Apa Kabar Transparansi APBD Lampung?
Monday, April 18, 2016
Add Comment
Korupsi terhadap dana anggaran yang disusun pemerintah memang seolah menjadi budaya bagi para elit politik di negeri ini. Tidak terhitung lagi berapa sudah pejabat pemerintahan yang dijebloskan ke tahanan akibat terlibat kasus korupsi anggaran. Dana yang berasal dari rakyat tidak urung menjadi bancakan di meja rencana anggaran oleh para oknum elit yang menamakan dirinya dengan sebutan ‘wakil rakyat’.
Dalam negara hukum yang menganut sistem demokrasi, yang mana kedaulatan tertinggi ada pada rakyat, maka sudah sepatutnya rakyat diberi ruang untuk berpartisipasi membangun pemerintahan. Salah satu prinsip demokrasi menurut Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara adalah pengawasan dan kontrol.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD) merupakan rencana keuangan tahunan yang dirancang oleh pemerintah daerah sebagai realisasi atas program kerja dalam memenuhi kebutuhan rakyat.Oleh karena itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan kontrol, terutama soal APBD, untuk mengetahui sejauh mana pemerintah daerah melaksanakan tugasnya dalam mengemban amanah rakyat.
Di era keterbukaan informasi, masyarakat harusnya bisa dengan mudah mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Untuk itu, UU No 14 Tahun 2008 dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan keterbukaan informasi. Hal ini tentu semakin mendukung peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah daerah, serta, menjadi tolak ukur dalam menerapkan clean and good governance.
Transparansi dipandang sebagai unsur yang wajib ada untuk mewujudkan clean and good governance. Contohnya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, transparansi APBD diwujudkan dengan adanya festival anggaran untuk menyediakan informasi kepada masyarakat luas atas tata kelola APBD, sehingga rakyat bisa menilai sendiri kinerja pemerintahan, selain untuk tujuan tata kelola APBD yang transparan, akuntabel,dan pro rakyat.
Festival anggaran yang dibuat oleh bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo, dikemas secara apik dengan konsep pameran yang isinya adalah laporan anggaran yang disediakan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah(SKPD).
Pada festival itu, tiap-tiap stand diisi oleh SKPD dari dinas-dinas di daerah, yang mempresentasikan dan melaporkan tata kelola anggaran secara detail, dengan tujuan agar masyarakat dapat melihat rincian anggaran yang digunakan oleh pemerintah bahkan sampai hal-hal terkecil semacam pembelian kertas hvs untuk suatu kantor dinas.
Salah satu pengunjung bahkan dengan heran melihat betapa kecil gaji bupati yang “hanya” sebesar Rp. 6.500.000.
Transparansi APBD sendiri merupakan wujud nyata dari penerapan pengelolaan anggaran yang diatur pada pasal 4 PP NO 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, sebagai bagian dari manifestasi UU NO 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Di Provinsi Lampung, upaya untuk melakukan transparansi APBD tidak terlihat serius. Di tengah phobia terhadap kasus penyelewengan uang rakyat yang marak terjadi serta perlambatan dalam bidang pembangunan, masyarakat justru sangat kesulitan dalam mengakses dokumen terkait tata kelola anggaran sehingga menghambat partisipasi masyarakat dalam membangun pemerintahan yang diinginkan.
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, mestinya pemerintah daerah Lampung mampu menyajikan informasi APBD secara jelas dan update. Tapi nyatanya, tidak ditemukan situs pemerintah yang secara up to date menyediakan informasi tentang APBD. Upaya pemerintah daerah Lampung dalam transparansi APBD dengan cara lainnya pun tidak terlihat oleh masyarakat.
Hal ini memunculkan dugaan bahwa selain pemprov Lampung tidak menaati undang-undang, ada indikasi bahwa informasi terkait APBD tidak ditunjukan kepada masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu.
Padahal, informasi terkait APBD sangatlah berguna bagi masyarakat. Pengelolaan APBD yang transparan, akuntabel, dan pro-rakyat adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat dapat menilai apakah di dalam APBD itu telah sesuai dengan kebutuhan, atau malah program kerja yang ada tidak menjangkau rakyat.
