Soal Kebiasaan Bahasa

Dua Hari yang lalu saya menulis tentang Isu PKI dan AU yang tidak terlalu tegang dengan isu tersebut. Di salah satu bagiannya, seorang kawan mengkritik dengan mengatakan bahwa saya telah kehilangan kontrol diri karena mencantumkan kata "Kontol" dalam tulisan itu. Saya tenang saja menyikapinya karena sebetulnya tidak ada yang salah dengan kalimat saya itu, itu adalah Kalimat Langsung (Direct Speech) dan begitulah kata-kata yang dikatakan oleh orang yang kalimatnya saya kutip.

Tidak berapa lama, saya lihat video anak kecil yang diwawancara oleh Presiden Jokowi. Sepertinya dia diminta untuk menyebutkan 4 nama ikan dengan iming-iming diberi sepeda. Ia berturut-turut menyebutkan nama Ikan Lele, Ikan Paus (Paus sebetulnya bukan ikan tapi mamalia), ikan Teri dan terakhir Ikan Kontol.

Tentu saja anak itu sebenarnya berniat mengatakan Ikan Tongkol, tapi lantaran grogi mungkin dia mengatakan hal yang berbeda. Tapi seandainya ia tidak diminta untuk meralat kata-katanya oleh Pak Jokowi, Ikan Kontol (Urechis unicinctus) itu sendiri adalah ikan yang memang benar-benar ada dan lazim dikonsumsi di Jepang dan Korea.

Bagian paling menariknya, lagi-lagi kemudian ada banyak yang mengatakan bahwa "kata benda" yang diucapkan oleh anak kecil itu adalah kalimat yang problematis dan menjurus saru. Diluar memang kita jarang dengar kata itu diucapkan dalam pergaulan sehari-hari, saya tiba-tiba ingat dengan pelajaran semasa SMP yang menuntut kita untuk buka-buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ditengah kesibukan membuka-buka kamus itu, saya pernah dengan iseng mencari-cari kata-kata saru dan menduga-duga kemungkinan keberadaannya di KBBI, dan ketemu. Salah satunya ya Kontol tadi.

Jadi sebetulnya Kontol itu bukanlah omongan jorok, ia adalah kata ganti baku selain Penis untuk alat reproduksi pria. Jorok atau tidak adalah soal kebiasaan saja. Sejujurnya saya tidak tahu apakah kata itu masih ada atau enggak di KBBI edisi terbaru (KBBI ada revisi gitu gak sih?). Tapi dalam sebuah sesi parenting yang pernah saya ikuti, sang psikolog memang pernah mengatakan: "Terbuka saja tentang organ tubuh sang anak secara ilmiah. Tidak perlu merubah sebutan alat kelamin menjadi sesuatu yang mengaburkan makna yang disepakati bersama secara umum semisal menyebut Penis menjadi "Burung" atau "Umang-Umang". Alat reproduksi itu tidak lebih serius daripada hidung atau telinga. Kenapa anggota tubuh lain dapat dibicarakan dan dijelaskan sementara alat kelamin tidak?"

Kembali soal Kontol yang dikatakan anak kecil itu, yang harus diperjelas, yang bermasalah dalam keseluruhan masalah ini sebenarnya bukan si anak kecil tersebut ,baik dia salah ucap ataupun tidak salah ucap, melainkan kita yang sering membungkus sesuatu menjadi sesuatu yang lain sama sekali, padahal itu hal yang biasa saja, normal sekali bahkan dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan karna adanya berbagai penghalusan kata, substansi utama persoalan menjadi kabur dibalik kata-kata yang tidak jelas.

Kalau saya bikin lebih jelas, kelucuan kita atas situasi ini sebenarnya adalah cerminan dari gambaran mentalitas berbudaya kita yang cenderung manipulatif..

Sopan santun ala Indonesia itu kita bangun sedemikian hebat, sehingga kita disebut sebagai "bangsa berbudaya", kadang-kadang hanya untuk menyembunyikan fakta bahwa mentalitas dasar kita sebenarnya adalah Pejantan Alpha yang beringas dan ingin menjajah, ingin berkuasa dan agresor. Sopan santun dibuat untuk menjadi asumsi bersama bahwa lawan bicara kita mungkin sekali adalah seorang jagoan dalam bentuk yang tidak kita kenali dan karenanya kita membangun asumsi bahwa dia layak dihormati. Budaya Amok adalah gambaran betapa dibalik segala tata cara dan sikap menghormat kita tersembunyi kenekatan dan kekerasan yang tidak tersalurkan dengan benar.

Kenapa ide dan substansi bicara itu tidak tersalurkan dengan benar ? Karena kita membangun budaya sopan santun dan bungkus kalimat berbunga-bunga padahal substansi masalah yang ingin kita kemukakan adalah hal yang sama sekali berbeda.

Saya tidak sedang mengajarkan bahwa kita selayaknya tidak perlu bersopan santun, tidak bukan itu maksud saya. Tapi bayangkanlah fakta betapa seringnya kita membangun budaya bahwa terhadap kerabat, menagih hutang adalah sesuatu yang tidak sopan, tidak peduli bahwa kita sendiri mungkin sedang dalam situasi morat-marit. Kita dibiasakan untuk tidak menanyakan honor pekerjaan kita secara terbuka karena sebuah ketidak sopanan yang abstrak dan berasumsi bahwa seharusnya dia "tau-sama tau aja". Kita terbiasa membanggakan bahwa sopan santun adalah segalanya sehingga kita memilih SBY 10 tahun itu mutlak hanya karena ia Sopan dan ia Santun sekalipun dalam kerja ia nol besar dan setelah ratusan trilyun ia berhutang, legacynya yang paling kita kenal adalah album lagu yang tidak laku. Puncaknya, seorang yang membiasakan diri menyebut orang lain sebagai "Musyrik, Kafir atau Kutil Babi" belakangan ini menuntut orang yang artikulasi bicaranya sama-sama brutalnya dengan dirinya untuk melakukan "Sopan-santun".

Maka kalaupun anda mau menjaga diri dari kalimat-kalimat yang tidak terkontrol, setidaknya biasakanlah untuk mengemukakan segala sesuatu secara telanjang dan jelas kawan. Anda makan sate torpedo dan ditanya soal ingredientnya, katakan saja bahwa itu adalah Pelir Kambing yang dibakar. Kalau hal semacam itu tidak mau dikatakan dengan jelas, lalu mau dikatakan apa? Kalau anda diajak serta dalam sebuah bisnis dengan kakak sepupu anda sendiri, tanyakan kepadanya secara telanjang: "berapa gaji saya?".

Ketika saya ditanya mengenai organ reproduksi oleh Fira, anak saya yang tertua, saya menggunakan kata ganti Penis dan Vagina. Tapi dalam beberapa konteks yang berbeda, beberapa teman memang lebih nyaman mempergunakan redaksional kata Kontol sebagaimana pedagang kue di semarang yang menjual Kue dagangannya dengan nama Turuk Bintul atau Kontol kejepit. Lha ya sudah, mau gimana?

Khairun Fajri Arief

0 Response to "Soal Kebiasaan Bahasa"

Post a Comment