Mari Lestarikan Perang
Tuesday, April 26, 2016
Add Comment
KAMPUNG kami yang permai, punya trikotomi anak-anak yang bukan saja ekslusif, sesekali juga sering tawuran. Namun demikian, perang antargolongan di kampung kami, menjadi keindahan atas rajutan perbedaan. Penegas sikap dan keberpihakan. Sebab, tak pernah ada luka fisik secara serius. Meski tubuh sangat letih setelah perang.
Perang yang kami sebut sebagai pengejawantah harga diri, penetapan atas siapa yang kuat dan golongan paling berkuasa, dilakukan secara bergerombol dan menjadikan sawah sebagai medan perang. Musim perang bagi anak-anak di kampung kami adalah ketika memasuki musim penghujan.
Sebagai daerah yang struktur tanahnya tadah hujan, tidak punya sungai yang besar dan buruknya saluran irigasi, sawah di kampung kami hanya bisa menanam padi setahun sekali. Yaitu ketika masuk musim penghujan. Dimana penentuan saat musim tanam, mulai meluku tanah dan atau kapan saat berpalawija, tetua di kampung kami sangat waskita membaca arah musim dengan sekadar bersandar atas rasi bintang atau hembusan angin.
Dipilihnya musim penghujan untuk waktu berperang bukan tanpa alasan. Semua sadar diri, tak boleh merusak tanaman namun sah jika mesti mencuri segala macam buah-buahan. Terutama untuk anak yang kerjaannya menggembala sapi dan kambing, anak yang menjadikan ladang sebagai tempat bermain atau anak yang begadang untuk tiba'an. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya.
Artinya, jika kehausan, bisa memanjat pohon kelapa untuk memetik dugan. Bisa mengambil jagung, mencabut singkong atau memetik pisang di pinggir-pinggir gubuk petani yang ada di tengah-tengah ladang. Semua sah dan halal. Empunya tanaman juga tak keberatan, bahkan seringkali ikut menikmatinya seraya menawarkan air kendi yang luar bias segar ketika tiba-tiba dia memergoki anak-anak memanen tanamannya. Memberikan air minum juga dimaksudkan agar jangan ditambah memetik dugan walaupun tak diucapkan. Tidak marahnya para petani di kampung kami tentu bukan tanpa alasan. Sebab, semua sewajarnya dan tidak ada pengambilan yang melebihi batas. Cukup sekadar kenyang atau penghilang dahaga. Sehingga dapat disebut, tidak ada kelaparan di kampung kami.
Waktu berangkat ke medan perang, senjata kami adalah tanah liat. Atau tanah basah yang bisa dibuat kepalan-kepalan. Cukup bisa membuat anak yang terlempar ulu hatinya sujud tersungkur dan nyaris pingsan. Namun kami punya aturan yang sudah disepakati, tak boleh melempar punggung lebih dari sekali. Bisa dibayangkan, tanah liat yang dikepal sebesar bola kasti, dilemparkan sekuat tenaga dan tepat di punggung.
Buk. Aghkh...rasa ampek dan sesaknya, seketika membuat badan meloyet ke belakang. Biasanya langsung jatuh, menjadi tahanan atau tetap lari agar tidak ditangkap. Meski tak dilempar lagi, namun kebanyakan, yang terlempar punggungnya akan tertangkap, menjadi tahanan untuk kemudian bisa menetapkan hitungan siapa yang layak disebut pemenang dan siapa sang pecundang. Ada juga yang sudah terlempar punggungnya, demi menjaga martabat golongan, menahan sakit dan berhasil kabur ke arah perkampungan yang sudah pasti tidak dikejar.
Tiga kelompok anak-anak di kampung kami, terbagi atas kluster dengan sebutan, anak-anak masjid, anak-anak pasar dan anak-anak oblo.
Trikotomi ini kemudian menjadi gerombolan-gerombolan yang saling tidak berteman, baik dalam permainan maupun ketika di sekolah. Semua arena jadi tempat permusuhan. Menuju perang besar-besaran. Bermusuhannya di sekolah, saling berebut untuk jadi rengking sebelum kenal apa itu istilah kurikulum 2013 yang tematik dan membunuh arena persaingan pelajar.
Permusuhan itu kemudian menjadi semacam ideologi, benar-benar kebencian akut yang tak ada tempat untuk berusaha membuka pertemanan antarketiga kluster. Tidak ada alasan yang jelas. Dan itu terjadi sampai saat ini. Menariknya, arena perang kanak-kanak kami sudah jadi perumahan atau pemukiman penduduk, sehingga perang yang dilakukan meningkat, bukan sekadar saling lempar tanah yang dikepal seukuran bola-bola kasti. Melainkan adu balap sepeda motor, sampai tawuran yang sebenarnya. Tawuran para bandit dan mafia, pakai parang, menggunakan senpi rakitan, hingga saling gebuk, muncrat darah dari hidung dan bibirnya.
