Bayang-bayang Kebesaran Guru
Tuesday, January 24, 2017
Add Comment
Lelaki itu masuk di Masjid Jamik Granada. Sepasang mata anak muda memerhatikan gerak-gerik lelaki asing itu. Si anak muda yang tengah duduk melingkar menimba ilmu penasaran dengan ulahnya. Selain pertama kali baru dilihat, lelaki itu mengambil jarak yang kian mendekati majelis ilmu, seperti tengah mengawasi.
Didekatilah lelaki asing itu.
“Apa yang kau bawa,Tuan?” tanya si muda. “Apa ilmu yang telah kau kuasai?” tanyanya kemudian menguji.
Jawaban lelaki itu di luar dugaan. “Saya membawa 12 ribu dinar. Saya simpan di ketiak saya.” Beberapa detik kemudian, diperlihatkanlah sebuah mutiara indah di depan mata si muda. Anak muda itu terperangah.
“Saya memiliki keahlian dalam 12 keahlian, dan sebagian besar dalam ilmu Arabiyah yang sedang engkau bahas,” lanjut si lelaki asing itu.
Lelaki asing yang ‘terdampar’ di Masjid Jamik Granada itu tertulis oleh al-Suyuti, dan dikutip oleh M. Saghir Hasan al-Ma’sumi untuk A History Muslim of Philosophy, karya yang diedit M.M. Sharif (1963). Lelaki yang sepintas disepelekan mata tajam anak muda, juga berabad kemudian diperlakukan serupa oleh seorang genius dari kota Pisa, Italia.
Buku Itu Mudah Dikenali dengan ilustrasi khas masanya. Tiga lelaki berjanggut lebat, berjubah lebar hingga menyentuh tanah. Ketiganya tengah serius membincang. Buku yang amat berharga, dan pantas diapresiasi sebagai karya yang turut mengubah sejarah manusia. Sayangnya, ada sedikit cela. Ya, ada bagian penting yang luput dituliskan di buku nan bersejarah yang dicetak di Fiorenza pada 1632: Dialogo Di Galileo Galilei Linceo Matematico Sopraordinario Della Studio Di Pisa. Di buku yang populer disebut “Dialog Pisa” (Pisan Dialogue) ini, pada bahasan dorongan dan dinamika, Galileo Galilei, sang penulis, justru tidak menyebutkan penemu rumus yang dipergunakannya.
Galileo menolak pendapat Aristoteles soal gerak benda, yang sudah lama diyakini dan diikuti oleh masyarakat Eropa kala itu. Pada gerak peluru, menurut Aristoteles, kecepatan berbanding lurus dengan gaya dan berbanding terbalik dengan medium penahan. Bila V = kecepatan, P = gaya gerak, dan M = medium penahan, teori Aristoteles ini dapat ditulis V = P / M. Galileo tidak sependapat.
“The medium is not essential to natural motion at finite speed, as Aristoteles held, because the speed determined by the difference, and not by the ratio, between the densities of body and medium,” tulis Ernest Addison Moody dalam papernya yang dibukukan dalam Studies in Medieval Philosophy, Science, and Logic (1975: 227).
Bagi Galileo yang berlaku adalah V = P — M. Ketika medium penahan tiada (M = 0), V = P. Galileo memakai rumus yang kala itu sudah dikenal kalangan saintis zaman Renaisans. Sungguh sayang, nama Avempace tidak disebut Galileo. Meskipun demikian, luput menyebut nama pemilik rumus tidak berarti Galileo pantas didakwa berdusta, atau sekurangnya menyembunyikan fakta yang sebenarnya ia ketahui.
Nama pemilik rumus yang memengaruhi Galileo dalam Dialog Pisa itu bukanlah sosok biasa. Tidak hanya Galileo, keilmuan Eropa masa itu banyak terinspirasi dan terbantu oleh karya-karya lelaki kelahiran Saragossa (Spanyol sekarang) itu. Padahal, karya Avempace tidak ada satu pun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin kala itu! Jangan pula bayangkan para saintis Renaisans itu membaca langsung karyanya dari bahasa Arab. Karena faktor ini, ditambah diamnya Galileo, bisa dimengerti ketika Ernest A. Moody merilis penelitiannya yang berjudul “Galileo and Avempace: The Dynamic of the Leaning Tower Experiment” pada 1951, sontak dunia keilmuan modern geger (karyanya ini sampai sekarang jadi rujukan utama para peneliti sains Islam abad pertengahan). Diungkapnya peran Avempace membuka implikasi pertanyaan dan perdebatan berikutnya: apakah temuan abad Renaisans memang memiliki kaitan dengan sains abad pertengahan? Kejadian ini mendahului nyaris enam tahun kemudian ketika Edward Stewart Kennedy, guru besar matematika di American University of Beirut, mengungkapkan peran Ibnu asy-Syatir di balik pemikiran Nicolaus Copernicus dalam buku De revolutionibus orbium coelestium.
