Kartono Mengintip Kartini
Thursday, April 21, 2016
Add Comment
Setiap tanggal 21 April semua ingatan tertuju pada satu sosok yang dianggap pejuang emansipasi, pejuang hak-hak perempuan. Merintis sekolah, menulis, melukis, bermain piano dan menggambar dengan pola batik. Kartini dipercaya sebagai salah seorang yang pertama memiliki jasa mengenalkan batik sebagai pakaian khas Indonesia.
Tak keliru, jika anak saya yang masih duduk di kelas 7 SMP, sehari (Rabu, 20/04/2014) sebelum tanggal 21 telah sibuk mencari dan menyiapkan baju batik untuk dipakai ke sekolah, karena diperintahkan gurunya sebagai cara untuk mengingat Kartini.
Ada banyak cara orang mengenang perjuangan Kartini, ada yang menggelar lomba kebaya, ada pula yang mengadakan seminar tentang pemikiran Kartini. Beberapa media online seperti mesin pencari google juga dan kompasiana sebagai situs web (website) yang kontennya berasal dan dibuat oleh warga, tak ingin ketinggalan melewatkan tanggal 21 April dengan memasang foto Kartini di logonya.
Namun, sesungguhnya di balik seremoni tanggal 21 April itu ada banyak yang terlibat dalam perayaan sejarah itu, mengabaikan hal-hal penting dari warisan ajaran dan semangat Kartini. Ritual peringatan sebagaimana peringatan-peringatan penting lainnya seperti HUT RI, Hari Ibu, Hari Pendidikan Nasional atau peringatan apa saja yang terkait dengan sejarah perjuangan, selalu nir-nilai, kosong pesan-pesan substansial, sehingga cenderung terkesan hanya sebagai acara simbolik yang mubazir. Melelahkan!
Maka, ketika yang lain mengingat kesejarahan penting tentang perjuangan Kartini melalui kegiatan dan perayaan, saya memilih untuk menulis, menulis sebagai tradisi yang hendak dikampanyekan, dilestarikan dan ditradisikan oleh Kartini untuk rakyat yang sering disebutnya sebagai rakyatku, wabilkhusus untuk kaumnya, menulis sebagai upaya menyentuh rasa, mengajak bicara dari hati ke hati, tentang kepedihan yang pernah ditulis oleh Kartini.
Kepedihan yang penting untuk diresapi, bukan hanya oleh Kartini dan kaumnya, tapi juga diresapi sembari memejamkan mata, sehingga masuk pada relung-relung jiwa terdalam laki-laki, jiwa terdalam Kartono dan kaumnya.
Ketika Kartini menerima lamaran dan menikah dengan Bupati Rembang, Adipati Djojohadiningrat (Baca; Kartono) yang berusia dua kali lebih tua dari dirinya dan telah memiliki tiga orang istri, ketika itu Kartini telah mengkompromikan cita-citanya, bersedia menjalani kehidupan yang rumit.
Kenapa? Kartini yang meminta waktu tiga hari untuk menimbang lamaran Kartono, dalam rangka segala informasi mengenai sosok yang melamarnya itu, hingga ia menemukan bahwa sosok Kartono (laki-laki yang akan menjadi suaminya) itu memiliki pendidikan tinggi, walaupun tidak sampai lulus dari jurusan pertanian di Wageningen, Belanda, Bupati Rembang yang handal, maka Kartini menganggap Kartono adalah laki-laki yang terbaik di antara puluhan laki-laki yang telah melamar dan ditolaknya.
Maka ia pun menyanggupi lamaran Kartono tersebut dengan beberapa persyaratan, Kartono harus mendukungnya dalam mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi di Rembang, Kartino juga harus mengizinkannya membawa pengrajin-pengrajin handal Jepara untuk mengembangkan industri ukir. Kartini juga hanya akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko kepada Kartono dan bukan dalam bahasa Kromo Inggil yang begitu formal.
Dan terakhir, permintaannya yang paling kontroversial untuk adat saat itu, adalah bahwa dalam upacara pernikahan ia tidak akan melakukan upacara berjalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria.
Kartono mengabulkan semua persyaratan tersebut, bahkan Kartono bersedia menceraikan semua istrinya (dulu disebut gerwo ampil) demi Kartini, tetapi Kartini menolak karena itu sangat menyakitkan bagi perempuan-perempuan itu dan anak-anaknya. Mereka akhirnya menikah dengan persyaratan Kartini.
Lantas, mengingat betapa keras Kartini menyuarakan penolakannya pada poligami, apakah ia benar-benar bahagia dengan pernikahannya sebagai istri keempat? Bacalah surat Kartini kepada sahabatnya yang terdokumentasi dalam buku Soelastin Soetrisno (1985).
”Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan, jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai isterinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya semaunya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak. Semua untuk kaum laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.” (surat kepada Nona EH. Zeehandelaar, 6 Nopember 1899).
Lalu, untuk siapa sebenarnya Kartini menikah? Untuk para rakyat, untuk para perempuan, agar mereka menjadi terdidik dan mandiri.
Jadi, berhentilah para Kartono menepuk dada dan merasa gagah jika berhasil menaklukkan banyak perempuan, karena bisa jadi itu juga bukan karena pilihan terbaik Kartini. Ada kemungkinan itu adalah kepasrahan, ketakberdayaan, atau suatu kondisi yang memang memaksa para Kartini untuk melakukan itu untuk kepentingan lebih besar.
Kebanggaan menaklukkan Kartini yang tak berdaya, memenangkan pertempuran atas kelompok yang lemah, bukanlah hal yang membanggakan dan sama sekali gagah. Mengingat Kartini bagi Kartono, semestinya adalah bagaimana menemukan kesejatian, kegagahan, yang diraih dengan penuh perjuangan dan keringat, merayakan kemenangan karena perjuangan bukan merayakan kemenangan atas ketakberdayaan.
Ada catatan perih, yaitu ketika Kartini mengetahui kehamilannya, meski ia bahagia dengan kehamilan tersebut, ada kesedihan yang tergambah dalam surat yang ia tulis kepada Nyonya Abendanonbahwa seandainya bayinya perempuan, ia berharap sang anak tidak akan dipaksa menjalankan hal-hal di luar cita-citanya. Ia secara eksplisit menulis bahwa ia berharap sang suami akan akan selalu mendukung anak perempuannya, bahkan mengijinkan seandainya sang anak tidak ingin menikah sama sekali seolah ia sedang bicara mengenai kesedihannya sendiri.
Catatan terakhir ini harus menjadi catatan penting bagi Kartono, ketika mengingat atau hanya sekedar mengintip perjuangan Kartini, sembari membayangkan tentang nasib anak-anak gadisnya.
Terakhir, apa kabar perjuangan 9 Kartini dari Rembang? Apa kabar juga dengan Kartono yang hari ini menjadi Gubernur atau Bupati, bahkan Presiden, yang bisa jadi hari sedang berbusa-busa menyampaikan pidato tentang sejarah perjuangan Kartini, tetapi justeru menutup mata dengan 9 Kartini yang berjuang menolak pabrik semen di Rembang?
Penulis : Rahmatul Ummah
Tak keliru, jika anak saya yang masih duduk di kelas 7 SMP, sehari (Rabu, 20/04/2014) sebelum tanggal 21 telah sibuk mencari dan menyiapkan baju batik untuk dipakai ke sekolah, karena diperintahkan gurunya sebagai cara untuk mengingat Kartini.
Ada banyak cara orang mengenang perjuangan Kartini, ada yang menggelar lomba kebaya, ada pula yang mengadakan seminar tentang pemikiran Kartini. Beberapa media online seperti mesin pencari google juga dan kompasiana sebagai situs web (website) yang kontennya berasal dan dibuat oleh warga, tak ingin ketinggalan melewatkan tanggal 21 April dengan memasang foto Kartini di logonya.
Namun, sesungguhnya di balik seremoni tanggal 21 April itu ada banyak yang terlibat dalam perayaan sejarah itu, mengabaikan hal-hal penting dari warisan ajaran dan semangat Kartini. Ritual peringatan sebagaimana peringatan-peringatan penting lainnya seperti HUT RI, Hari Ibu, Hari Pendidikan Nasional atau peringatan apa saja yang terkait dengan sejarah perjuangan, selalu nir-nilai, kosong pesan-pesan substansial, sehingga cenderung terkesan hanya sebagai acara simbolik yang mubazir. Melelahkan!
Maka, ketika yang lain mengingat kesejarahan penting tentang perjuangan Kartini melalui kegiatan dan perayaan, saya memilih untuk menulis, menulis sebagai tradisi yang hendak dikampanyekan, dilestarikan dan ditradisikan oleh Kartini untuk rakyat yang sering disebutnya sebagai rakyatku, wabilkhusus untuk kaumnya, menulis sebagai upaya menyentuh rasa, mengajak bicara dari hati ke hati, tentang kepedihan yang pernah ditulis oleh Kartini.
Kepedihan yang penting untuk diresapi, bukan hanya oleh Kartini dan kaumnya, tapi juga diresapi sembari memejamkan mata, sehingga masuk pada relung-relung jiwa terdalam laki-laki, jiwa terdalam Kartono dan kaumnya.
