Mental Miskin Si Juru Warta
Monday, April 25, 2016
Add Comment
Tak selamanya orang kaya memiliki tutur dan laku sebagai orang kaya. Saya menemukan banyak orang yang secara materi cukup, tetapi memiliki mentalitas miskin bahkan cenderung seperti pengemis.
Orang-orang seperti ini dengan mudah ditemui, baik saat makan di sebuah restoran, cafe atau warung biasa, memesan makanan yang serba enak dan dalam porsi banyak yang melampui kapasitas perutnya, tetapi ketika tiba waktu untuk membayar, ia akan berpura-pura ke kamar mandi.
Di tempat lain, banyak juga anggota DPRD yang akan melakukan perjalanan dinas (study banding) tak sungkan menelpon kepala-kepala dinas untuk menambah uang sakunya. Bahkan, saya juga sempat mendengar kepala daerah saat hendak menggelar hajatan, menyediakan tempurung saweran untung menampung setoran-setoran bawahannya.
Tradisi mengemis atau melacur seperti ini, bukan hanya terjadi di kalangan pejabat, bahkan aktivis dan jurnalis juga sering sekali ditemui, mereka biasanya disebut ‘tukang olah’, padahal semestinya mereka adalah kontrol dan penjaga kekuasaan agar tidak melenceng dari jalur dan tujuan untuk menyejahterakan rakyat.
Beberapa pekan lalu, ketika aksi yang dilakukan oleh para jurnalis di Lampung untuk memprotes pernyataan Arinal Djunaidi yang melecehkan profesi wartawan gagal klimaks. Penyebabnya? Ada banyak dugaan yang mengarah pada hadirnya jurnalis ‘tukang olah’ di tengah-tengah aksi tersebut.
Jurnalis yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang olah, bisa dipastikan yang bersangkutan adalah jurnalis yang bermental miskin, sehingga harus bekerja serabutan di luar pekerjaan utamanya sebagai jurnalis.
Saya haqqul yakin si Juru Warta yang rela menunggangi dan menjual temannya sesama jurnalis dalam kasus Aksi Protes Arinal (disingkat APA), bukan tidak mengerti etika dan elemen-elemen jurnalistik karena belum membaca tulisan Agama Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono atau tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know, and the Public Should Expect yang kemudian dikenal dengan Sembilan Elemen Jurnalismeyang kemudian ditambah menjasi Sepuluh Elemen Jurnalisme oleh Bill dan Tom, yakni keterlibatan warga dalam produksi konten melalui interaksi media digital.
Saya juga haqqul yakin si Juru Warta yang rela menunggangi dan menjual temannya sesama jurnalis dalam kasus APA, bukanlah pewarta yang tak memiliki hati nurani dan tak mengerti mana benar dan mana salah.
Bukan pula wartawan yang masih pantas bertanya kebenaran yang mana? Kebenaran yang dipandang dari perspektif yang mana? Kebenaran menurut siapa?
Bagi jurnalisme, kebenaran bukan dicari berdasarkan rumus-rumus sains dan tataran filosofis, tetapi kebenaran yang bekerja pada tataran fungsional.Kebenaran yang dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan, kumpulan informasi yang terus direvisi, pada akhirnya menciptakan suatu kebenaran fungsional, dilihat dari waktunya, fakta dan realita yang terjadi, dan narasumber yang digali.
Karenannya, setiap wartawan wajib bertanya kepada dirinya masing-masing, kepada siapa dia harus meletakkan loyalitasnya? Kepada bosnya? Kepada pemasang iklan? Kepada kekuasaan? Kepada pembacanya? Atau pada masyarakat?
Saya juga harus meragukan, jika si Juru Warta tukang olah adalah wartawan kagetan. Baru bangun, kaget tiba-tiba telah menjadi wartawan. Termasuk juga harus meragukan, jika wartawan tersebut dituding atau mengaku tidak mengenal pejabat dan tidak pernah berinteraksi.
Saya hanya wajib meyakini, firman Tuhan “dia punya telinga tapi tak mampu mendengar, dia punya mata tapi tak sanggup melihat, dan dia punya hati tapi tak pernah sanggup merasa dan memahami kebenaran.”
Terakhir, saya juga meyakini bahwa si Juru Warta adalah orang yang bermateri cukup tapi merasa selalu kurang. Maka benarlah, sabda Kanjeng Nabi, bahwa kaya itu bukanlah bertumpuknya materi, tetapi kaya adalah selalu bersyukur dan merasa cukup. Kaya tapi memiliki mental miskin, pasti berefek pada sikap selalu kurang dan akhirnya menempuh hal-hal paling menjijikkan, mengemis dan melacurkan diri!!
