Kota Sebagai Entitas Lingkungan yang Berkelanjutan
Wednesday, April 20, 2016
Add Comment
Meskipun penggunaan istilah “Perubahan Iklim” sangatlah populer, iklim sebenarnya tidak berubah (dengan sendirinya). Kita, manusia, sendirilah yang berubah dan mengubah segala sesuatu yang ada di dunia ini. Iklim hanya mencerminkan dan bereaksi terhadap tindakan kita yang mengeksploitasi alam. Saat ini ada lebih dari 7 miliar manusia di dunia dan semuanya tanpa terkecuali berkontribusi terhadap perubahan alam. Lebih dari setengah dari jumlah di atas, tinggal di Asia dimana sebagian besar tinggal di Cina, India, dan Indonesia.
Emisi dari karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen di dunia meningkat dari 22,6 milyar ton pada tahun 1990 menjadi kurang lebih 31 milyar ton pada tahun 2007 atau dengan kata lain, meningkat tajam sebanyak 37 persen. “Fenomena” pembakaran hutan yang mencapai sekitar 13 juta hektar setiap tahunnya, juga menambah 6,5 milyar ton karbondioksida yang dilepas ke atmosfer per tahunnya. Lagi-lagi negara-negara di Asia berperan besar dalam “prestasi” ini. Di Pulau Sumatera, Indonesia, telah terjadi penurunan luasan hutan tropis yang sangat signifikan dari 21,12 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 13,58 juta hektar pada tahun 2010 akibat dari pembakaran hutan. Apabila hal ini terus berlanjut dengan pola yang sama seperti ini maka kurang dari 20 tahun yang akan datang, hutan tropis di Sumatera mungkin sudah tidak ada lagi.
Melihat fakta-fakta di atas, tidaklah mengejutkan ketika kemudian perubahan-perubahan pada alam tersebut memicu perubahan pada iklim dan terjadinya bencana-bencana alam di sebagian besar negara-negara Asia pada satu dekade terakhir ini. Dimulai pada tahun 2004 dimana gempa bumi sebesar 9 skala Richter yang diikuti oleh gelombang tsunami yang dahsyat, menyapu habis beberapa pantai-pantai di Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand. Kemudian pada tahun 2006, gempa bumi yang besar terjadi lagi di Indonesia dan kali ini diikuti oleh letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Pada bulan Februari 2007, banjir di Jakarta menyebabkan sebanyak 340.000 orang kehilangan tempat tinggalnya.
Nasib yang tak jauh berbeda di alami oleh negara-negara tetangga kita. Pada tahun 2008, cyclone (angin topan) Nargis menghantam Myanmar dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa manusia. Satu tahun berikutnya “giliran” kota Padang yang diluluh-lantakkan oleh gempa bumi, sementara hampir di saat yang bersamaan, banjir dan angin topan menerpa Manila dan beberapa kota lain di Filipina. Kemudian di tahun 2010 dan 2011, rangkaian peristiwa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung merapi, tanah longsor, badai, dan angin topan secara bergantian melanda Vietnam, Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Filipina. Bahkan pada tanggal 11 November 2013 yang lalu, kota Tacloban di Filipina hancur lebur akibat angin topan Haiyan yang sangat besar dan gelombang laut yang terjadinya karena angin tersebut. Lebih dari 3.000 jiwa manusia hilang dan ini masih mungkin akan bertambah. Baru-baru saja malah kita kembali menyaksikan betapa banjir mencoreng-moreng wajah kota Jakarta sebagai ibukota kebanggaan Republik Indonesia. Dan hal ini terus berulang-ulang tahun demi tahun.
Apabila kita cermati lebih jauh mengenai fakta di atas, dapat kita simpulkan bahwa daerah yang terkena dampak paling besar dari bencana alam adalah daerah kota. Mengapa bisa begitu? Tentunya apabila kita memahami dengan pola fikir yang dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa alam hanya bereaksi terhadap perubahan yang terjadi padanya, maka dapat kita simpulkan bahwa kota adalah suatu area dimana perubahan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia demi menyesuaikan kebutuhan hidupnya paling banyak terjadi. Daerah kota hanya mencakup 2% dari permukaan bumi, akan tetapi setengah dari jumlah populasi di dunia tinggal di kota-kota.
Kota, melalui aktivitas penghuninya, mengkonsumsi 80% energi yang dihasilkan dan mengeluarkan kurang lebih 50% emisi Greenhouse gas yang ada di bumi. Kota sejak awalnya didirikan sebagai pusat transaksi atau pertukaran antara konsumsi dan produksi. Hal ini terus berkembang sampai saat ini dimana kota-kota menjelma menjadi pusat-pusat ekonomi di setiap negara. Hanya saja “kekuatan” ekonomi suatu kota ini juga pada umumnya mengandung unsur ketidak-seimbangan dan sekaligus melupakan keterkaitannya dengan lingkungan alam sebagai asal muasal. Manusia begitu “serakah” dalam mengkondisikan kota demi keuntungan (ekonomi) semata sehingga seakan menganggap kota bukan lagi bagian dari bumi ini.