Popularitas Avempace tidak ditopang dengan kehadiran karya-karyanya langsung yang diterjemahkan. Amat berbeda dengan saintis Muslim abad pertengahan lainnya. Sebut saja Avicenna (Ibnu Sina) yang karyanya, al-Qanun fil-Tibb, diterjemahkan, dicetak berkali-kali, dan dirujuk di banyak negeri di barat dan timur. Avempace tampaknya cukup hadir dengan karya asli bahasa Arab, dengan diulas dan disebut khusus oleh saintis setelahnya.
Tampaknya selubung kesamaran memang sudah jadi pengiring takdir lelaki dari keluarga al-Tujib, Abu Bakar Muhammad bin Yahya al-Sa’igh, yang akrab dikenal orang semasanya sebagai Ibnu Bajjah, atau dalam lidah Latin disebut dengan Avempace. Dua belas tahun menjelang wafatnya, di Cordova terlahir putra Muslim yang kelak menjadi pengulas sekaligus pembawa kebesaran nama Ibnu Bajjah di hadapan para ilmuwan Renaisans Eropa. Sosok yang mewariskan karya-karya tulis dan kupasan terjemah para filosof Yunani: Abu al-Walid Muhmmad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, yang dikenal luas sebagai Ibnu Rusyd atau Averroes.
Uraian Ibnu Rusyd begitu membekas, terutama saat mengulas filsafat dan sains Yunani, terutama karya Aristoteles. Dari buah karya dan jerih payah Ibnu Rusyd, Eropa tersambung dengan masa lalu sekaligus kian akrab dengan peradaban yang masih begitu kental mendominasi, yakni Islam. Menariknya, pemikiran Ibnu Rusyd justru lebih awal diterima dan mengakar di Eropa ketimbang di negeri-negeri Islam. Tidak berlebihan bila Ibnu Rusyd seolah-olah bagian dari ‘kita’ dalam benak mereka. Rasa kepemilikan ini terlihat jelas dalam dunia akademisi Barat modern, manakala Ibnu Rusyd mendapat tempat tersendiri dengan predikat “filosof Muslim terakhir”. Sebuah pujian yang tentu saja mengabaikan betapa masih bertebaran para filosof Muslim setelah era Ibnu Rusyd, dengan pengaruh yang tidak kalah cemerlang.
Ibnu Rusyd memainkan peran penting sebagai penyibak selubung kehebatan saintis pendahulunya, Ibnu Bajjah. Ibnu Rusyd-lah yang menguraikan dan mengulas karya-karya Ibnu Bajjah hingga dikenal luas masyarakat Eropa masa pra-Galileo. Dengan perantaraan Ibnu Rusyd, karya Ibnu Bajjah populer, termasuk bahasan gerak mekanis yang empat abad lebih sebelum Dialog Pisa Galileo terbit. Dengan popularitas menjulang, Ibnu Bajjah ataupun Avempace mestinya bukanlah nama asing bagi komunitas-komunitas keilmuan di Eropa. Terbukti rumusnya yang ‘dipinjam’ Galileo sudah jamak diketahui. Entah mengapa, kenyataannya bahwa sebuah rumus mampu membawahkan popularitas nama penciptanya, sampai sekaliber Galileo saja luput.
Ibnu Bajjah memang tidak dilupakan dalam dunia sains abad pertengahan. Peran penting Ibnu Rusyd selaku pengulas karya-karya Ibnu Bajjah amat pantas dicatat dalam tinta emas. Dalam kebesaran pemikiran dan kesungguhan mengembangkan keilmuan, nama pendahulunya itu senantiasa disebut Ibnu Rusyd. Disebut bukan dengan puja-pujaan tanpa kritik. Sebaliknya, sedari awal sesungguhnya Ibnu Rusyd beberapa hal bertolak belakang dengan Ibnu Bajjah. Bila Ibnu Rusyd menjadi filosof yang pasang badan untuk mengkritik pandangan Imam al-Ghazali soal filsafat, Ibnu Bajjah justru—dalam bahasa Seyyed Hossein Nasr—“mewakili tendensi yang lain dari perspektif al-Ghazali.”
