Refleksi Demokrasi
Tuesday, April 19, 2016
Add Comment
Dari manakah asal kata tersebut dan apa sesungguhnya makna demokrasi ? Sejak Reformasi Indonesia 1998, kata demokrasi semakin sering diucapkan dan didengar. Saat ini, enam belas tahun setelah reformasi kita kembali memperdebatkan makna demokrasi. Pengesahan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah dianggap banyak kalangan telah mengambil alih hak rakyat untuk memilih kepala daerah. Hal ini kemudian dianggap banyak kalangan tidak sesuai dengan asas demokrasi.
Di Perancis, menurut sebagaian besar ahli sejarah Eropa, demokrasi lahir seiring terbentuknya Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yaitu pada tahun 1789. Deklarasi ini lahir dari hasil revolusi terhadap kekuasaan absolut selama berabad abad. Sejak lahirnya Deklarasi tersebut, kekuasaan pemerintahan tidak terpusat hanya pada satu orang penguasa (raja atau sejenisnya) atau pun tidak pula hanya pada segelintir orang bangsawan, namun sejak 1789 sudah dibentuk suatu wadah yang dikenal dengan parlemen atau sekelompok orang yang dipilih untuk mewakili sebagian besar rakyat Perancis.
Di Benua Eropa, Uni Eropa tidak terbentuk dalam semalam, melainkan lewat proses yang cukup panjang. Gagasan menyatukan Eropa sudah ada sejak tahun 1950-an. Keinginan menyatukan secara politik dan ekonomi pun baru tercapai pada tahun 2002. Ini merupakan akhir dari kerja keras yang cukup panjang dan melelahkan. Uni Eropa, yang beranggotakan 27 negara tersebut, mengakui bahwa pembentukan kawasan regional Uni Eropa adalah atas dasar demokrasi, yaitu persetujuan dan kehendak bersama para wakil dari setiap negara.
Berdasarkan tiga paragraf di atas, demokrasi yang ingin penulis sampaikan ialah dari sudut pandang dalam menjalankan roda pemerintahan, bukan dari sudat pandang lain. Merujuk pendapat Alexis de Tocqueville, istilah demokrasi tidak hanya untuk menggambarkan bentuk pemerintahan, namun dapat juga menggambarkan bentuk perusahaan yang menganut kebebasan dan persamaan.
Demokrasi dalam pemerintahan ialah lawan kata dari sistem monarki, kediktatoran dan tirani. Sebagaimana disampaikan Karl Popper. Amerika Serikat memandang, negara yang tidak demokratik ialah Irak (di bawah pimpinan Sadam Husein), Afganistan (di bawah kekuasaan Taliban), Mesir (di bawah kepresidenan Husni Mubarak), Libia (di bawah kepemimpinan Muamar Kadhafi). Semua negara yang disebutkan di atas sudah sudah diubah karena bertentangan dengan nilai demokrasi yang diakui Amerika. Amerika mengaku bahwa negaranya ialah negara yang demokrasi.
Hal ini karena pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat. Suara rakyat merupakan modal dasar pembangunan negara. Pemerintah berusaha untuk selalu mendengarkan dan menghargai suara rakyat. Kebebasan berpendapat warga negara atau pun penduduk dihargai dan diberikan tempat yang layak. Kepentingan rakyat adalah di atas segala-galanya. Pemimpin merupakan kaki tangan rakyat dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Inilah yang disampaikan pada pidato setiap pemimpin suatu negara yang mengakui sebagai negara yang demokratis.
Seorang penulis Perancis, Etienne Chouard, mengkritisi masalah demokrasi di Perancis dan Eropa saat ini. Melalui metode Hérodote, seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ia menggunakan metode yang dikenal dengan « mencari penyebab dari penyebab-penyebab » atau dalam bahasa Perancisnya « Chercher la cause des causes ». Mencari penyebab utama dari permasalahan utama. Chouard menyampaikan bahwa janganlah mencari akibat dari suatu permasalahan atau mencari penyebab dengan asal saja, namun harus dapat menemukan penyebab utama yang mempengaruhi penyebab-penyebab lainnya.
Kerisauan Chouard yaitu kekuasaan adalah penyebab orang menjadi tidak dapat mengontrol diri “gila” dan setiap yang berkuasa lebih condong untuk memanfaatkan dan menggunakan demi kepentingan pribadi atau segelinti orang. Oleh karena itu tak heran jauh-jauh hari Montesquie membagi kekuasaan menjadi tiga (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan tujun antara lain dalam rangka membagi kekuasaan sehingga tidak terpusat dan secara otomatis dapat megurangi kekuatan terpusat sehingga dapat meminimalisir pelanggaran penggunaan kekuasaan.
Chouard mengakui bahwa kesalahan terbesar bukan pada Konstitusi melainkan rakyat menyerahkan kekuasaan mereka kepada sekelompok orang dimana dengan kekuasaannya sekelompok orang tersebut melemahkan rakyat sendiri. Ia berpendapat bahwa sejatinya Konstitusi ditujukan untuk melemahkan para penguasa atau para penerima mandat rakyat agar melindungi rakyat. Hal sebaliknya yang sedang terjadi yaitu Konstitusi telah memberikan kekuatan kepada wakil rakyat (penguasa) untuk menindas rakyat. Dalam kata lain, para penguasa yang diberikan kewenangan oleh rakyat adalah orang-orang kaya yang ingin memperkuat diri sendiri untuk melemahkan rakyat.