Mendiang Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya yang berjudul “Reformasi Perkotaan” menulis satu artikel yang berjudul “Kota-kota yang Terluka”. Pada alinea pembuka artikel tersebut, beliau mengungkapkan tentang fenomena “Urban Suicide” atau “Bunuh Diri Perkotaan” yang terjadi di sebagian besar kota-kota di Indonesia. Disebut bunuh diri karena itu seringkali dilakukan oleh pengelola kota itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintah kota, yang dengan berbagai kebijakannya justru malah merusak keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan perkotaan baik yang masih alami maupun yang sudah terbentuk menjadi lingkungan binaan. Disebut bunuh diri juga karena sebagian besar kebijakan-kebijakan itu dibuat dalam keadaan sadar akan dampaknya. Sehingga beliau pun menyindir dengan menyatakan bahwa beliau akan sangat terkejut apabila mengetahui ada yang merasa terkejut akan terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana alam yang menimpa kota-kota di Indonesia.
Begitu pun kota-kota di negara maju sebenarnya telah merasakan dampaknya akibat kurangnya perhatian pada lingkungan alami pada pembangunan daerah perkotaan. Seperti misalnya pengembangan kota Kowloon di Hongkong pada akhir abad ke 20 yang kemudian pada akhirnya menjadi sangat padat dan tidak manusiawi sebelum akhirnya dihancurkan dan dibangun ulang. Proses untuk membangun ulang tidaklah sedikit, belum lagi kerugian yang ditimbulkan pada saat kota tersebut masih dihuni. Oleh karena itu para pakar perencana kota sejak beberapa puluh tahun yang lalu pun sudah mengembangkan berbagai macam konsep pengembangan kota yang lebih baik.
Mulai dari konsep Garden City (Kota Taman) di awal abad 20 yang digagas oleh Sir Ebenezer Howard untuk pengembangan sebuah kota yang penuh dengan penghijauan dalam bentuk taman yang asri dan indah yang ditujukan sebenarnya sebagai tempat tinggal para pekerja yang menjadi “tulang punggung” Revolusi Industri saat itu. Sayangnya konsep ini kemudian dikembangkan menjadi konsep lingkungan yang mewah dan penuh dengan keindahan yang kemudian menjadi sesuatu yang mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat kota pada umumnya.
Kemudian seiring dengan digagasnya konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan alam dan sumberdayanya bagi generasi masa depan, berkembang pula konsep-konsep pengembangan kota seperti Sustainable City (Kota Berkelanjutan), Intelligence City (Kota Pintar), Eco-City (Kota Ekologis), Waterfront City (Kota Tepian Air), Green City (Kota Hijau), dan sebagainya, yang pada intinya memberikan perhatian yang lebih pada lingkungan alami, baik melalui pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif dan efisien, penataan kota dan guna lahan yang lebih baik, penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan. Konsep-konsep ini telah banyak diterapkan di kota-kota di negara-negara maju yang notabene pada awalnya banyak melakukan kesalahan pada konsep pengembangan kotanya.
Sehingga kemudian perlahan kota-kota tersebut dapat mengurangi dampak negatif pengembangan kota pada lingkungan alami. Seperti misalnya Amsterdam yang mengkonsumsi air paling sedikit di seluruh dunia yaitu 146 liter per orang per hari, karena walaupun negara Belanda dialiri banyak sungai dan seperti tak pernah kekurangan air namun fakta bahwa negara tersebut terletak di bawah permukaan air laut yang saat ini semakin meninggi akibat dari perubahan iklim menyebabkan terjadinya krisis air minum akibat dari berkurangnya air tanah. Contoh yang lain, saat ini level pencemaran udara di kota-kota di Eropa adalah 25% lebih rendah dari kota-kota di Amerika Latin dan 50% lebih rendah dari kota-kota di Asia. Hal ini berkebalikan dari kondisi pada awal abad ke 20. Fakta yang tak kalah mengejutkan, bahwa kota San Francisco and Los Angeles telah berhasil mendaur-ulang sebanyak 77% dan 62% dari produksi sampah mereka dengan baik.