Karena intens mengulas karya Ibnu Bajjah, amat mungkin bila ada pertalian lain yang mengetuk gairah keilmuan Ibnu Rusyd. Shams C. Inati (1998) dalam tulisannya tentang Ibnu Bajjah untuk Routledge Encyclopedia of Philosophy menyebut sosok ini sebagai guru Ibnu Rusyd. Murid lain Ibnu Bajjah yang juga terkenal adalah Ibnu al-Imam.
Membandingkan tahun wafatnya Ibnu Bajjah (1138) dan tahun kelahiran Ibnu Rusyd (1126) yang berselisih 12 tahun, begitu terbatas waktu yang didapat sang murid dalam menggali ilmu sang guru, itu pun hanya pada masa kanak-kanak. Fakta lain, mereka berdua tidaklah satu kota. Ibnu Bajjah berindah ke Granada pada masa-masa menjelang akhir hayatnya, sementara Ibnu Rusyd berdomisili di Cordova, kota kelahirannya. Kalaupun pernah bertemu muka, masih perlu ditelusuri kekerapannya. Karena itulah, makna ‘guru’ dalam tulisan Shams C. Inati lebih tepat sebagai aktivitas Ibnu Rusyd menimba ilmu lewat membaca karya-karya langsung dan/atau berguru kepada anak-didik Ibnu Bajjah.
Tatkala ibnu bajjah disebut sebagai penghubung antara dunia Timur dan Barat lewat karya-karyanya, semua ini tentu tidak bisa melupakan andil Ibnu Rusyd. Melalui kutipan-kutipan Ibnu Rusyd terhadap karya asli Ibnu Bajjah, Eropa mengenal sosok yang digambarkan Ibnu Thufail sebagai sosok yang berpikiran tajam, bernalar kuat, dan beropini sahih. Kita bisa saja berandai-andai, seumpama Ibn Rusyd tidak aktif mengulas karya Ibnu Bajjah, saintis Renaisans seperti Galileo belum tentu bakal semudah bereksperimen sebagaimana tertulis di sejarah.
Menjadi pengulas, pengutip, sekaligus (bila perlu) pengkritik bukanlah aktivitas keilmuan yang lebih rendah dari sekadar meneliti, berpikir, lalu menuliskan sendiri hasilnya. Ibnu Rusyd bisa saja memilih sekadar jadi pengutip dan kritikus sejati karya gurunya. Dari sini saja ia bisa populer. Kita salah besar yang mungkin mengenalnya hanya sebagai “pembela filsafat” setelah al-Ghazali menyerang habis filosof lewat karyanya, Tahafut al-Falasifah. Harus diakui, di dunia Sunni, karya al-Ghazali ini masih lebih “diterima” dan dikenal dibandingkan karya pengkritiknya, Tahafut al-Tahafut. Bisa jadi, ini salah satu faktor mengapa nama Ibnu Rusyd kurang bergema dibandingkan di Eropa.
Tapi medan pembesaran diri sosok Ibnu Rusyd bukanlah di situ. Ia justru dikenang dan dianggap sebagian “bagian dari kita” oleh peradaban yang kita sebut sekarang sebagai Barat, lantaran andil yang amat luar biasa sebagai pengulas filsafat. Ia tidak mesti selalu sejalan dengan para filosof, tapi ia menjelaskan dengan gamblang dan memberikan catatan kritis mereka.
Aktivitas Ibnu Rusyd tidak melewatkan karya gemilang Ibnu Bajjah. Ibnu Rusyd tidak terbujuk untuk menundukkan, menghancurkan tulisan-tulisan gurunya sehingga dirinyalah yang bakal dikenang hebat sepanjang masa. Bukan ini yang ditempuhnya. Ia mengutip, mengulas gagasan gurunya, sembari menuangkan catatan menurut pendapatnya. Dalam rumus V = P — M, misalnya, sudah dipertikaikan sejak abad pertengahan, dengan menempatkan Ibnu Rusyd sebagai kubu penolak. Sementara Thomas Aquinas dan John Duns Scotus malah membela teori Ibnu Bajjah tersebut.
