Emha Muda
Wednesday, January 4, 2017
Add Comment
"Pertama-tama perlu diketahui bahwa semua orang, terutama laki-laki, pasti suka melihat goyang pinggul kostum mini penyanyi yang bahenol. Ketua Majelis Ulama atau apa pun dia, pasti terangsang, karena dia normal.
Cuma persoalannya ada faktor-faktor lain di dalam diri manusia; umpamanya kesadaran tentang baik dan buruk, sikap terhadap hukum moral, serta mungkin gairah untuk memelihara kesehatan mental masyarakat, termasuk dirinya.
Hal-hal itu yang membikin seseorang tak memilih kesenangan dengan menonton erotisme badan semok, tetapi berpihak pada kesadarannya yang lain. Jadi, kalau ada larangan terhadap rangsangan seksual seperti itu, tak berarti tukang-larangnya itu tak suka."
Kutipan itu saya ambil dari tulisan Emha tiga puluh empat tahun lalu. Saya tentu belum lahir saat itu, tapi untungnya Mizan menerbitkan kumpulan tulisannya. Iya, saya baca buku terbitan Mizan yang katanya Syiah itu (soal ini tidak perlu saya bahas lah ya).
Beberapa waktu lalu, Ranu Muda, salah seorang penulis di Solo ditangkap karena diduga memprovokasi sweeping klub malam. Iya, baru terduga, belum juga diadili, tapi sudah ditangkap dengan prosedur yang eugh sekali (soal ini juga tidak perlu saya bahas lah ya).
Konon, tulisannya dalam sebuah portal berita dianggap memprovokasi sweeping klub malam yang berujung kekerasan (soal masih adanya orang-orang sumbu pendek dalam sweeping itu, baik mereka itu aseli anggota ormas Islam atau preman nyusup, juga tidak perlu saya bahas lah ya).
Saya baca liputan Mas Ranu yang katanya provokatif itu. Berulang kali. Menurut saya sih biasa saja, nggak provokatif untuk sekadar komentar "astaghfirullah". Ini menurut saya lho, warga biasa yang bukan jurnalis dan hanya numpang belajar media dan bahasa waktu kuliah. Kalau soal framing, media Mas Ranu tentu punya keberpihakan, dan itu sah-sah saja karena bahkan Mbak Najwa pun bilang kalau jurnalis itu tidak bisa netral. Harus tahu siapa dan apa yang dibela.
Kalau ternyata Mas Ranu memilih untuk membela kesehatan mental masyarakat dengan menyoroti eksistensi klub malam yang menganggu masyarakat setempat, apakah dia salah? Oh ya, dalam liputannya, Mas Ranu mencantumkan beberapa wawancara dengan warga sekitar. Tapi mungkin bagi orang-orang yang berkuasa, sebagaimana teman saya yang wartawan di media ibukota pernah bercerita, "Narasumber warga itu nggak kuat!" Dia bahkan ditegur atasannya karena memakai warga sebagai narasumber.
Nah, itu dia. Kalau suara rakyat saja dianggap tidak kuat untuk sebuah berita, pada suara siapa kita harus mendengar? Jadi sebenarnya, berita dibuat untuk mewakili suara rakyat atau suara pemilik media (dan para investornya)? Kalau yang dijadikan narasumber dalam pemberitaan klub malam adalah para pemilik atau pengelolanya, menurutmu apakah mereka akan bilang keberadaan mereka memang menganggu hukum norma setempat dan karenanya mereka akan menyerah dan tutup saja?
Ya ampun, mana ada bisnis begitu. Setidaknya berjuang dulu biar pelan-pelan diterima lah. Kalau bisa malah semakin buka banyak cabang, namanya juga usaha. Yah, meskipun mereka tidak akan menjawab seperti itu sih. Paling banter, "Kita sudah punya izin usaha, sudah mengikuti peraturan, blablabla." (Meskipun yang di-sweeping di Solo kemarin sudah beberapa kali ditegur karena melanggar aturan sih).
Eh, ini kok terdengar mirip dengan berita-berita penggusuran atas nama pembangunan itu ya? Kita tahu dalam setiap pemberitaan dengan kepala proyek pembangunan sebagai narasumber, ada suara rakyat yang dibungkam. Mereka yang kehilangan rumahnya, tanahnya, pencahariannya, lebih-lebih haknya sebagai warga negara untuk diperlakukan adil.