Lewat transparansi anggaran pula masyarakat dapat mengetahui alur dana yang ada pada APBD. Sehingga protes dan evaluasi dapat dilakukan apabila terdapat indikasi yang menyimpang dari penggunaan dana tersebut.
Transparansi APBD dapat pula dijadikan sebagai sarana mensinkronkan antara masyarakat dengan wakil rakyat di DPRD, yang notabene menyetujui suatu rancangan APBD. Rancangan APBD yang disetujui DPRD mestinya sesuai dengan kebutuhan rakyat karena DPRD adalah perpanjangan tangan masyarakat.
Artinya, dengan itu pula APBD harus sesuai dengan keinginan masyarakat. Jika APBD tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, berarti ada dua kemungkinan, yaitu pemerintah daerah gagal merumuskan program kerja yang pro rakyat, atau DPRD yang gagal dalam memahami keinginan rakyat.
Tertutupnya akses masyarakat terhadap informasi APBD akan memperbesar kemungkinan oknum-oknum keji lebih leluasa dalam menyelewengkan dana rakyat, misalnya dengan memasukkan proyek yang menguntungkan pribadi atau melakukan mark up biaya-biaya belanja daerah.
Selain itu, pemerintah daerah terkesan mengisolasi masyarakat dari peran sebagai pengawas dan pengontrol. Hal ini juga merupakan bentuk pembangkangan konstitusi dengan secara gamblang melanggar UU NO 25 Tahun 2004 yang justru mendorong agar masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan nasional.
Masyarakat seolah tidak dianggap hadir dan tidak dibutuhkan dalam upaya membangun daerah, padahal, pembangunan di daerah harusnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.Absennya partisipasi masyarakat ini yang akhirnya membuat pembangunan di daerah tidak tepat sasaran dan kebutuhan.
Semoga, ke depannya Lampung dapat lebih transparan terkait tata kelola APBD. Wakil rakyat memang dipilih rakyat, namun mereka tak bisa ‘mewakili’ rakyat untuk bancakan dana anggaran yang bersumber dari rakyat. Jika bisa, mungkin harus ada semacam festival anggaran!.
Penulis : Bayu Setiawan
Dalam negara hukum yang menganut sistem demokrasi, yang mana kedaulatan tertinggi ada pada rakyat, maka sudah sepatutnya rakyat diberi ruang untuk berpartisipasi membangun pemerintahan. Salah satu prinsip demokrasi menurut Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara adalah pengawasan dan kontrol.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD) merupakan rencana keuangan tahunan yang dirancang oleh pemerintah daerah sebagai realisasi atas program kerja dalam memenuhi kebutuhan rakyat.Oleh karena itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan kontrol, terutama soal APBD, untuk mengetahui sejauh mana pemerintah daerah melaksanakan tugasnya dalam mengemban amanah rakyat.
Di era keterbukaan informasi, masyarakat harusnya bisa dengan mudah mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Untuk itu, UU No 14 Tahun 2008 dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan keterbukaan informasi. Hal ini tentu semakin mendukung peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah daerah, serta, menjadi tolak ukur dalam menerapkan clean and good governance.
Transparansi dipandang sebagai unsur yang wajib ada untuk mewujudkan clean and good governance. Contohnya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, transparansi APBD diwujudkan dengan adanya festival anggaran untuk menyediakan informasi kepada masyarakat luas atas tata kelola APBD, sehingga rakyat bisa menilai sendiri kinerja pemerintahan, selain untuk tujuan tata kelola APBD yang transparan, akuntabel,dan pro rakyat.
Festival anggaran yang dibuat oleh bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo, dikemas secara apik dengan konsep pameran yang isinya adalah laporan anggaran yang disediakan oleh masing-masing satuan kerja perangkat daerah(SKPD).
Pada festival itu, tiap-tiap stand diisi oleh SKPD dari dinas-dinas di daerah, yang mempresentasikan dan melaporkan tata kelola anggaran secara detail, dengan tujuan agar masyarakat dapat melihat rincian anggaran yang digunakan oleh pemerintah bahkan sampai hal-hal terkecil semacam pembelian kertas hvs untuk suatu kantor dinas.