Tidak ada lagi akting macam film-film kolosal yang dari tapak tangannya keluar api dan dijarak empat meter lawannya sudah teriak akghh...panas, panas, atau pura-pura terjatuh. Lalu yang mengeluarkan ilmu kanuragan layaknya Brama Kumbara seperti tetap menahan nafas dan berkata. "Kau harus menyerah kisanak, atau ilmu brajamusti ini akan membakarmu, huph..hiaattt..."
Tidak ada lagi peperangan macam itu. Saat ini yang ada adalah kebiadaban, saling menonjok, membacok dan melukai secara sadis.
Dulu, ketika ada tragedi seorang anak yang jadi tahanan dan mengeluarkan darah dari hidungnya secara deras, meski itu mimisan, bukan karena pukulan atau penganiayaan lain, semua anak sudah ketakutan. Bersama-sama mengantarkan anak itu pulang ke rumahnya. Dimana ibunya kemudian dengan santai menyumpal kapas dan mewanti-wanti, jangan disedot. Jangan bernafas lewat hidung sembari menjewer. Semua damai, semua indah. Meski sering juga merasa cemas dan ketakutan akibat benih-benih permusuhan macam itu. Terutama ketika ke pasar sendirian atau mancing di kali tanpa teman.
Permusuhan antara anak masjid, anak pasar dan anak oblo sepertinya sudah mendarah daging. Ternyata, baru saat ini semua anak yang sudah punya anak-anak dan telah mencair dan saling menikah lintas kluster itu, paham. Bintik permusuhan itu punya landasan teologis.
Yakni, anak masjid berpaham teistik, anak oblo penganut agnostik, serta anak pasar mengklaim ateistik. Keyakinan atas percaya pada Tuhan (anak masjid), tidak hirau akan adanya Tuhan (anak oblo) serta memberi penyangkalan atas adanya Tuhan (anak pasar) adalah kunci peperangan yang diyakini membela kebenaran.
Tiga kluster sosial dengan memupuk isme-isme itu, diyakini anak-anak sejak dulu tanpa disadari dan perlahan, menjadi bentuk pembenaran atas laku kekerasan, saling menyerang dengan sangat sadis.
Kampung kami, tiba-tiba berubah menjadi medan perang. Saling berebut pengikut, saling menyakiti lawan, dan anak-anak menjadi semacam pasukan yang secara laten, kehilangan rasa estetik atas kehidupan desa. Kedamaian eklektik serta menjalani tenggang rasa secara sadar.
Memang, belum pernah ada tragedi saling bunuh atau saling melukai hanya berbasis konflik teistik, agnostik dan ateistik. Namun demikian, di kampung kami pernah ada upaya saling serang, bahkan menimbulkan korban nyawa dengan sangat sadis. Kepala dipenggal, kuping diiris dan rumah dibakar. Ada juga yang mengalungkan ban, disiram bensin lalu dibakar dengan ditonton ratusan orang tanpa rasa iba. Ketika melihat runtutan data dan rekaman kejadian itu, ternyata tidak ada satupun anak yang pernah mengalami perang di sawah dengan senjata tanah untuk saling lempar.
Nyaris semua penyerang dan yang diserang hingga berakibat muncratnya darah-darah yang sangat mengerikan itu, punya televisi dan tak asing dengan berita-berita kriminal. Mereka, tidak kenal lagi setiap pagi membuka toko bagi anak pasar, memandikan sapi untuk anak oblo dan sibuk menghafalkan ayat bagi anak masjid. Secara kluster, kampung kami menjadi sedikit cair, namun ketika saling tersinggung, menggumpal dengan dalih perbedaan golongan. Tega untuk menyakiti tubuh lawan.
Perang di masa kanak-kanak, sepertinya penting dilestarikan. Sebab, setelah tidak ada peperangan di areal sawah menjelang musim tanam padi itu, berbagai tragedi dan sangat biadap kian sering terjadi di kampung kami.
Kampung kami yang sangat permai dan tentram di bawah tahun 2000an. Kini semua anak-anaknya sudah pandai pakai sepeda motor, punya ponsel pintar, akrab dengan video tanpa sensor. Para orang tua, mulai lupa tradisi perang di kampung kami karena ikut-ikutan sibuk shelfie dan terus-menerus meratapi kesulitan hidup.