Mengulas orang lain memang aktivitas keilmuan yang menghadirkan kesamaran. Ada ruang untuk mengejek, kendati mengatasnamakan kritik ilmiah. Mengulas orang lain sama artinya juga menaikkan orang lain. Dan di sinilah letak ujiannya. Ketika keikhlasan jadi pedoman aktivitas, melonjaknya popularitas sosok yang kita ulang bukanlah sebuah kesempatan mendengki. Bukan untuk mengiba pada Allah mengapa ia yang justru naik daun sementara kita yang bersusah malah biasa-biasa saja dikenal.
Mengulas orang lain bisa saja mengasyikkan bila dilandasi keikhlasan dan kekaguman pada tingginya ilmu. Tidak ada perasaan untuk bersaing dan mengiri hati. Atau setidaknya memiliki perasaan tertekan lantaran menjadi pengulas berarti hanya jadi bayang-bayang sosok yang diulas.
Kejujuran sebagai adab bagi saintis Muslim meniscayakan perhatian dan penghargaan terhadap karya orang lain. Tidak perlu ada ketakutan untuk ‘ditundukkan’ atau dibawahkan sebagai bayang-bayang sosok yang diulas. Dalam posisi sebagai Galileo, sudah menjadi keharusan setiap Muslim untuk menghargai pencipta rumus yang dipakai. Menampilkan nama pemilik rumus tidak akan menurunkan derajat kita. Menyebutkan nama pencetus dalam standar ilmiah modern malah mutlak adanya. Bagi Galileo, Ibnu Bajjah disebut dalam karyanya tentu tidak akan mengusik kebesaran namanya. Justru ketika tidak disebutkan, ada semacam syak wasangka; mengapa Galileo tidak mau melacak—andai ia memang benar-benar tidak tahu?
Kiprah keilmuan Ibnu Rusyd dalam konteks selaku ‘juru bicara tertulis’ sang guru amatlah menarik. Ada keberanian untuk menempuh pilihan sebagai penjelas setia. Ada keberanian untuk tidak takut terbayang-bayangi dari yang dijelaskan. Ada indahnya adab menghargai kelemahan pandangan sang guru. Ada kecerdasan untuk tidak terkungkung pada kekaguman diri terhadap sang guru. Kritik yang dipilih bukan untuk asal membedakan diri, semacam penegas perbedaan ‘aku dan dia’. Menjadi setia mengulas bukan untuk membuka keterbatasan, melainkan untuk menyempurnakan luhurnya ilmu guru.
Bayang-bayang kebesaran orang dekat memang syubhat yang tidak dimonopoli dalam ruang penimba ilmu belaka. Dalam pergerakan Islam, bayang-bayang kebesaran serupa juga mudah didapatkan. Menjadi penjelas sosok kunci di pergerakan ‘berisiko’ menempatkan kita hanya sebagai sosok tidak dikenal atau bahkan dituding hanya jadi juru bicara. Risiko dimaksud terkait dengan kemampuan mengolah keikhlasan.
Bayang-bayang kebesaran memang tidak otomatis menjadi problem bagi setiap orang. Bisa saja ia malah jadi kebanggaan untuk menopang gerak dakwah berikutnya. Hanya saja, tidak dapat dimungkiri, kebesaran nama memang jadi modal dakwah sebagaimana pentingnya harta benda. Kebesaran nama jadi alat penggerak dakwah, yang ini kadang menempatkan beberapa orang harus berada di depan temannya yang lain. Keberadaan di depan inilah yang mudah menaikkan popularitas, dan berikutnya manfaat-manfaat yang berhubungan dengannya. Di sinilah perlu ada antisipasi ke depan, mengajukan firasat bersama visi dakwah menangkal setiap penghambat dakwah. Hambatan itu berasal dari diri sendiri ataupun kalangan sendiri. Salah satu lemah, memudahkan faktor eksternal kian mudah merobohkan tatanan dan bangunan dakwah yang sudah lama diperjuangkan.
Kebesaran hakikatnya nikmat. Pegiat dakwah harus menyadari posisi ini. Sebagai nikmat, tidak beradab apabila hendak merebut nikmat yang Allah berikan pada al-akh yang lain; bukan diri kita. Sementara ia populer dan maju dengan kebesaran nama, mengapa aku hanya begini ya Allah? Tidak, sungguh yang demikian tidak menempatkan adab semestinya. Merebut rezeki orang lain dengan mengiri hati, bukanlah ciri orang Islam beradab.
