Ghirah dan Fanatisme Keagamaan?

Perbedaan teologis maupun praktek ritual itu menjadi bagian dari "theological discourse" yang memang akan abadi. Hingga akhir zaman akan ada yang menerima tauhid dan masih akan banyak yang tidak menerima. Dalam perspektif agama Islam, Allah menegaskan: “ilaallahi marji'ukum fayinnabiukum bimaa kuntum ta'malun". Intinya, keyakinan seseorang biarlah menjadi tanggung jawabnya masing-masing di akhirat kelak. Bahkan konsep dakwah dalam Islam tidak pernah bertujuan mengislamkan seseorang. Karena toh juga secara teologis dan keyakinan Islam, yang bisa memberikan hidayah itu hanya Tuhan yang mencipta langit dan bumi.

Beberapa pemberitaan online dan cetak serta elektronik beberapa hari ini menampilkan informasi yang kurang sedap untuk dikonsumsi sebagai sebuah berita yang menyejukkan, menyegarkan, dan mencerahkan pikiran, perasaan serta harapan akan sebuah keniscayaan terhadap terbentuknya toleransi keberagaamaan. Ya, toleransi keberagamaan. Kita kembali dihadapkan pada sikap “penelanjangan dan vulgaritas” terhadap rendahnya sikap kita memaknai sekaligus menghargai pola kehidupan beragama makhluk (baca: ummat) yang lain. Kasus pertama, terjadi dalam institusi pendidikan di Yogyakarta. Kota yang men-claim sebagai Kota Toleransi. Bagaimana tontonan “intoleransi” dipertunjukkan oleh sekelompok orang/massa/ormas yang menuntut lembaga Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) menurunkan baliho yang menggunakan gambar wanita berjilbab sebagai sarana media sosialisasi. Sekelompok orang/massa/ormas tersebut merepresentasikan jilbab adalah simbol Islam, dan tidak boleh dipergunakan oleh agama lain untuk dalih dan kepentingan apapun.

Dengan argumentasi, menghindari konflik yang lebih besar, akhirnya UKDW menurunkan baliho tersebut. Kasus kedua, terjadi di Kota Bandung. Sikap intoleransi keberagamaan yang kedua ini lebih frontal bahkan terkesan sadis. Lagi-lagi, sekelompok orang/massa/ormas membubarkan prosesi ibadah yang sedang dilaksanakan oleh ummat Kristiani. Serupa dengan di Yogyakarta, atas dasar menghindari munculnya konflik yang luas, akhirnya proses ibadah tersebut tidak dilanjutkan.Fakta dan realitas ini tentu membuat miris kita semuanya. Betapa sikap menghargai kehidupan beragama ummat lain mulai luntur. Pada akhirnya, kekhawatiran yang sangat mungkin terjadi adalah resistensi terhadap proses dan rangkaian kehidupan beragama ummat, berujung pada sebuah konflik keberagamaan.