Penulis: Rahmatul Ummah
Orang-orang seperti ini dengan mudah ditemui, baik saat makan di sebuah restoran, cafe atau warung biasa, memesan makanan yang serba enak dan dalam porsi banyak yang melampui kapasitas perutnya, tetapi ketika tiba waktu untuk membayar, ia akan berpura-pura ke kamar mandi.
Di tempat lain, banyak juga anggota DPRD yang akan melakukan perjalanan dinas (study banding) tak sungkan menelpon kepala-kepala dinas untuk menambah uang sakunya. Bahkan, saya juga sempat mendengar kepala daerah saat hendak menggelar hajatan, menyediakan tempurung saweran untung menampung setoran-setoran bawahannya.
Tradisi mengemis atau melacur seperti ini, bukan hanya terjadi di kalangan pejabat, bahkan aktivis dan jurnalis juga sering sekali ditemui, mereka biasanya disebut ‘tukang olah’, padahal semestinya mereka adalah kontrol dan penjaga kekuasaan agar tidak melenceng dari jalur dan tujuan untuk menyejahterakan rakyat.
Beberapa pekan lalu, ketika aksi yang dilakukan oleh para jurnalis di Lampung untuk memprotes pernyataan Arinal Djunaidi yang melecehkan profesi wartawan gagal klimaks. Penyebabnya? Ada banyak dugaan yang mengarah pada hadirnya jurnalis ‘tukang olah’ di tengah-tengah aksi tersebut.
Jurnalis yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang olah, bisa dipastikan yang bersangkutan adalah jurnalis yang bermental miskin, sehingga harus bekerja serabutan di luar pekerjaan utamanya sebagai jurnalis.
Saya haqqul yakin si Juru Warta yang rela menunggangi dan menjual temannya sesama jurnalis dalam kasus Aksi Protes Arinal (disingkat APA), bukan tidak mengerti etika dan elemen-elemen jurnalistik karena belum membaca tulisan Agama Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono atau tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know, and the Public Should Expect yang kemudian dikenal dengan Sembilan Elemen Jurnalismeyang kemudian ditambah menjasi Sepuluh Elemen Jurnalisme oleh Bill dan Tom, yakni keterlibatan warga dalam produksi konten melalui interaksi media digital.
Saya juga haqqul yakin si Juru Warta yang rela menunggangi dan menjual temannya sesama jurnalis dalam kasus APA, bukanlah pewarta yang tak memiliki hati nurani dan tak mengerti mana benar dan mana salah.
Bukan pula wartawan yang masih pantas bertanya kebenaran yang mana? Kebenaran yang dipandang dari perspektif yang mana? Kebenaran menurut siapa?
Bagi jurnalisme, kebenaran bukan dicari berdasarkan rumus-rumus sains dan tataran filosofis, tetapi kebenaran yang bekerja pada tataran fungsional.Kebenaran yang dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan, kumpulan informasi yang terus direvisi, pada akhirnya menciptakan suatu kebenaran fungsional, dilihat dari waktunya, fakta dan realita yang terjadi, dan narasumber yang digali.
Karenannya, setiap wartawan wajib bertanya kepada dirinya masing-masing, kepada siapa dia harus meletakkan loyalitasnya? Kepada bosnya? Kepada pemasang iklan? Kepada kekuasaan? Kepada pembacanya? Atau pada masyarakat?
Saya juga harus meragukan, jika si Juru Warta tukang olah adalah wartawan kagetan. Baru bangun, kaget tiba-tiba telah menjadi wartawan. Termasuk juga harus meragukan, jika wartawan tersebut dituding atau mengaku tidak mengenal pejabat dan tidak pernah berinteraksi.
Saya hanya wajib meyakini, firman Tuhan “dia punya telinga tapi tak mampu mendengar, dia punya mata tapi tak sanggup melihat, dan dia punya hati tapi tak pernah sanggup merasa dan memahami kebenaran.”
Terakhir, saya juga meyakini bahwa si Juru Warta adalah orang yang bermateri cukup tapi merasa selalu kurang. Maka benarlah, sabda Kanjeng Nabi, bahwa kaya itu bukanlah bertumpuknya materi, tetapi kaya adalah selalu bersyukur dan merasa cukup. Kaya tapi memiliki mental miskin, pasti berefek pada sikap selalu kurang dan akhirnya menempuh hal-hal paling menjijikkan, mengemis dan melacurkan diri!!
Penulis: Rahmatul Ummah
0 Response to "Mental Miskin Si Juru Warta"
Post a Comment