Namun di lain pihak, lingkungan alam adalah satu kesatuan jaringan yang pada akhirnya saling mempengaruhi dalam skala planet bumi. Sementara dampak negatif yang diakibatkan oleh pengembangan kota-kota di negara maju masih terus dirasakan oleh penduduk bumi secara keseluruhan, misalnya fenomena Global Warming (Pemanasan Global) yang merupakan hasil dari pola pembangunan pada berpuluh-puluh tahun yang lalu, kota-kota di negara berkembang yang saat ini secara drastis mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti tidak pernah belajar atas kesalahan yang dibuat oleh kota-kota di negara maju sebelumnya. Ketika pertumbuhan ekonomi memicu pembangunan infrastruktur kota yang terjadi kemudian adalah penerjemahan konsep-konsep pengembangan kota tadi dalam bentuk angka-angka perhitungan ekonomi dan menghasilkan pembangunan-pembangunan fisik yang tak jarang merupakan metode instant dalam pengembangan kota. Dan akhirnya hanya kembali untuk memenuhi kebutuhan manusia belaka.
Seperti misalnya konsep “Kota Hijau” yang saat ini sedang getol dikembangkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia melalui Kementrian Pekerjaan Umum yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi dan Kota di seluruh Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Konsep ini pada prinsipnya adalah sebuah konsep kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan pengefisiensian sumber daya alam dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya lingkungan yang sehat, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan. Ada delapan elemen didalamnya yaitu Green Planning and Design, Green Community, Green Energy, Green Transportation, Green Building, Green Open Space, Green Water, dan Green Waste. Atau dengan kata lain, kota yang berdasarkan pada perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Sayangnya pelaksanaan konsep “Kota Hijau” ini kemudian cenderung mengutamakan pembangunan infrastruktur Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau taman, sehingga muncul proyek pembuatan taman-taman yang kemungkinan besar tidak dibutuhkan dan tidak dimanfaatkan masyarakat. Walaupun ada elemen sosialisasi dan pembentukan komunitas, kegiatan-kegiatan tersebut sepertinya akan bersifat ceremonial belaka dan mudah terlupakan. Kenapa bisa begitu? Karena penerapan konsep ini belum dilakukan secara menyeluruh, baru merupakan proyek Kementrian PU saja. Sementara Kementerian lain pun menciptakan konsep-konsep yang lain seperti Kota Batik, Kota Sehat, dan sebagainya. Penerapan konsep untuk pengembangan kota seharusnya dari awal merupakan suatu konsep yang lintas bidang.
Seperti misalnya yang diterapkan oleh pemerintah Singapura dengan membuat suatu kerjasama antara Kementrian Pariwisata, Kementrian Ekonomi, dan Badan Perencanaan Kota dalam membuat dan mengimplementasikan konsep pengembangan kawasan Orchard Road. Begitu pula seperti yang dilakukan pemerintah kota Kitakyushu dalam mengembangkan konsep Eco-Town yang melibatkan pemerintah kota, universitas-universitas, dan perusahaan-perusahaan swasta untuk bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan mulai dari pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat sampai dengan pengelolaan sampah terpadu.
Oleh karena itu, penerapan konsep “Kota Hijau” tidak bisa sepenuhnya bergantung pada peningkatan kuantitas luasan RTH tapi harus didukung oleh perubahan menuju perilaku dan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan keramahan terhadap lingkungan. Mulai dari inisiatif sederhana seperti penanggulangan sampah, hingga program sosialisasi, edukasi dan diskusi yang meningkatkan wawasan serta kesadaran untuk menjaga lingkungan. Komunitas masyarakat, dari strata terkecil yaitu keluarga, RT, RW dan desa juga harus dilibatkan. Semua unsur masyarakat ini harus bergerak menerapkan gaya hidup hijau dan ramah lingkungan.RTH 30 persen tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya masih juga membuang sampah sembarangan. Dan tidak juga akan tercapai apabila pemerintah tidak membuat suatu sistem manajemen sampah yang terpadu dan berjalan dengan baik.
RTH 30 persen juga tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya dalam berkomuting masih memilih menggunakan kendaraan pribadi secara tidak bijaksana. Dan tidak juga akan tercapai apabila pemerintah tidak menyediakan suatu fasilitas transportasi massal yang nyaman dan reliable. Sekali lagi, RTH 30 persen tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya masih tidak hemat energi, baik listrik maupun BBM (Bahan Bakar Minyak). Dan sudah pasti tidak akan dapat tercapai apabila pemerintah tidak menyediakan dan memasyarakatan alternatif sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kembali ke isu awal mengenai perubahan iklim dan bencana-bencana alam yang muncul sebagai bentuk reaksi dari lingkungan alami, saat ini sedang berkembang pula gagasan mengenai suatu konsep pengembangan kota yang baru, yaitu Resilient City (Kota Tangguh). Konsep “Kota Tangguh” ini pada dasarnya berarti bahwa suatu kota akan siap menghadapi perubahan yang sedang dan akan terjadi dengan meminimalisir perubahan dan dampak yang akan ditimbulkan. Untuk menerapkan konsep ini diperlukan strategi-strategi yaitu yang pertama perubahan pola pengelolaan listrik, air, dan sampah dari yang pada umumnya sekarang adalah secara terpusat dalam skala yang besar, menjadi dengan sistem pembagian dalam lingkungan-lingkungan yang berskala kecil.