Justru belajar dari Ibnu Rusyd, ia lebih sibuk membesarkan sang guru. Dan hasilnya ia mendapat nikmat kebesaran yang bahkan melampaui. Tidak direncanakan. Semua seperti sudah diatur dari Langit. Ini amat lebih mulia ketimbang menyembunyikan ilmu sang guru, walau satu baris rumus, padahal bisa berguna bagi umat manusia. []
Yusuf Maulana
Didekatilah lelaki asing itu.
“Apa yang kau bawa,Tuan?” tanya si muda. “Apa ilmu yang telah kau kuasai?” tanyanya kemudian menguji.
Jawaban lelaki itu di luar dugaan. “Saya membawa 12 ribu dinar. Saya simpan di ketiak saya.” Beberapa detik kemudian, diperlihatkanlah sebuah mutiara indah di depan mata si muda. Anak muda itu terperangah.
“Saya memiliki keahlian dalam 12 keahlian, dan sebagian besar dalam ilmu Arabiyah yang sedang engkau bahas,” lanjut si lelaki asing itu.
Lelaki asing yang ‘terdampar’ di Masjid Jamik Granada itu tertulis oleh al-Suyuti, dan dikutip oleh M. Saghir Hasan al-Ma’sumi untuk A History Muslim of Philosophy, karya yang diedit M.M. Sharif (1963). Lelaki yang sepintas disepelekan mata tajam anak muda, juga berabad kemudian diperlakukan serupa oleh seorang genius dari kota Pisa, Italia.
Buku Itu Mudah Dikenali dengan ilustrasi khas masanya. Tiga lelaki berjanggut lebat, berjubah lebar hingga menyentuh tanah. Ketiganya tengah serius membincang. Buku yang amat berharga, dan pantas diapresiasi sebagai karya yang turut mengubah sejarah manusia. Sayangnya, ada sedikit cela. Ya, ada bagian penting yang luput dituliskan di buku nan bersejarah yang dicetak di Fiorenza pada 1632: Dialogo Di Galileo Galilei Linceo Matematico Sopraordinario Della Studio Di Pisa. Di buku yang populer disebut “Dialog Pisa” (Pisan Dialogue) ini, pada bahasan dorongan dan dinamika, Galileo Galilei, sang penulis, justru tidak menyebutkan penemu rumus yang dipergunakannya.
Galileo menolak pendapat Aristoteles soal gerak benda, yang sudah lama diyakini dan diikuti oleh masyarakat Eropa kala itu. Pada gerak peluru, menurut Aristoteles, kecepatan berbanding lurus dengan gaya dan berbanding terbalik dengan medium penahan. Bila V = kecepatan, P = gaya gerak, dan M = medium penahan, teori Aristoteles ini dapat ditulis V = P / M. Galileo tidak sependapat.
“The medium is not essential to natural motion at finite speed, as Aristoteles held, because the speed determined by the difference, and not by the ratio, between the densities of body and medium,” tulis Ernest Addison Moody dalam papernya yang dibukukan dalam Studies in Medieval Philosophy, Science, and Logic (1975: 227).
Bagi Galileo yang berlaku adalah V = P — M. Ketika medium penahan tiada (M = 0), V = P. Galileo memakai rumus yang kala itu sudah dikenal kalangan saintis zaman Renaisans. Sungguh sayang, nama Avempace tidak disebut Galileo. Meskipun demikian, luput menyebut nama pemilik rumus tidak berarti Galileo pantas didakwa berdusta, atau sekurangnya menyembunyikan fakta yang sebenarnya ia ketahui.
Nama pemilik rumus yang memengaruhi Galileo dalam Dialog Pisa itu bukanlah sosok biasa. Tidak hanya Galileo, keilmuan Eropa masa itu banyak terinspirasi dan terbantu oleh karya-karya lelaki kelahiran Saragossa (Spanyol sekarang) itu. Padahal, karya Avempace tidak ada satu pun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin kala itu! Jangan pula bayangkan para saintis Renaisans itu membaca langsung karyanya dari bahasa Arab. Karena faktor ini, ditambah diamnya Galileo, bisa dimengerti ketika Ernest A. Moody merilis penelitiannya yang berjudul “Galileo and Avempace: The Dynamic of the Leaning Tower Experiment” pada 1951, sontak dunia keilmuan modern geger (karyanya ini sampai sekarang jadi rujukan utama para peneliti sains Islam abad pertengahan). Diungkapnya peran Avempace membuka implikasi pertanyaan dan perdebatan berikutnya: apakah temuan abad Renaisans memang memiliki kaitan dengan sains abad pertengahan? Kejadian ini mendahului nyaris enam tahun kemudian ketika Edward Stewart Kennedy, guru besar matematika di American University of Beirut, mengungkapkan peran Ibnu asy-Syatir di balik pemikiran Nicolaus Copernicus dalam buku De revolutionibus orbium coelestium.