Baru kejadian, anak sekecil itu, berani menusuk punggung temannya dengan lebih 70 hujaman sajam sampai tewas. Lalu bebas atau dihukumnya pelaku, tidak menyelesaikan persoalan sepanjang tidak ada upaya membumikan kesadaran, boleh berbeda dan berperang, tanpa boleh melukai. Kemudian setelah lelah, saling pijit dan sama-sama menyantap singkong bakar. (*)
Penulis : Endri Y
Perang yang kami sebut sebagai pengejawantah harga diri, penetapan atas siapa yang kuat dan golongan paling berkuasa, dilakukan secara bergerombol dan menjadikan sawah sebagai medan perang. Musim perang bagi anak-anak di kampung kami adalah ketika memasuki musim penghujan.
Sebagai daerah yang struktur tanahnya tadah hujan, tidak punya sungai yang besar dan buruknya saluran irigasi, sawah di kampung kami hanya bisa menanam padi setahun sekali. Yaitu ketika masuk musim penghujan. Dimana penentuan saat musim tanam, mulai meluku tanah dan atau kapan saat berpalawija, tetua di kampung kami sangat waskita membaca arah musim dengan sekadar bersandar atas rasi bintang atau hembusan angin.
Dipilihnya musim penghujan untuk waktu berperang bukan tanpa alasan. Semua sadar diri, tak boleh merusak tanaman namun sah jika mesti mencuri segala macam buah-buahan. Terutama untuk anak yang kerjaannya menggembala sapi dan kambing, anak yang menjadikan ladang sebagai tempat bermain atau anak yang begadang untuk tiba'an. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya.
Artinya, jika kehausan, bisa memanjat pohon kelapa untuk memetik dugan. Bisa mengambil jagung, mencabut singkong atau memetik pisang di pinggir-pinggir gubuk petani yang ada di tengah-tengah ladang. Semua sah dan halal. Empunya tanaman juga tak keberatan, bahkan seringkali ikut menikmatinya seraya menawarkan air kendi yang luar bias segar ketika tiba-tiba dia memergoki anak-anak memanen tanamannya. Memberikan air minum juga dimaksudkan agar jangan ditambah memetik dugan walaupun tak diucapkan. Tidak marahnya para petani di kampung kami tentu bukan tanpa alasan. Sebab, semua sewajarnya dan tidak ada pengambilan yang melebihi batas. Cukup sekadar kenyang atau penghilang dahaga. Sehingga dapat disebut, tidak ada kelaparan di kampung kami.
Waktu berangkat ke medan perang, senjata kami adalah tanah liat. Atau tanah basah yang bisa dibuat kepalan-kepalan. Cukup bisa membuat anak yang terlempar ulu hatinya sujud tersungkur dan nyaris pingsan. Namun kami punya aturan yang sudah disepakati, tak boleh melempar punggung lebih dari sekali. Bisa dibayangkan, tanah liat yang dikepal sebesar bola kasti, dilemparkan sekuat tenaga dan tepat di punggung.
Buk. Aghkh...rasa ampek dan sesaknya, seketika membuat badan meloyet ke belakang. Biasanya langsung jatuh, menjadi tahanan atau tetap lari agar tidak ditangkap. Meski tak dilempar lagi, namun kebanyakan, yang terlempar punggungnya akan tertangkap, menjadi tahanan untuk kemudian bisa menetapkan hitungan siapa yang layak disebut pemenang dan siapa sang pecundang. Ada juga yang sudah terlempar punggungnya, demi menjaga martabat golongan, menahan sakit dan berhasil kabur ke arah perkampungan yang sudah pasti tidak dikejar.
Tiga kelompok anak-anak di kampung kami, terbagi atas kluster dengan sebutan, anak-anak masjid, anak-anak pasar dan anak-anak oblo.
Trikotomi ini kemudian menjadi gerombolan-gerombolan yang saling tidak berteman, baik dalam permainan maupun ketika di sekolah. Semua arena jadi tempat permusuhan. Menuju perang besar-besaran. Bermusuhannya di sekolah, saling berebut untuk jadi rengking sebelum kenal apa itu istilah kurikulum 2013 yang tematik dan membunuh arena persaingan pelajar.
Permusuhan itu kemudian menjadi semacam ideologi, benar-benar kebencian akut yang tak ada tempat untuk berusaha membuka pertemanan antarketiga kluster. Tidak ada alasan yang jelas. Dan itu terjadi sampai saat ini. Menariknya, arena perang kanak-kanak kami sudah jadi perumahan atau pemukiman penduduk, sehingga perang yang dilakukan meningkat, bukan sekadar saling lempar tanah yang dikepal seukuran bola-bola kasti. Melainkan adu balap sepeda motor, sampai tawuran yang sebenarnya. Tawuran para bandit dan mafia, pakai parang, menggunakan senpi rakitan, hingga saling gebuk, muncrat darah dari hidung dan bibirnya.