Strategi yang kedua yaitu penerapan sistem pengelolaan sampah yang terpadu sehingga dapat menghasilkan produk daur ulang yang baik dan bahkan energi alternatif. Ini erat juga kaitannya dengan strategi yang ketiga yaitu pengenalan dan penggunaan energi yang dapat diperbarui seperti energi surya, angin, panas bumi, dan sebagainya sebagai pengganti energi yang berbahan dasar fosil. Kemudian strategi yang keempat adalah peningkatan dan pemeliharaan ruang terbuka hijau dan ekosistem lainnya sebagai sarana untuk mengurangi gas karbondioksida yang ada di udara. Ruang terbuka hijau ini juga sebaiknya memiliki manfaat lain, misalnya untuk urban farming (kebun kota) sebagai bagian dari strategi yang kelima yaitu menciptakan pasar-pasar tradisional yang dekat dengan tempat tinggal kita sehingga mengurangi energi yang terbuang akibat dari bertransportasi.
Berkaitan pula dengan strategi selanjutnya yang berupa penataan kota yang compact dan walkable, dalam artian segala fasilitas mudah dijangkau dengan berjalan kaki. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi energi yang digunakan ketika naik kendaraan bermotor sekaligus juga mengurangi emisi gas karbondioksida yang dihasilkan. Dan yang terakhir adalah penerapan sistem transportasi umum yang baik, tidak berpihak lagi kepada produsen kendaraan bermotor, akan tetapi pada hakikat masyarakat kota sebagai manusia yang “tunduk” pada lingkungan alami.
Sebagai pelengkap, namun tidak kalah penting, adalah mulai dikenalkan konsep manajemen resiko akibat bencana yang merupakan karakter dari konsep “Kota Tangguh”. Konsep ini dapat diterapkan melalui beberapa pendekatan yaitu pembentukan komunitas yang mandiri dan solid; pengelolaan komunitas tersebut dengan prinsip dari masyarakat, untuk masyarakat, dan oleh masyarakat sehingga benar-benar memahami situasi dan kondisi langsung di lapangan pada saat terjadinya bencana alam; serta penerapan teknologi dan pengetahuan yang tepat guna dan sasaran untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dimana teknologi ini tidaklah harus yang canggih dan mahal, akan tetapi bisa jadi merupakan teknologi yang bersumber dari pengetahuan dan kebiasaan masyarakat setempat. Langkah-langkah pendekatan seperti inilah yang menjadi kunci suksesnya penerapan konsep “Kota Tangguh”.
Ada tiga faktor kunci yaitu Institution (regulasi dan instansi), Infrastructure (sarana dan prasarana), dan Agent (perantara pembangunan). Yang menarik disini tidak ada lagi dikotomi pemerintah-masyarakat, subyek-obyek pembangunan, ataupun atas-bawah akan tetapi komponen pelaku pembangunan itu telah melebur dalam satu bentuk yaitu perantara pembangunan. Pemerintah adalah masyarakat, masyarakat adalah pemerintah. Atas adalah bawah, bawah adalah atas.
Menurut mendiang Prof. Eko Budihardjo, pembangunan yang berkelanjutan mencakup 10E sebagai berikut Ecological Balance (keseimbangan ekologis), Employment (penyediaan lapangan kerja), Empowerment (pemberdayaan masyarakat), Enforcement (penegakan hukum), Engagement (pelibatan swasta), Enjoyment (kenyamanan warga), Ethics of Development (etika pembangunan), Equity (keadilan), Energy Conservation (konservasi energi), dan Environmental Aesthetic (estetika lingkungan) .
Kita bisa lihat bahwa dari kesepuluh faktor di atas, hanya tiga yang berhubungan dengan lingkungan alami secara langsung. Sisanya mengacu pada kondisi sosial, ekonomi, budaya bahkan aspek hukum dalam masyarakat perkotaan.Namun sekali lagi, apapun konsep pengembangan suatu kota, apabila tidak benar-benar dipahami sebagai suatu entitas yang menyeluruh dan mendasar dengan melihat the bigger picture yaitu kota sebagai bagian dari lingkungan alami, bukan alat ataupun mesin pencetak uang manusia, maka dapat dipastikan bahwa alam akan mengambil alih proses daur ulang kehidupan. Seleksi alam akan berulang kembali berupa bencana-bencana alam yang silih berganti. Manusia, jika tetap sombong, hanya akan menyesal di kemudian hari. Yakin mau menyesal?