Hanya saja, persoalan agraria tentu punya porsi urgensi yang berbeda dengan urusan moralitas dalam daftar prioritas kita.
Kepada kegelisahan rakyat atas degradasi moralitas, kita tidak mau mendengar lebih serius. Mas Ranu dkk yang berusaha memperjuangkan suara rakyat itu justru kau sebut provokator. Bahkan, menurutmu mereka yang memperjuangkan suara rakyat itu sebenarnya hanya karena tidak kebagian "uang parkir" klub. Beuh. Betapa kita sudah berlaku adil sejak dalam pikiran.
Ada juga yang menyebut orang-orang seperti Mas Ranu sebenarnya munafik; kalau disodori begituan juga mau, grebek-grebek begitu juga kan sambil menikmati. Astaghfirullah, betapa berprasangka memang memuaskan imajinasi kita.
Seperti tulisan Emha di atas, secara naluriah, siapa sih yang tidak tertarik? Tapi ya itu, ada orang-orang yang berpihak pada kesadaran yang lain, yang kau sebut kemunafikan itu.
Eniwei, kegelisahan Emha di atas sudah ditulis tiga puluh empat tahun yang lalu. Ketika masih banyak masyarakat kita yang sepakat bahwa kesehatan mental masyarakat perlu dijaga. Ketika hiburan yang merangsang erotisme masih dianggap penyakit masyarakat. Ketika kita masih bersepakat kalau dalam kasus ini musuh kita pun sama, para pemilik modal yang menjadikan seks sebagai komoditas yang melenakan kelas menengah bawah.
Mungkin jika ditulis sekarang, Emha akan dianggap berlebihan, tidak berpikiran terbuka, fanatik, preman agama, polisi moral, yang tidak siap menerima perubahan dan modernisasi.
Lalu karena tulisannya pula, Emha akan ditangkap dengan kasar di tengah malam, di depan istri dan anak-anaknya yang masih balita dan lalu trauma karenanya.
Seperti apa yang terjadi pada Mas Ranu Muda, penulis yang memungkinkan kami belajar pada jurnalis Washington Post beberapa tahun lalu.
#SaveRanu
Esty Dyah Imaniar
Cuma persoalannya ada faktor-faktor lain di dalam diri manusia; umpamanya kesadaran tentang baik dan buruk, sikap terhadap hukum moral, serta mungkin gairah untuk memelihara kesehatan mental masyarakat, termasuk dirinya.
Hal-hal itu yang membikin seseorang tak memilih kesenangan dengan menonton erotisme badan semok, tetapi berpihak pada kesadarannya yang lain. Jadi, kalau ada larangan terhadap rangsangan seksual seperti itu, tak berarti tukang-larangnya itu tak suka."
Kutipan itu saya ambil dari tulisan Emha tiga puluh empat tahun lalu. Saya tentu belum lahir saat itu, tapi untungnya Mizan menerbitkan kumpulan tulisannya. Iya, saya baca buku terbitan Mizan yang katanya Syiah itu (soal ini tidak perlu saya bahas lah ya).
Beberapa waktu lalu, Ranu Muda, salah seorang penulis di Solo ditangkap karena diduga memprovokasi sweeping klub malam. Iya, baru terduga, belum juga diadili, tapi sudah ditangkap dengan prosedur yang eugh sekali (soal ini juga tidak perlu saya bahas lah ya).
Konon, tulisannya dalam sebuah portal berita dianggap memprovokasi sweeping klub malam yang berujung kekerasan (soal masih adanya orang-orang sumbu pendek dalam sweeping itu, baik mereka itu aseli anggota ormas Islam atau preman nyusup, juga tidak perlu saya bahas lah ya).
Saya baca liputan Mas Ranu yang katanya provokatif itu. Berulang kali. Menurut saya sih biasa saja, nggak provokatif untuk sekadar komentar "astaghfirullah". Ini menurut saya lho, warga biasa yang bukan jurnalis dan hanya numpang belajar media dan bahasa waktu kuliah. Kalau soal framing, media Mas Ranu tentu punya keberpihakan, dan itu sah-sah saja karena bahkan Mbak Najwa pun bilang kalau jurnalis itu tidak bisa netral. Harus tahu siapa dan apa yang dibela.