Eksklusivitas Pemahaman

Tulisan ini ingin mengajak kita pada sebuah alur berfikir yang realistis tentang toleransi beragama yang sebenarnya dengan melihat apa akar yang menjadi sumber pemicu sehingga begitu mudahnya ummat lain melakukan kekerasan, ancaman, kejahatan, bahkan balas dendam kepada ummat beragama lainnya. Penulis melihat, latarbelakang terjadinya intoleransi  yang berkembang saat ini bukan lagi hanya menyangkut tentang pemahaman, pengetahuan, ataupun sikap keagamaan yang dimiliki ummat tertentu. Tetapi lebih kepada “sentimen” (ghirah) keagamaan. Munculnya sentimen keagamaan ini lebih didominasi oleh faktor subyektif, dimana unsur ketidaksukaan, unsur mayoritas, dan unsur kekuatan yang berlindung dibalik agama lebih cenderung bermain. Bahkan cenderung menjadi “stigma” yang melihat pola kehidupan dan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh ummat lain salah menurut asumsi dan persepsi mereka. Inilah sebenarnya yang menjadi sumber “intoleransi” saat ini.Dan ini semua berubah menjadi sebuah sentimen (ghirah) berdalih agama. Penulis meyakini, apabila sentimen (ghirah) tersebut tidak dikelola dengan baik, maka Fenomena  kekerasan atasnama agama akan senantiasa terjadi dan meluluhlantahkan banyak hal terutama kerugian fisik dan psikis. Yang lebih fatal lagi adalah, sentimen (ghirah) yang liar dan buta, bisa meluluhkan ikatan kekerabatan, persaudaraan dan mencederai solidaritas sosial keagamaan. Sehingga, nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya mulai banyak terkikis di dalam lingkungan budaya masyarakat sekitar. Sekali lagi, ini semua disebabkan dan harus dipahami karena sentimen(ghirah) agama begitu gampang “beresonansi” menjadi kekuatan yang menyebar ke segala penjuru bumi dengan besaran yang tak terkirakan.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Isu kekerasan atas nama agama adalah fenomena transnasional yang ibarat dua sisi mata uang berpotensi  menciptakan harmoni dan konflik (Kegley and Witkopf: 1997). Dan ketika sentimen (ghirah) sudah terkooptasi dan menjadi stigma dengan mengatasnamakan kebenaran dan agama, maka atas dasar itu semua, fungsi Tuhan digunakan untuk alat pembenaran kejahatan, kekerasan, ancaman dan balas dendam.Proyeksi manusia, di satu sisi seolah-olah kekerasan Tuhan tampil sebagai bagian dan kesucian-Nya sehingga kekerasan Tuhan menjadi paling benar dan tampil sebagai alat utama penegakan keadilan. Di sisi lain kekerasan atas nama Tuhan disamakan dalam bentuk pembebasan dalam rangka mengajak ke pertobatan. Padahal kalau kita mau sedikit berfikir secara komprehensif dan terintegratif, perbedaan dalam bentuk pemahaman keagamaan bisa juga menjadi kekuatan membangun kebersamaan guna mencapai tujuan keutuhan serta kemajuan umat manusia. Sayangnya, kekuatan itu (pada banyak kasus) hanya difungsikan untuk merusak serta penyingkiran terhadap orang lain; ha-hal tersebut sangat mudah digunakan oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat, agama, politik, dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dengan itu, agaknya, sentimen (ghirah)keagamaan bisa dijadikan kendaraan yang paling ideal untuk mencapai tujuan dimaksud.

Sentimen (ghirah) keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai hadirnya orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya merupakan sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familiar. Sikap seperti ini pada akhirnya akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali meledak menjadi konflik agama (Religious conflict) tatkala tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa juga terjadi pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan terhadap agamanya.Ada perdebatan panjang di antara para ahli tentang apa yang secara umum diipersepsikan sebagai "konflik agama" (religious conflicts). Benarkah ada konflik agama? Atau agama sekedar terseret ke dalam konflik dengan motif yang berbeda?Saya menilai keduanya memungkinkan. Ada konflik yang memang terpicu dan berdasarkan sentimen agama. Tidak harus berdasarkan ajaran agama. Tapi sentimen beragamalah yang menjadi dasar konflik tersebut.Sejarah panjang mengajarkan bahwa persentuhan antara sentimen agama dan berbagai kepentingan kerap kali tidak terhindarkan. Bahkan pada komunitas-komunitas maju dan (merasa) terdidik (educated),bahkan di zaman di mana manusia merasa lebih modern dan beradab (civilized).
Kita ambil saja contoh bagaimana resistensi umat lain atau komunitas lain kepada Rasulullah SAW di Madinah. Umumnya bukan karena agama. Tapi lebih kepada "social jealousy" atau kecemburuan sosial.Contoh terdekat barangkali adalah resistensi komunitas Yahudi di Madinah kepada Rasulullah SAW. Mereka sesungguhnya menentang karena apa yang Al-Quran sebutkan: "hasadan min anfusihim" (kedengkian yang ada pada mereka). Kedengkian (hasad) ini sebenarnya lebih dipicu oleh kecemburuan sosial karena minimal dua hal: 1) karena nabi terakhir ini terlahir bukan dari kalangan mereka. 2) karena Muhammad SAW segera mendapat dukungan maksimal dari masyarakat Arab yang sebelumnya sangat menghormati komunitas Yahudi.