Penulis : Fritz Akhmad Nuzir Ph.D ( Dosen Arsitektur FT UBL, Alumnus Kitakyushu University)
Emisi dari karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen di dunia meningkat dari 22,6 milyar ton pada tahun 1990 menjadi kurang lebih 31 milyar ton pada tahun 2007 atau dengan kata lain, meningkat tajam sebanyak 37 persen. “Fenomena” pembakaran hutan yang mencapai sekitar 13 juta hektar setiap tahunnya, juga menambah 6,5 milyar ton karbondioksida yang dilepas ke atmosfer per tahunnya. Lagi-lagi negara-negara di Asia berperan besar dalam “prestasi” ini. Di Pulau Sumatera, Indonesia, telah terjadi penurunan luasan hutan tropis yang sangat signifikan dari 21,12 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 13,58 juta hektar pada tahun 2010 akibat dari pembakaran hutan. Apabila hal ini terus berlanjut dengan pola yang sama seperti ini maka kurang dari 20 tahun yang akan datang, hutan tropis di Sumatera mungkin sudah tidak ada lagi.
Melihat fakta-fakta di atas, tidaklah mengejutkan ketika kemudian perubahan-perubahan pada alam tersebut memicu perubahan pada iklim dan terjadinya bencana-bencana alam di sebagian besar negara-negara Asia pada satu dekade terakhir ini. Dimulai pada tahun 2004 dimana gempa bumi sebesar 9 skala Richter yang diikuti oleh gelombang tsunami yang dahsyat, menyapu habis beberapa pantai-pantai di Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand. Kemudian pada tahun 2006, gempa bumi yang besar terjadi lagi di Indonesia dan kali ini diikuti oleh letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Pada bulan Februari 2007, banjir di Jakarta menyebabkan sebanyak 340.000 orang kehilangan tempat tinggalnya.
Nasib yang tak jauh berbeda di alami oleh negara-negara tetangga kita. Pada tahun 2008, cyclone (angin topan) Nargis menghantam Myanmar dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa manusia. Satu tahun berikutnya “giliran” kota Padang yang diluluh-lantakkan oleh gempa bumi, sementara hampir di saat yang bersamaan, banjir dan angin topan menerpa Manila dan beberapa kota lain di Filipina. Kemudian di tahun 2010 dan 2011, rangkaian peristiwa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung merapi, tanah longsor, badai, dan angin topan secara bergantian melanda Vietnam, Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Filipina. Bahkan pada tanggal 11 November 2013 yang lalu, kota Tacloban di Filipina hancur lebur akibat angin topan Haiyan yang sangat besar dan gelombang laut yang terjadinya karena angin tersebut. Lebih dari 3.000 jiwa manusia hilang dan ini masih mungkin akan bertambah. Baru-baru saja malah kita kembali menyaksikan betapa banjir mencoreng-moreng wajah kota Jakarta sebagai ibukota kebanggaan Republik Indonesia. Dan hal ini terus berulang-ulang tahun demi tahun.
Apabila kita cermati lebih jauh mengenai fakta di atas, dapat kita simpulkan bahwa daerah yang terkena dampak paling besar dari bencana alam adalah daerah kota. Mengapa bisa begitu? Tentunya apabila kita memahami dengan pola fikir yang dikemukakan di awal tulisan ini, bahwa alam hanya bereaksi terhadap perubahan yang terjadi padanya, maka dapat kita simpulkan bahwa kota adalah suatu area dimana perubahan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia demi menyesuaikan kebutuhan hidupnya paling banyak terjadi. Daerah kota hanya mencakup 2% dari permukaan bumi, akan tetapi setengah dari jumlah populasi di dunia tinggal di kota-kota.
Kota, melalui aktivitas penghuninya, mengkonsumsi 80% energi yang dihasilkan dan mengeluarkan kurang lebih 50% emisi Greenhouse gas yang ada di bumi. Kota sejak awalnya didirikan sebagai pusat transaksi atau pertukaran antara konsumsi dan produksi. Hal ini terus berkembang sampai saat ini dimana kota-kota menjelma menjadi pusat-pusat ekonomi di setiap negara. Hanya saja “kekuatan” ekonomi suatu kota ini juga pada umumnya mengandung unsur ketidak-seimbangan dan sekaligus melupakan keterkaitannya dengan lingkungan alam sebagai asal muasal. Manusia begitu “serakah” dalam mengkondisikan kota demi keuntungan (ekonomi) semata sehingga seakan menganggap kota bukan lagi bagian dari bumi ini.