Tidak ada lagi akting macam film-film kolosal yang dari tapak tangannya keluar api dan dijarak empat meter lawannya sudah teriak akghh...panas, panas, atau pura-pura terjatuh. Lalu yang mengeluarkan ilmu kanuragan layaknya Brama Kumbara seperti tetap menahan nafas dan berkata. "Kau harus menyerah kisanak, atau ilmu brajamusti ini akan membakarmu, huph..hiaattt..."
Tidak ada lagi peperangan macam itu. Saat ini yang ada adalah kebiadaban, saling menonjok, membacok dan melukai secara sadis.
Dulu, ketika ada tragedi seorang anak yang jadi tahanan dan mengeluarkan darah dari hidungnya secara deras, meski itu mimisan, bukan karena pukulan atau penganiayaan lain, semua anak sudah ketakutan. Bersama-sama mengantarkan anak itu pulang ke rumahnya. Dimana ibunya kemudian dengan santai menyumpal kapas dan mewanti-wanti, jangan disedot. Jangan bernafas lewat hidung sembari menjewer. Semua damai, semua indah. Meski sering juga merasa cemas dan ketakutan akibat benih-benih permusuhan macam itu. Terutama ketika ke pasar sendirian atau mancing di kali tanpa teman.
Permusuhan antara anak masjid, anak pasar dan anak oblo sepertinya sudah mendarah daging. Ternyata, baru saat ini semua anak yang sudah punya anak-anak dan telah mencair dan saling menikah lintas kluster itu, paham. Bintik permusuhan itu punya landasan teologis.
Yakni, anak masjid berpaham teistik, anak oblo penganut agnostik, serta anak pasar mengklaim ateistik. Keyakinan atas percaya pada Tuhan (anak masjid), tidak hirau akan adanya Tuhan (anak oblo) serta memberi penyangkalan atas adanya Tuhan (anak pasar) adalah kunci peperangan yang diyakini membela kebenaran.
Tiga kluster sosial dengan memupuk isme-isme itu, diyakini anak-anak sejak dulu tanpa disadari dan perlahan, menjadi bentuk pembenaran atas laku kekerasan, saling menyerang dengan sangat sadis.
Kampung kami, tiba-tiba berubah menjadi medan perang. Saling berebut pengikut, saling menyakiti lawan, dan anak-anak menjadi semacam pasukan yang secara laten, kehilangan rasa estetik atas kehidupan desa. Kedamaian eklektik serta menjalani tenggang rasa secara sadar.
Memang, belum pernah ada tragedi saling bunuh atau saling melukai hanya berbasis konflik teistik, agnostik dan ateistik. Namun demikian, di kampung kami pernah ada upaya saling serang, bahkan menimbulkan korban nyawa dengan sangat sadis. Kepala dipenggal, kuping diiris dan rumah dibakar. Ada juga yang mengalungkan ban, disiram bensin lalu dibakar dengan ditonton ratusan orang tanpa rasa iba. Ketika melihat runtutan data dan rekaman kejadian itu, ternyata tidak ada satupun anak yang pernah mengalami perang di sawah dengan senjata tanah untuk saling lempar.
Nyaris semua penyerang dan yang diserang hingga berakibat muncratnya darah-darah yang sangat mengerikan itu, punya televisi dan tak asing dengan berita-berita kriminal. Mereka, tidak kenal lagi setiap pagi membuka toko bagi anak pasar, memandikan sapi untuk anak oblo dan sibuk menghafalkan ayat bagi anak masjid. Secara kluster, kampung kami menjadi sedikit cair, namun ketika saling tersinggung, menggumpal dengan dalih perbedaan golongan. Tega untuk menyakiti tubuh lawan.
Perang di masa kanak-kanak, sepertinya penting dilestarikan. Sebab, setelah tidak ada peperangan di areal sawah menjelang musim tanam padi itu, berbagai tragedi dan sangat biadap kian sering terjadi di kampung kami.
Kampung kami yang sangat permai dan tentram di bawah tahun 2000an. Kini semua anak-anaknya sudah pandai pakai sepeda motor, punya ponsel pintar, akrab dengan video tanpa sensor. Para orang tua, mulai lupa tradisi perang di kampung kami karena ikut-ikutan sibuk shelfie dan terus-menerus meratapi kesulitan hidup.
Baru kejadian, anak sekecil itu, berani menusuk punggung temannya dengan lebih 70 hujaman sajam sampai tewas. Lalu bebas atau dihukumnya pelaku, tidak menyelesaikan persoalan sepanjang tidak ada upaya membumikan kesadaran, boleh berbeda dan berperang, tanpa boleh melukai. Kemudian setelah lelah, saling pijit dan sama-sama menyantap singkong bakar. (*)
Penulis : Endri Y
0 Response to "Mari Lestarikan Perang"
Post a Comment