Ketika Kartini menerima lamaran dan menikah dengan Bupati Rembang, Adipati Djojohadiningrat (Baca; Kartono) yang berusia dua kali lebih tua dari dirinya dan telah memiliki tiga orang istri, ketika itu Kartini telah mengkompromikan cita-citanya, bersedia menjalani kehidupan yang rumit.
Kenapa? Kartini yang meminta waktu tiga hari untuk menimbang lamaran Kartono, dalam rangka segala informasi mengenai sosok yang melamarnya itu, hingga ia menemukan bahwa sosok Kartono (laki-laki yang akan menjadi suaminya) itu memiliki pendidikan tinggi, walaupun tidak sampai lulus dari jurusan pertanian di Wageningen, Belanda, Bupati Rembang yang handal, maka Kartini menganggap Kartono adalah laki-laki yang terbaik di antara puluhan laki-laki yang telah melamar dan ditolaknya.
Maka ia pun menyanggupi lamaran Kartono tersebut dengan beberapa persyaratan, Kartono harus mendukungnya dalam mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi di Rembang, Kartino juga harus mengizinkannya membawa pengrajin-pengrajin handal Jepara untuk mengembangkan industri ukir. Kartini juga hanya akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko kepada Kartono dan bukan dalam bahasa Kromo Inggil yang begitu formal.
Dan terakhir, permintaannya yang paling kontroversial untuk adat saat itu, adalah bahwa dalam upacara pernikahan ia tidak akan melakukan upacara berjalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria.
Kartono mengabulkan semua persyaratan tersebut, bahkan Kartono bersedia menceraikan semua istrinya (dulu disebut gerwo ampil) demi Kartini, tetapi Kartini menolak karena itu sangat menyakitkan bagi perempuan-perempuan itu dan anak-anaknya. Mereka akhirnya menikah dengan persyaratan Kartini.
Lantas, mengingat betapa keras Kartini menyuarakan penolakannya pada poligami, apakah ia benar-benar bahagia dengan pernikahannya sebagai istri keempat? Bacalah surat Kartini kepada sahabatnya yang terdokumentasi dalam buku Soelastin Soetrisno (1985).
”Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan, jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai isterinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya semaunya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak. Semua untuk kaum laki-laki dan tidak ada sesuatu pun untuk perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.” (surat kepada Nona EH. Zeehandelaar, 6 Nopember 1899).
Lalu, untuk siapa sebenarnya Kartini menikah? Untuk para rakyat, untuk para perempuan, agar mereka menjadi terdidik dan mandiri.
Jadi, berhentilah para Kartono menepuk dada dan merasa gagah jika berhasil menaklukkan banyak perempuan, karena bisa jadi itu juga bukan karena pilihan terbaik Kartini. Ada kemungkinan itu adalah kepasrahan, ketakberdayaan, atau suatu kondisi yang memang memaksa para Kartini untuk melakukan itu untuk kepentingan lebih besar.
Kebanggaan menaklukkan Kartini yang tak berdaya, memenangkan pertempuran atas kelompok yang lemah, bukanlah hal yang membanggakan dan sama sekali gagah. Mengingat Kartini bagi Kartono, semestinya adalah bagaimana menemukan kesejatian, kegagahan, yang diraih dengan penuh perjuangan dan keringat, merayakan kemenangan karena perjuangan bukan merayakan kemenangan atas ketakberdayaan.
Ada catatan perih, yaitu ketika Kartini mengetahui kehamilannya, meski ia bahagia dengan kehamilan tersebut, ada kesedihan yang tergambah dalam surat yang ia tulis kepada Nyonya Abendanonbahwa seandainya bayinya perempuan, ia berharap sang anak tidak akan dipaksa menjalankan hal-hal di luar cita-citanya. Ia secara eksplisit menulis bahwa ia berharap sang suami akan akan selalu mendukung anak perempuannya, bahkan mengijinkan seandainya sang anak tidak ingin menikah sama sekali seolah ia sedang bicara mengenai kesedihannya sendiri.
Catatan terakhir ini harus menjadi catatan penting bagi Kartono, ketika mengingat atau hanya sekedar mengintip perjuangan Kartini, sembari membayangkan tentang nasib anak-anak gadisnya.
Terakhir, apa kabar perjuangan 9 Kartini dari Rembang? Apa kabar juga dengan Kartono yang hari ini menjadi Gubernur atau Bupati, bahkan Presiden, yang bisa jadi hari sedang berbusa-busa menyampaikan pidato tentang sejarah perjuangan Kartini, tetapi justeru menutup mata dengan 9 Kartini yang berjuang menolak pabrik semen di Rembang?
Penulis : Rahmatul Ummah
0 Response to "Kartono Mengintip Kartini"
Post a Comment