Mendiang Prof. Eko Budihardjo dalam bukunya yang berjudul “Reformasi Perkotaan” menulis satu artikel yang berjudul “Kota-kota yang Terluka”. Pada alinea pembuka artikel tersebut, beliau mengungkapkan tentang fenomena “Urban Suicide” atau “Bunuh Diri Perkotaan” yang terjadi di sebagian besar kota-kota di Indonesia. Disebut bunuh diri karena itu seringkali dilakukan oleh pengelola kota itu sendiri, dalam hal ini adalah pemerintah kota, yang dengan berbagai kebijakannya justru malah merusak keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan perkotaan baik yang masih alami maupun yang sudah terbentuk menjadi lingkungan binaan. Disebut bunuh diri juga karena sebagian besar kebijakan-kebijakan itu dibuat dalam keadaan sadar akan dampaknya. Sehingga beliau pun menyindir dengan menyatakan bahwa beliau akan sangat terkejut apabila mengetahui ada yang merasa terkejut akan terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana alam yang menimpa kota-kota di Indonesia.
Begitu pun kota-kota di negara maju sebenarnya telah merasakan dampaknya akibat kurangnya perhatian pada lingkungan alami pada pembangunan daerah perkotaan. Seperti misalnya pengembangan kota Kowloon di Hongkong pada akhir abad ke 20 yang kemudian pada akhirnya menjadi sangat padat dan tidak manusiawi sebelum akhirnya dihancurkan dan dibangun ulang. Proses untuk membangun ulang tidaklah sedikit, belum lagi kerugian yang ditimbulkan pada saat kota tersebut masih dihuni. Oleh karena itu para pakar perencana kota sejak beberapa puluh tahun yang lalu pun sudah mengembangkan berbagai macam konsep pengembangan kota yang lebih baik.
Mulai dari konsep Garden City (Kota Taman) di awal abad 20 yang digagas oleh Sir Ebenezer Howard untuk pengembangan sebuah kota yang penuh dengan penghijauan dalam bentuk taman yang asri dan indah yang ditujukan sebenarnya sebagai tempat tinggal para pekerja yang menjadi “tulang punggung” Revolusi Industri saat itu. Sayangnya konsep ini kemudian dikembangkan menjadi konsep lingkungan yang mewah dan penuh dengan keindahan yang kemudian menjadi sesuatu yang mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat kota pada umumnya.
Kemudian seiring dengan digagasnya konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) yang menekankan pentingnya kelestarian lingkungan alam dan sumberdayanya bagi generasi masa depan, berkembang pula konsep-konsep pengembangan kota seperti Sustainable City (Kota Berkelanjutan), Intelligence City (Kota Pintar), Eco-City (Kota Ekologis), Waterfront City (Kota Tepian Air), Green City (Kota Hijau), dan sebagainya, yang pada intinya memberikan perhatian yang lebih pada lingkungan alami, baik melalui pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif dan efisien, penataan kota dan guna lahan yang lebih baik, penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan. Konsep-konsep ini telah banyak diterapkan di kota-kota di negara-negara maju yang notabene pada awalnya banyak melakukan kesalahan pada konsep pengembangan kotanya.
Sehingga kemudian perlahan kota-kota tersebut dapat mengurangi dampak negatif pengembangan kota pada lingkungan alami. Seperti misalnya Amsterdam yang mengkonsumsi air paling sedikit di seluruh dunia yaitu 146 liter per orang per hari, karena walaupun negara Belanda dialiri banyak sungai dan seperti tak pernah kekurangan air namun fakta bahwa negara tersebut terletak di bawah permukaan air laut yang saat ini semakin meninggi akibat dari perubahan iklim menyebabkan terjadinya krisis air minum akibat dari berkurangnya air tanah. Contoh yang lain, saat ini level pencemaran udara di kota-kota di Eropa adalah 25% lebih rendah dari kota-kota di Amerika Latin dan 50% lebih rendah dari kota-kota di Asia. Hal ini berkebalikan dari kondisi pada awal abad ke 20. Fakta yang tak kalah mengejutkan, bahwa kota San Francisco and Los Angeles telah berhasil mendaur-ulang sebanyak 77% dan 62% dari produksi sampah mereka dengan baik.
Namun di lain pihak, lingkungan alam adalah satu kesatuan jaringan yang pada akhirnya saling mempengaruhi dalam skala planet bumi. Sementara dampak negatif yang diakibatkan oleh pengembangan kota-kota di negara maju masih terus dirasakan oleh penduduk bumi secara keseluruhan, misalnya fenomena Global Warming (Pemanasan Global) yang merupakan hasil dari pola pembangunan pada berpuluh-puluh tahun yang lalu, kota-kota di negara berkembang yang saat ini secara drastis mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti tidak pernah belajar atas kesalahan yang dibuat oleh kota-kota di negara maju sebelumnya. Ketika pertumbuhan ekonomi memicu pembangunan infrastruktur kota yang terjadi kemudian adalah penerjemahan konsep-konsep pengembangan kota tadi dalam bentuk angka-angka perhitungan ekonomi dan menghasilkan pembangunan-pembangunan fisik yang tak jarang merupakan metode instant dalam pengembangan kota. Dan akhirnya hanya kembali untuk memenuhi kebutuhan manusia belaka.