Basis Intoleransi?

Sentimen dan fanatisme keagamaan banyak memberi andil atas terciptanya setiap adegan kerusuhan dan terjadinya konflik.Seyogyanya, sentemen agama tidak mengaburkan tujuan agama tersebut. Charles Caleb Colton (1825) dalam Pencarian Manusia Akan Allah, ia mengatakan: “Manusia akan bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu, berbuat apa saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati mencegah satu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan.” Hal ini diamini pula oleh Dr. Hamim Ilyas (2007), dengan mengatakan: “agama menjadi keras lantaran adanya suatu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan doktrin  sebagai sutatu pembenaran bertindak dengan mengembangkan dokrin-doktrin ideologis”.

Preposisi di atas memberikan kejelasan bahwa relasi agama dan kerukunan sesungguhnya memiliki satu tujuan, yaitu perdamaian. Kerukunan menegasikan konflik sosial dan merupakan cita-cita setiap umat manusia. Sedangkan agama juga mengharuskan rekonsiliasi demi membangun kerukunan antarumat beragama agar tercapai hidup dalam suasana damai, saling menghormati dan menghargai walau berbeda agama. Hal inilah yang dikatakan oleh Abdul Aziz Ustman Altwaridji, (2003), bahwa ada 4 (empat) cara untuk mencegah intoleransi yang mengatasnamakan sentimen dan fanatisme keagamaan. Pertama, sukarela. Kedua, adanya tujuan bersama demi melahirkan kerukunan yang praktis. Ketiga, kerja sama untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati sesuai dengan rencanarencana kerja yang telah ditetapkan semua pihak. Keempat, kerukunan dipelihara dengan menjunjung tinggi saling menghormati dan mempercayai untuk menghindari penyelewengan tujuan dan mengendalikan kepentingan individu atau kelompok agama tertentu.

Ajaran agama itu adalah ajaran yang berasal dari sumber agama yang otentik. Untuk agama Islam tentu ajaran Islam itu bersumber dari dua sumber utamanya. Yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Insya Allah selama ajaran itu murni dari sumber tersebut maka akan dijamin kebenaran dan nilai kebaikan yang dikandungnya. Yang menjadi dilema kemudian memang adalah ketika dua sumber itu diwarnai kemudian oleh "warna tafsiran" pengikut agama. Di sinilah kemudian kerap ajaran itu mengalami pergeseran bahkan distorsi. Karena sesungguhnya tafsiran sumber agama (religious texts) itu seringkali terpengaruh oleh keterbatasan penafsirnya. Termasuk di dalamnya keterbatasan pemahaman, pengalaman, dan juga dibatasi oleh kecenderungan kejiwaan di saat menafsirkannya. Sentimen agama lain lagi. Sentimen agama lebih kepada perasaan berdasarkan kepada ikatan batin. Paham atau sadar itu benar atau bahkan tahu kalau itu tidak benar akan tetap dipertahankan karena sudah ada ikatan batin yang tidak tergoyahkan.