Salah satu pengunjung bahkan dengan heran melihat betapa kecil gaji bupati yang “hanya” sebesar Rp. 6.500.000.
Transparansi APBD sendiri merupakan wujud nyata dari penerapan pengelolaan anggaran yang diatur pada pasal 4 PP NO 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, sebagai bagian dari manifestasi UU NO 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Di Provinsi Lampung, upaya untuk melakukan transparansi APBD tidak terlihat serius. Di tengah phobia terhadap kasus penyelewengan uang rakyat yang marak terjadi serta perlambatan dalam bidang pembangunan, masyarakat justru sangat kesulitan dalam mengakses dokumen terkait tata kelola anggaran sehingga menghambat partisipasi masyarakat dalam membangun pemerintahan yang diinginkan.
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi, mestinya pemerintah daerah Lampung mampu menyajikan informasi APBD secara jelas dan update. Tapi nyatanya, tidak ditemukan situs pemerintah yang secara up to date menyediakan informasi tentang APBD. Upaya pemerintah daerah Lampung dalam transparansi APBD dengan cara lainnya pun tidak terlihat oleh masyarakat.
Hal ini memunculkan dugaan bahwa selain pemprov Lampung tidak menaati undang-undang, ada indikasi bahwa informasi terkait APBD tidak ditunjukan kepada masyarakat dengan maksud dan tujuan tertentu.
Padahal, informasi terkait APBD sangatlah berguna bagi masyarakat. Pengelolaan APBD yang transparan, akuntabel, dan pro-rakyat adalah salah satu cara untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat dapat menilai apakah di dalam APBD itu telah sesuai dengan kebutuhan, atau malah program kerja yang ada tidak menjangkau rakyat.
Lewat transparansi anggaran pula masyarakat dapat mengetahui alur dana yang ada pada APBD. Sehingga protes dan evaluasi dapat dilakukan apabila terdapat indikasi yang menyimpang dari penggunaan dana tersebut.
Transparansi APBD dapat pula dijadikan sebagai sarana mensinkronkan antara masyarakat dengan wakil rakyat di DPRD, yang notabene menyetujui suatu rancangan APBD. Rancangan APBD yang disetujui DPRD mestinya sesuai dengan kebutuhan rakyat karena DPRD adalah perpanjangan tangan masyarakat.
Artinya, dengan itu pula APBD harus sesuai dengan keinginan masyarakat. Jika APBD tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, berarti ada dua kemungkinan, yaitu pemerintah daerah gagal merumuskan program kerja yang pro rakyat, atau DPRD yang gagal dalam memahami keinginan rakyat.
Tertutupnya akses masyarakat terhadap informasi APBD akan memperbesar kemungkinan oknum-oknum keji lebih leluasa dalam menyelewengkan dana rakyat, misalnya dengan memasukkan proyek yang menguntungkan pribadi atau melakukan mark up biaya-biaya belanja daerah.
Selain itu, pemerintah daerah terkesan mengisolasi masyarakat dari peran sebagai pengawas dan pengontrol. Hal ini juga merupakan bentuk pembangkangan konstitusi dengan secara gamblang melanggar UU NO 25 Tahun 2004 yang justru mendorong agar masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan nasional.
Masyarakat seolah tidak dianggap hadir dan tidak dibutuhkan dalam upaya membangun daerah, padahal, pembangunan di daerah harusnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.Absennya partisipasi masyarakat ini yang akhirnya membuat pembangunan di daerah tidak tepat sasaran dan kebutuhan.
Semoga, ke depannya Lampung dapat lebih transparan terkait tata kelola APBD. Wakil rakyat memang dipilih rakyat, namun mereka tak bisa ‘mewakili’ rakyat untuk bancakan dana anggaran yang bersumber dari rakyat. Jika bisa, mungkin harus ada semacam festival anggaran!.
Penulis : Bayu Setiawan
0 Response to "Apa Kabar Transparansi APBD Lampung?"
Post a Comment