Popularitas Avempace tidak ditopang dengan kehadiran karya-karyanya langsung yang diterjemahkan. Amat berbeda dengan saintis Muslim abad pertengahan lainnya. Sebut saja Avicenna (Ibnu Sina) yang karyanya, al-Qanun fil-Tibb, diterjemahkan, dicetak berkali-kali, dan dirujuk di banyak negeri di barat dan timur. Avempace tampaknya cukup hadir dengan karya asli bahasa Arab, dengan diulas dan disebut khusus oleh saintis setelahnya.
Tampaknya selubung kesamaran memang sudah jadi pengiring takdir lelaki dari keluarga al-Tujib, Abu Bakar Muhammad bin Yahya al-Sa’igh, yang akrab dikenal orang semasanya sebagai Ibnu Bajjah, atau dalam lidah Latin disebut dengan Avempace. Dua belas tahun menjelang wafatnya, di Cordova terlahir putra Muslim yang kelak menjadi pengulas sekaligus pembawa kebesaran nama Ibnu Bajjah di hadapan para ilmuwan Renaisans Eropa. Sosok yang mewariskan karya-karya tulis dan kupasan terjemah para filosof Yunani: Abu al-Walid Muhmmad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, yang dikenal luas sebagai Ibnu Rusyd atau Averroes.
Uraian Ibnu Rusyd begitu membekas, terutama saat mengulas filsafat dan sains Yunani, terutama karya Aristoteles. Dari buah karya dan jerih payah Ibnu Rusyd, Eropa tersambung dengan masa lalu sekaligus kian akrab dengan peradaban yang masih begitu kental mendominasi, yakni Islam. Menariknya, pemikiran Ibnu Rusyd justru lebih awal diterima dan mengakar di Eropa ketimbang di negeri-negeri Islam. Tidak berlebihan bila Ibnu Rusyd seolah-olah bagian dari ‘kita’ dalam benak mereka. Rasa kepemilikan ini terlihat jelas dalam dunia akademisi Barat modern, manakala Ibnu Rusyd mendapat tempat tersendiri dengan predikat “filosof Muslim terakhir”. Sebuah pujian yang tentu saja mengabaikan betapa masih bertebaran para filosof Muslim setelah era Ibnu Rusyd, dengan pengaruh yang tidak kalah cemerlang.
Ibnu Rusyd memainkan peran penting sebagai penyibak selubung kehebatan saintis pendahulunya, Ibnu Bajjah. Ibnu Rusyd-lah yang menguraikan dan mengulas karya-karya Ibnu Bajjah hingga dikenal luas masyarakat Eropa masa pra-Galileo. Dengan perantaraan Ibnu Rusyd, karya Ibnu Bajjah populer, termasuk bahasan gerak mekanis yang empat abad lebih sebelum Dialog Pisa Galileo terbit. Dengan popularitas menjulang, Ibnu Bajjah ataupun Avempace mestinya bukanlah nama asing bagi komunitas-komunitas keilmuan di Eropa. Terbukti rumusnya yang ‘dipinjam’ Galileo sudah jamak diketahui. Entah mengapa, kenyataannya bahwa sebuah rumus mampu membawahkan popularitas nama penciptanya, sampai sekaliber Galileo saja luput.
Ibnu Bajjah memang tidak dilupakan dalam dunia sains abad pertengahan. Peran penting Ibnu Rusyd selaku pengulas karya-karya Ibnu Bajjah amat pantas dicatat dalam tinta emas. Dalam kebesaran pemikiran dan kesungguhan mengembangkan keilmuan, nama pendahulunya itu senantiasa disebut Ibnu Rusyd. Disebut bukan dengan puja-pujaan tanpa kritik. Sebaliknya, sedari awal sesungguhnya Ibnu Rusyd beberapa hal bertolak belakang dengan Ibnu Bajjah. Bila Ibnu Rusyd menjadi filosof yang pasang badan untuk mengkritik pandangan Imam al-Ghazali soal filsafat, Ibnu Bajjah justru—dalam bahasa Seyyed Hossein Nasr—“mewakili tendensi yang lain dari perspektif al-Ghazali.”