Seperti misalnya konsep “Kota Hijau” yang saat ini sedang getol dikembangkan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia melalui Kementrian Pekerjaan Umum yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi dan Kota di seluruh Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Konsep ini pada prinsipnya adalah sebuah konsep kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan pengefisiensian sumber daya alam dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya lingkungan yang sehat, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan. Ada delapan elemen didalamnya yaitu Green Planning and Design, Green Community, Green Energy, Green Transportation, Green Building, Green Open Space, Green Water, dan Green Waste. Atau dengan kata lain, kota yang berdasarkan pada perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Sayangnya pelaksanaan konsep “Kota Hijau” ini kemudian cenderung mengutamakan pembangunan infrastruktur Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau taman, sehingga muncul proyek pembuatan taman-taman yang kemungkinan besar tidak dibutuhkan dan tidak dimanfaatkan masyarakat. Walaupun ada elemen sosialisasi dan pembentukan komunitas, kegiatan-kegiatan tersebut sepertinya akan bersifat ceremonial belaka dan mudah terlupakan. Kenapa bisa begitu? Karena penerapan konsep ini belum dilakukan secara menyeluruh, baru merupakan proyek Kementrian PU saja. Sementara Kementerian lain pun menciptakan konsep-konsep yang lain seperti Kota Batik, Kota Sehat, dan sebagainya. Penerapan konsep untuk pengembangan kota seharusnya dari awal merupakan suatu konsep yang lintas bidang.
Seperti misalnya yang diterapkan oleh pemerintah Singapura dengan membuat suatu kerjasama antara Kementrian Pariwisata, Kementrian Ekonomi, dan Badan Perencanaan Kota dalam membuat dan mengimplementasikan konsep pengembangan kawasan Orchard Road. Begitu pula seperti yang dilakukan pemerintah kota Kitakyushu dalam mengembangkan konsep Eco-Town yang melibatkan pemerintah kota, universitas-universitas, dan perusahaan-perusahaan swasta untuk bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan mulai dari pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat sampai dengan pengelolaan sampah terpadu.
Oleh karena itu, penerapan konsep “Kota Hijau” tidak bisa sepenuhnya bergantung pada peningkatan kuantitas luasan RTH tapi harus didukung oleh perubahan menuju perilaku dan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan keramahan terhadap lingkungan. Mulai dari inisiatif sederhana seperti penanggulangan sampah, hingga program sosialisasi, edukasi dan diskusi yang meningkatkan wawasan serta kesadaran untuk menjaga lingkungan. Komunitas masyarakat, dari strata terkecil yaitu keluarga, RT, RW dan desa juga harus dilibatkan. Semua unsur masyarakat ini harus bergerak menerapkan gaya hidup hijau dan ramah lingkungan.RTH 30 persen tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya masih juga membuang sampah sembarangan. Dan tidak juga akan tercapai apabila pemerintah tidak membuat suatu sistem manajemen sampah yang terpadu dan berjalan dengan baik.
RTH 30 persen juga tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya dalam berkomuting masih memilih menggunakan kendaraan pribadi secara tidak bijaksana. Dan tidak juga akan tercapai apabila pemerintah tidak menyediakan suatu fasilitas transportasi massal yang nyaman dan reliable. Sekali lagi, RTH 30 persen tidak menjamin tercapainya konsep “Kota Hijau” apabila masyarakatnya masih tidak hemat energi, baik listrik maupun BBM (Bahan Bakar Minyak). Dan sudah pasti tidak akan dapat tercapai apabila pemerintah tidak menyediakan dan memasyarakatan alternatif sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kembali ke isu awal mengenai perubahan iklim dan bencana-bencana alam yang muncul sebagai bentuk reaksi dari lingkungan alami, saat ini sedang berkembang pula gagasan mengenai suatu konsep pengembangan kota yang baru, yaitu Resilient City (Kota Tangguh). Konsep “Kota Tangguh” ini pada dasarnya berarti bahwa suatu kota akan siap menghadapi perubahan yang sedang dan akan terjadi dengan meminimalisir perubahan dan dampak yang akan ditimbulkan. Untuk menerapkan konsep ini diperlukan strategi-strategi yaitu yang pertama perubahan pola pengelolaan listrik, air, dan sampah dari yang pada umumnya sekarang adalah secara terpusat dalam skala yang besar, menjadi dengan sistem pembagian dalam lingkungan-lingkungan yang berskala kecil.