Sebagaimana yang penulis uraikan di atas, sentimen agama ini lebih banyak ditentukan oleh faktor subyektif, salah satunya yang turut memainkan peran adalah faktor lingkungan sekitar. Sentimen (ghirah) dan fanatisme keagamaan seringkali bukan karena pengaruh "ilmu agama" atau pemahaman seseorang tentang agama itu. Perasaan atau sentimen beragama inilah yang berbahaya ketika tidak diimbangi oleh pemahaman yang akurat tentang agama. Di saat apa yang dipersepsikan sebagai agama tertantang maka yang pertama akan mendominasi pada diri seseorang adalah "rasa" dan bukan "rasionalitas". Akibatnya respon negetif, bahkan destruktif kerap didahulukan.Situasi dan kondisi inilah yang seringkali dilabelisasi sebagai "konflik agama". Padahal sejatinya adalah konflik yang diakibatkan oleh sentimen dan fanatisme agama dan bukan karena agama itu sendiri. Pemahaman yang kurang pas seperti itulah yang membawa kepada kesimpulan bahwa “agama itu harus konflik”. Padahal agama-agama itu tidak konflik karena memang sejatinya secara sosial semua agama mengajarkan "nilai-nilai karamah, ihsan, khariyat, dan lain-lain".

Perbedaan teologis maupun praktek ritual itu menjadi bagian dari "theological discourse" yang memang akan abadi. Hingga akhir zaman akan ada yang menerima tauhid dan masih akan banyak yang tidak menerima. Dalam perspektif agama Islam, Allah menegaskan: “ilaallahi marji'ukum fayinnabiukum bimaa kuntum ta'malun". Intinya, keyakinan seseorang biarlah menjadi tanggung jawabnya masing-masing di akhirat kelak. Bahkan konsep dakwah dalam Islam tidak pernah bertujuan mengislamkan seseorang. Karena toh juga secara teologis dan keyakinan Islam, yang bisa memberikan hidayah itu hanya DIA yang mencipta langit dan bumi.

Kesimpulannya adalah mari jeli dalam menilai intoleransi yang ada dalam dunia kita. Berhati-hati mengaitkan intoleransi dengan ajaran agama. Walaupun mungkin intoleransi itu kemudian didasari oleh sentimen dan fanatisme agama. Tapi sekali lagi sentimen dan fanatisme agama belum tentu terjustifikasi oleh ajaran agama itu sendiri. Apalagi sampai bermuara pada muncul dan tumbuhnya sikap intoleransi kehidupan ummat beragama. Agama tidak boleh lagi diposisikan sebagai alat pendukung dan pembenaran terhadap perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas kekerasan berbau agama. Penerapan standar ganda yang sempit dan cenderung keliru yang menganggap, agamanya yang paling sempurna dan paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan sesat.Dengan menempatkan standar ganda semacam ini-yang kemudian terkonstruksi pada masing-masing penganut agama-terjadi saling mengklaim, kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak mengajarkan kebenaran. Karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antarumat beragama.

Pada aspek lain, dakwah atau misi sudah seharusnya sejak sekarang digerakkan arahnya pada proses pembentukan dan peningkatan kualitas keimanan seseorang, bukan lagi berorientasi pada jumlah jemaah. Dakwah atau misi digerakkan untuk lebih banyak memupuk solidaritas umat antaragama dan kerja sama. Harus dihindari, adanya paradigma keselamatan tunggal yang dikonstruksikan lewat dakwah/misi agama, karena ini akan mengakibatkan munculnya cara beragama dan berparadigma lama, yaitu paradigma "superior-inferior", yang di dalamnya mengandaikan adanya "persaingan". Paradigma ini tidak memberi ruang pada umat beragama untuk berdialog dan kerja sama.Umat beragama tidak boleh lagi terjerat dalam segregasi eksklusif-inklusif yang berpangkal sentimen-sentimen parokialisme. Untuk mempersempit ruang despotic agama-agama, agaknya membuka mata bagi terjalinnya dialog dan kerja sama antaragama-bahkan antar-elemen masyarakat untuk merespons banyak masalah kemanusiaan-harus menjadi pilihan utama. Semoga.

Buyung Syukron (Dosen IAIN Metro)

 

0 Response to "Ghirah dan Fanatisme Keagamaan?"

Post a Comment