batas-batas tertentu—semisal menghindari filsafat tentang Tuhan, dengan alasan Ketuhanan adalah wilayah iman dan bukan akal—pada akhirnya kita harus menggunakan metode berpikir tertentu untuk memilih pendapat ulama yang menurut kita lebih benar. Karena seringkali kita pun belum memiliki kemampuan untuk mendapatkan kebenaran tanpa bimbingan seorang guru; dan memilih untuk mengikuti orang lain pun juga bagian dari metode berpikir. Hal ini seperti yang ditulis Rene Descartes dalam Discourse on Method, “karena mulai itu saya menganggap semua pendapat saya salah, untuk mengujinya kembali, saya yakin bahwa jalan terbaik adalah mengikuti pendapat orang-orang yang paling bijaksana.”

Kembali ke pertanyaan tentang kebesaran dan kehendak Tuhan di atas, Nightingale pun menanggapinya dengan metode filsafatnya. “Apakah kita berharap,” jawab Nightingale, “dengan tujuan untuk memuaskan ide kita tentang kemerdekaan Tuhan yang mana itu harus menyertakan kemungkinan tentang kebebasan-Nya untuk berkehendak ini dan itu, jika Dia menghendaki sebuah kesalahan, mestikah membuat yang salah menjadi benar? Akankah Dia menjadi sempurna jika melakukan hal tersebut?”

Atas dasar jawaban tersebut, Nightingale pun merekomendasikan kalimat favorit di kalangan Krisitani “bagi Tuhan tidak ada yang tidak mungkin—to God nothing is impossible” untuk diganti menjadi “merupakan sebuah kemustahilan bagi Tuhan untuk menghendaki sesuatu hal yang tidak benar; semua kebijakan, semua cinta, dalam kata, sempurna, merupakan esensi dari sifat-Nya—yang tanpanya sifat-Nya tidak akan mungkin—untuk hanya menghendaki sesuatu yang sempurna.” Apa yang dipaparkan Nightingale ini kemudian sepintas mirip dengan konsep sifat wajib dan sifat mustahil Allah dalam Islam. Hal ini menunjukkan—seperti pendapat Ibnu Rusyd—bahwa tak selamanya filsafat tidak cocok dengan agama.

Di dunia keperawatan Florence Nightingale memang sangat terkenal. Namun banyak yang tidak mengetahui bahwa selain berprofesi sebagai seorang perawat Nightingale juga merupakan filsuf, aktivis, dan pembaharu sosial. Dengan metode berfilsafatnya, didukung oleh ilmu statistik dari L.A.J Quetelet, Nightingale menjadi perawat modern berkemampuan komplet. Pada tahun 1860-an ia sudah mampu membuat bermacam riset yang mengubah kondisi kesehatan masyarakat Inggris dan daerah koloninya, seperti India.

Melihat Nightingale yang seperti itu rasanya kualitas kita masih teramat-sangat jauh. Bahkan sampai hari ini, menurut Polit dan Beck dalam buku Nursing Research: Principles and Methods, banyak perawat—termasuk saya mungkin—yang memberikan intervensi hanya berlandaskan tradisi, adat, atau bahkan budaya ruangan semata tanpa mengacu pada bukti (evidence) valid. Jika ada yang ditanya “kenapa kok seperti ini?”, ia akan menjawab “karena sejak dulu memang seperti itu”. Padahal dalam hierarki bukti (evidence hierarchies), tradisi menempati urutan terbawah dari semua jenis sumber pengetahuan.

Untuk mengembangkan kemampuan berfilsafat kita, pendapat bapak filsafat modern, Rene Descartes, sangat relevan untuk direnungkan: “Saya belajar untuk tidak terlalu mempercayai hal-hal yang hendak ditanamkan ke dalam keyakinan saya hanya berdasarkan teladan dan kebiasaan semata-mata.” Ketika kita tidak begitu saja memercayai sesuatu yang telah ada, maka selanjutnya kita akan mencari pengetahuan yang lebih benar tentang hal tersebut. Dari sinilah kita mulai menapai hierarki bukti hingga mencapai puncaknya: melakukan penelitian.

Dalam penelitian pun pada akhirnya kita kembali bertemu filsafat. Karena pada hakikatnya, usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga pertanyaan: Apakah yang ingin kita ketahui? (ontologi); Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan tersebut? (epistemologi); Dan, apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (aksiologis); yang mana ketiganya adalah pokok pertanyaan dalam filsafat. Selain itu, dalam penelitian juga harus ada hipotesis dan pembuktian yang sebenarnya merupakan kompromi antara filsafat rasionalis dan empiris. Lantas, masihkah kita mau buta tentang filsafat?

Gading Ekapuja Aurizki·

*) Florence Nightingale (1820-1920) merupakan seorang perawat, pembaharu sosial, dan ahli statistik Inggris. Terkenal sebagai pendiri keperawatan modern dengan karya masternya “Notes on Nursing”.

 

0 Response to "Nightingale, Perawat, dan Filsafat"

Post a Comment