Karena intens mengulas karya Ibnu Bajjah, amat mungkin bila ada pertalian lain yang mengetuk gairah keilmuan Ibnu Rusyd. Shams C. Inati (1998) dalam tulisannya tentang Ibnu Bajjah untuk Routledge Encyclopedia of Philosophy menyebut sosok ini sebagai guru Ibnu Rusyd. Murid lain Ibnu Bajjah yang juga terkenal adalah Ibnu al-Imam.
Membandingkan tahun wafatnya Ibnu Bajjah (1138) dan tahun kelahiran Ibnu Rusyd (1126) yang berselisih 12 tahun, begitu terbatas waktu yang didapat sang murid dalam menggali ilmu sang guru, itu pun hanya pada masa kanak-kanak. Fakta lain, mereka berdua tidaklah satu kota. Ibnu Bajjah berindah ke Granada pada masa-masa menjelang akhir hayatnya, sementara Ibnu Rusyd berdomisili di Cordova, kota kelahirannya. Kalaupun pernah bertemu muka, masih perlu ditelusuri kekerapannya. Karena itulah, makna ‘guru’ dalam tulisan Shams C. Inati lebih tepat sebagai aktivitas Ibnu Rusyd menimba ilmu lewat membaca karya-karya langsung dan/atau berguru kepada anak-didik Ibnu Bajjah.
Tatkala ibnu bajjah disebut sebagai penghubung antara dunia Timur dan Barat lewat karya-karyanya, semua ini tentu tidak bisa melupakan andil Ibnu Rusyd. Melalui kutipan-kutipan Ibnu Rusyd terhadap karya asli Ibnu Bajjah, Eropa mengenal sosok yang digambarkan Ibnu Thufail sebagai sosok yang berpikiran tajam, bernalar kuat, dan beropini sahih. Kita bisa saja berandai-andai, seumpama Ibn Rusyd tidak aktif mengulas karya Ibnu Bajjah, saintis Renaisans seperti Galileo belum tentu bakal semudah bereksperimen sebagaimana tertulis di sejarah.
Menjadi pengulas, pengutip, sekaligus (bila perlu) pengkritik bukanlah aktivitas keilmuan yang lebih rendah dari sekadar meneliti, berpikir, lalu menuliskan sendiri hasilnya. Ibnu Rusyd bisa saja memilih sekadar jadi pengutip dan kritikus sejati karya gurunya. Dari sini saja ia bisa populer. Kita salah besar yang mungkin mengenalnya hanya sebagai “pembela filsafat” setelah al-Ghazali menyerang habis filosof lewat karyanya, Tahafut al-Falasifah. Harus diakui, di dunia Sunni, karya al-Ghazali ini masih lebih “diterima” dan dikenal dibandingkan karya pengkritiknya, Tahafut al-Tahafut. Bisa jadi, ini salah satu faktor mengapa nama Ibnu Rusyd kurang bergema dibandingkan di Eropa.
Tapi medan pembesaran diri sosok Ibnu Rusyd bukanlah di situ. Ia justru dikenang dan dianggap sebagian “bagian dari kita” oleh peradaban yang kita sebut sekarang sebagai Barat, lantaran andil yang amat luar biasa sebagai pengulas filsafat. Ia tidak mesti selalu sejalan dengan para filosof, tapi ia menjelaskan dengan gamblang dan memberikan catatan kritis mereka.
Aktivitas Ibnu Rusyd tidak melewatkan karya gemilang Ibnu Bajjah. Ibnu Rusyd tidak terbujuk untuk menundukkan, menghancurkan tulisan-tulisan gurunya sehingga dirinyalah yang bakal dikenang hebat sepanjang masa. Bukan ini yang ditempuhnya. Ia mengutip, mengulas gagasan gurunya, sembari menuangkan catatan menurut pendapatnya. Dalam rumus V = P — M, misalnya, sudah dipertikaikan sejak abad pertengahan, dengan menempatkan Ibnu Rusyd sebagai kubu penolak. Sementara Thomas Aquinas dan John Duns Scotus malah membela teori Ibnu Bajjah tersebut.
Mengulas orang lain memang aktivitas keilmuan yang menghadirkan kesamaran. Ada ruang untuk mengejek, kendati mengatasnamakan kritik ilmiah. Mengulas orang lain sama artinya juga menaikkan orang lain. Dan di sinilah letak ujiannya. Ketika keikhlasan jadi pedoman aktivitas, melonjaknya popularitas sosok yang kita ulang bukanlah sebuah kesempatan mendengki. Bukan untuk mengiba pada Allah mengapa ia yang justru naik daun sementara kita yang bersusah malah biasa-biasa saja dikenal.