Strategi yang kedua yaitu penerapan sistem pengelolaan sampah yang terpadu sehingga dapat menghasilkan produk daur ulang yang baik dan bahkan energi alternatif. Ini erat juga kaitannya dengan strategi yang ketiga yaitu pengenalan dan penggunaan energi yang dapat diperbarui seperti energi surya, angin, panas bumi, dan sebagainya sebagai pengganti energi yang berbahan dasar fosil. Kemudian strategi yang keempat adalah peningkatan dan pemeliharaan ruang terbuka hijau dan ekosistem lainnya sebagai sarana untuk mengurangi gas karbondioksida yang ada di udara. Ruang terbuka hijau ini juga sebaiknya memiliki manfaat lain, misalnya untuk urban farming (kebun kota) sebagai bagian dari strategi yang kelima yaitu menciptakan pasar-pasar tradisional yang dekat dengan tempat tinggal kita sehingga mengurangi energi yang terbuang akibat dari bertransportasi.
Berkaitan pula dengan strategi selanjutnya yang berupa penataan kota yang compact dan walkable, dalam artian segala fasilitas mudah dijangkau dengan berjalan kaki. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi energi yang digunakan ketika naik kendaraan bermotor sekaligus juga mengurangi emisi gas karbondioksida yang dihasilkan. Dan yang terakhir adalah penerapan sistem transportasi umum yang baik, tidak berpihak lagi kepada produsen kendaraan bermotor, akan tetapi pada hakikat masyarakat kota sebagai manusia yang “tunduk” pada lingkungan alami.
Sebagai pelengkap, namun tidak kalah penting, adalah mulai dikenalkan konsep manajemen resiko akibat bencana yang merupakan karakter dari konsep “Kota Tangguh”. Konsep ini dapat diterapkan melalui beberapa pendekatan yaitu pembentukan komunitas yang mandiri dan solid; pengelolaan komunitas tersebut dengan prinsip dari masyarakat, untuk masyarakat, dan oleh masyarakat sehingga benar-benar memahami situasi dan kondisi langsung di lapangan pada saat terjadinya bencana alam; serta penerapan teknologi dan pengetahuan yang tepat guna dan sasaran untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dimana teknologi ini tidaklah harus yang canggih dan mahal, akan tetapi bisa jadi merupakan teknologi yang bersumber dari pengetahuan dan kebiasaan masyarakat setempat. Langkah-langkah pendekatan seperti inilah yang menjadi kunci suksesnya penerapan konsep “Kota Tangguh”.
Ada tiga faktor kunci yaitu Institution (regulasi dan instansi), Infrastructure (sarana dan prasarana), dan Agent (perantara pembangunan). Yang menarik disini tidak ada lagi dikotomi pemerintah-masyarakat, subyek-obyek pembangunan, ataupun atas-bawah akan tetapi komponen pelaku pembangunan itu telah melebur dalam satu bentuk yaitu perantara pembangunan. Pemerintah adalah masyarakat, masyarakat adalah pemerintah. Atas adalah bawah, bawah adalah atas.
Menurut mendiang Prof. Eko Budihardjo, pembangunan yang berkelanjutan mencakup 10E sebagai berikut Ecological Balance (keseimbangan ekologis), Employment (penyediaan lapangan kerja), Empowerment (pemberdayaan masyarakat), Enforcement (penegakan hukum), Engagement (pelibatan swasta), Enjoyment (kenyamanan warga), Ethics of Development (etika pembangunan), Equity (keadilan), Energy Conservation (konservasi energi), dan Environmental Aesthetic (estetika lingkungan) .
Kita bisa lihat bahwa dari kesepuluh faktor di atas, hanya tiga yang berhubungan dengan lingkungan alami secara langsung. Sisanya mengacu pada kondisi sosial, ekonomi, budaya bahkan aspek hukum dalam masyarakat perkotaan.Namun sekali lagi, apapun konsep pengembangan suatu kota, apabila tidak benar-benar dipahami sebagai suatu entitas yang menyeluruh dan mendasar dengan melihat the bigger picture yaitu kota sebagai bagian dari lingkungan alami, bukan alat ataupun mesin pencetak uang manusia, maka dapat dipastikan bahwa alam akan mengambil alih proses daur ulang kehidupan. Seleksi alam akan berulang kembali berupa bencana-bencana alam yang silih berganti. Manusia, jika tetap sombong, hanya akan menyesal di kemudian hari. Yakin mau menyesal?
Penulis : Fritz Akhmad Nuzir Ph.D ( Dosen Arsitektur FT UBL, Alumnus Kitakyushu University)
0 Response to "Kota Sebagai Entitas Lingkungan yang Berkelanjutan"
Post a Comment