Kalau ternyata Mas Ranu memilih untuk membela kesehatan mental masyarakat dengan menyoroti eksistensi klub malam yang menganggu masyarakat setempat, apakah dia salah? Oh ya, dalam liputannya, Mas Ranu mencantumkan beberapa wawancara dengan warga sekitar. Tapi mungkin bagi orang-orang yang berkuasa, sebagaimana teman saya yang wartawan di media ibukota pernah bercerita, "Narasumber warga itu nggak kuat!" Dia bahkan ditegur atasannya karena memakai warga sebagai narasumber.
Nah, itu dia. Kalau suara rakyat saja dianggap tidak kuat untuk sebuah berita, pada suara siapa kita harus mendengar? Jadi sebenarnya, berita dibuat untuk mewakili suara rakyat atau suara pemilik media (dan para investornya)? Kalau yang dijadikan narasumber dalam pemberitaan klub malam adalah para pemilik atau pengelolanya, menurutmu apakah mereka akan bilang keberadaan mereka memang menganggu hukum norma setempat dan karenanya mereka akan menyerah dan tutup saja?
Ya ampun, mana ada bisnis begitu. Setidaknya berjuang dulu biar pelan-pelan diterima lah. Kalau bisa malah semakin buka banyak cabang, namanya juga usaha. Yah, meskipun mereka tidak akan menjawab seperti itu sih. Paling banter, "Kita sudah punya izin usaha, sudah mengikuti peraturan, blablabla." (Meskipun yang di-sweeping di Solo kemarin sudah beberapa kali ditegur karena melanggar aturan sih).
Eh, ini kok terdengar mirip dengan berita-berita penggusuran atas nama pembangunan itu ya? Kita tahu dalam setiap pemberitaan dengan kepala proyek pembangunan sebagai narasumber, ada suara rakyat yang dibungkam. Mereka yang kehilangan rumahnya, tanahnya, pencahariannya, lebih-lebih haknya sebagai warga negara untuk diperlakukan adil.
Hanya saja, persoalan agraria tentu punya porsi urgensi yang berbeda dengan urusan moralitas dalam daftar prioritas kita.
Kepada kegelisahan rakyat atas degradasi moralitas, kita tidak mau mendengar lebih serius. Mas Ranu dkk yang berusaha memperjuangkan suara rakyat itu justru kau sebut provokator. Bahkan, menurutmu mereka yang memperjuangkan suara rakyat itu sebenarnya hanya karena tidak kebagian "uang parkir" klub. Beuh. Betapa kita sudah berlaku adil sejak dalam pikiran.
Ada juga yang menyebut orang-orang seperti Mas Ranu sebenarnya munafik; kalau disodori begituan juga mau, grebek-grebek begitu juga kan sambil menikmati. Astaghfirullah, betapa berprasangka memang memuaskan imajinasi kita.
Seperti tulisan Emha di atas, secara naluriah, siapa sih yang tidak tertarik? Tapi ya itu, ada orang-orang yang berpihak pada kesadaran yang lain, yang kau sebut kemunafikan itu.
Eniwei, kegelisahan Emha di atas sudah ditulis tiga puluh empat tahun yang lalu. Ketika masih banyak masyarakat kita yang sepakat bahwa kesehatan mental masyarakat perlu dijaga. Ketika hiburan yang merangsang erotisme masih dianggap penyakit masyarakat. Ketika kita masih bersepakat kalau dalam kasus ini musuh kita pun sama, para pemilik modal yang menjadikan seks sebagai komoditas yang melenakan kelas menengah bawah.
Mungkin jika ditulis sekarang, Emha akan dianggap berlebihan, tidak berpikiran terbuka, fanatik, preman agama, polisi moral, yang tidak siap menerima perubahan dan modernisasi.
Lalu karena tulisannya pula, Emha akan ditangkap dengan kasar di tengah malam, di depan istri dan anak-anaknya yang masih balita dan lalu trauma karenanya.
Seperti apa yang terjadi pada Mas Ranu Muda, penulis yang memungkinkan kami belajar pada jurnalis Washington Post beberapa tahun lalu.
#SaveRanu
Esty Dyah Imaniar
0 Response to "Emha Muda"
Post a Comment