Mengulas orang lain bisa saja mengasyikkan bila dilandasi keikhlasan dan kekaguman pada tingginya ilmu. Tidak ada perasaan untuk bersaing dan mengiri hati. Atau setidaknya memiliki perasaan tertekan lantaran menjadi pengulas berarti hanya jadi bayang-bayang sosok yang diulas.
Kejujuran sebagai adab bagi saintis Muslim meniscayakan perhatian dan penghargaan terhadap karya orang lain. Tidak perlu ada ketakutan untuk ‘ditundukkan’ atau dibawahkan sebagai bayang-bayang sosok yang diulas. Dalam posisi sebagai Galileo, sudah menjadi keharusan setiap Muslim untuk menghargai pencipta rumus yang dipakai. Menampilkan nama pemilik rumus tidak akan menurunkan derajat kita. Menyebutkan nama pencetus dalam standar ilmiah modern malah mutlak adanya. Bagi Galileo, Ibnu Bajjah disebut dalam karyanya tentu tidak akan mengusik kebesaran namanya. Justru ketika tidak disebutkan, ada semacam syak wasangka; mengapa Galileo tidak mau melacak—andai ia memang benar-benar tidak tahu?
Kiprah keilmuan Ibnu Rusyd dalam konteks selaku ‘juru bicara tertulis’ sang guru amatlah menarik. Ada keberanian untuk menempuh pilihan sebagai penjelas setia. Ada keberanian untuk tidak takut terbayang-bayangi dari yang dijelaskan. Ada indahnya adab menghargai kelemahan pandangan sang guru. Ada kecerdasan untuk tidak terkungkung pada kekaguman diri terhadap sang guru. Kritik yang dipilih bukan untuk asal membedakan diri, semacam penegas perbedaan ‘aku dan dia’. Menjadi setia mengulas bukan untuk membuka keterbatasan, melainkan untuk menyempurnakan luhurnya ilmu guru.
Bayang-bayang kebesaran orang dekat memang syubhat yang tidak dimonopoli dalam ruang penimba ilmu belaka. Dalam pergerakan Islam, bayang-bayang kebesaran serupa juga mudah didapatkan. Menjadi penjelas sosok kunci di pergerakan ‘berisiko’ menempatkan kita hanya sebagai sosok tidak dikenal atau bahkan dituding hanya jadi juru bicara. Risiko dimaksud terkait dengan kemampuan mengolah keikhlasan.
Bayang-bayang kebesaran memang tidak otomatis menjadi problem bagi setiap orang. Bisa saja ia malah jadi kebanggaan untuk menopang gerak dakwah berikutnya. Hanya saja, tidak dapat dimungkiri, kebesaran nama memang jadi modal dakwah sebagaimana pentingnya harta benda. Kebesaran nama jadi alat penggerak dakwah, yang ini kadang menempatkan beberapa orang harus berada di depan temannya yang lain. Keberadaan di depan inilah yang mudah menaikkan popularitas, dan berikutnya manfaat-manfaat yang berhubungan dengannya. Di sinilah perlu ada antisipasi ke depan, mengajukan firasat bersama visi dakwah menangkal setiap penghambat dakwah. Hambatan itu berasal dari diri sendiri ataupun kalangan sendiri. Salah satu lemah, memudahkan faktor eksternal kian mudah merobohkan tatanan dan bangunan dakwah yang sudah lama diperjuangkan.
Kebesaran hakikatnya nikmat. Pegiat dakwah harus menyadari posisi ini. Sebagai nikmat, tidak beradab apabila hendak merebut nikmat yang Allah berikan pada al-akh yang lain; bukan diri kita. Sementara ia populer dan maju dengan kebesaran nama, mengapa aku hanya begini ya Allah? Tidak, sungguh yang demikian tidak menempatkan adab semestinya. Merebut rezeki orang lain dengan mengiri hati, bukanlah ciri orang Islam beradab.
Justru belajar dari Ibnu Rusyd, ia lebih sibuk membesarkan sang guru. Dan hasilnya ia mendapat nikmat kebesaran yang bahkan melampaui. Tidak direncanakan. Semua seperti sudah diatur dari Langit. Ini amat lebih mulia ketimbang menyembunyikan ilmu sang guru, walau satu baris rumus, padahal bisa berguna bagi umat manusia. []
Yusuf Maulana
0 Response to "Bayang-bayang Kebesaran Guru"
Post a Comment