Tak ayal jika kemudian rakyat berteriak kepada Konstitusi “Lindunganlah kami dari kesewenang-wenangan penguasa !”. Perlindungan untuk rakyat yang harus diberikan dalam Konstitusi, karena tidak mungkin sang penguasa menulis hal yang melemahkan mereka dan menguatkan rakyat. Chouard mengingatkan kita model pemerintahan di Athena, ibu kota Yunani. Diakui oleh hampir diseluruh negara di dataran eropa bahwasanya sistem pemerintahan mereka dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Yunani. Disana, selama 200 tahun, parlemen dikuasai oleh orang-orang miskin dan sedikit orang kaya yang duduk sebagai wakil rakyat. Hal inilah yang menurutnya pemerintahan ideal karena jumlah rakyat miskin selalu lebih banyak dari pada orang kaya. Keingingan sekelompok besar akan terpenuhi dengan memberikan tempat kepada kelompok yang tertindas. Hal inilah menutnya demokrasi yang sejatinya terjadi di Perancis.
Bagaimana dengan pandangan islam terhadap demokrasi ? Istilah demokrasi muncul dari bahasa Yunani, dêmos yang artinya rakyat dan kratos artinya kekuasaan/kewenangan. Demokrasi diartikan secara harfiah yaitu kekuasaan ada ditangan rakyat. Karena kata tersebut berasal dari yunani, maka dalam Islam tidak ditemukan kata demokrasi atau kata yang menyerupai. Namun jika yang dimaksud adalah bagaimana sudut pandang islam terhadap pola pemerintahan yang mementingkan suara rakyat, maka berdasarkan riwayat pemerintahan setelah kenabian Muhammad bin Abdulloh, yaitu sejak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Afwan serta sampai kepada Abdullah bin Abdul Aziz bin Umar bin Khtab (atau cucu daricucunya dari anak Umar bin Khatab) maka dapat ditarik suatu garis benang merah unsur-unsur demokrasi yang dikenal saat ini.
Munculnya Abu Bakar as Shidiq dan ketiga penerusnya bukanlah berdasarkan ambisi atau keinginan dari diri sendiri. Sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad wafat terjadi pertentangan mengenai siapakah yang harus menggantikannya. Hanya ada dua nama yang pantas untuk menggantikannya saat itu. Kepantasan tersebut dinilai masyarakat dasar ketaqwaann dan kedekatannya dengan Nabi Muhammad, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua orang ini pun dipertemuan untuk menetapkan siapa yang hendak maju, namun keduanya tidak ada yang mau menerima beban ini karena rasa takut yang dalam atas ketidak adilan dalam memimpin. Akhirnya atas kesepakatan sebagian besar umat islam, Abu Bakar maju sebagai pemimpin. Ketakutannya pun diungkapkan dalam pidatonya. Ia meminta untuk selalu diingatkan dalam setiap langkah memimpin umat.
Bagaimana di masa kepemimpinan Umar bin Khatab, ketakutan yang dalam atas tuntutan masyarakat menyebabkan selama kepemimpinan ia tidak pernah tidur nyaman. Bahkan malam hari dihabiskan waktunya untuk memantau lebih dekat keadaan warga disekitar wilayahnya. Pakaian dan penampilannya tidak mencerminkan ia seorang penguasa jazirah arab. Lalu akhirnya dimasa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Umar bin Khatab.
Beberapa riwayat bahkan menyatakan bahwa dimasa kepemimpinan tidak lagi terdapat orang miskin yang menerima sedekah. Bahkan kedamaian tercermin dari prilaku hewan buas yang makan satu tempat dengan mangsanya. Inilah nilai-nilai yang pernah hidup di jaman keemasan umat islam. Nilai-nilai demokrasi nampak, pemimpin bukanlah yang harus dilayani, namun pemimpin adalah kaki tangan rakyat untuk menjalankan kehendak rakyat demi kesejahteraan dan kedamaian. Pemimpin dipilih berdasarkan kemulian akhlak dihadapan sang pencipta. Dia tidak mau mengajak masyarakat untuk memilihnya, namun masyarakat sadar bahwa ia adalah orang yang pantas untuk mewakili suatu komunitas.
Masyarakat Barat sering keliru dalam mamahami kepemimpinan Islam. Negara-negara Kerajaan Islam seperti Arab Saudi, Jordania, dan Maroko dianggap sebagai contoh kepemimpinan islam dan warisan sejak zaman kerasulan Muhammad bin Abdullah. Padahal terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin pada saat itu tidak berdasarkan garis keturunan atau garis persaudaraan dengan Nabi Muhammad. Jika berdasarkan garis keturunan, maka Ali bin Abu Thalib yang lebih berhak terlebih dahulu menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad, dan Abdullah bin Umar bin Khatab (putranya Umar bin Khatab) yang berhak menggantikan ayahnya menjadi pemimpin. Dua hal mendasar untu dapat dikatakan bahwa pemimpin pada masa itu menjunjung demokrasi: nainya kepemimpinan berdasarkan hati nurani rakyat dan pelayanan kepada rakyat yang optimal.
Proses demokratisasi di Indonesia memerlukan orang-orang yang tidak menginginkan ataupun berambisi pada kekuasaan. Indonesia memerlukan pemimpin yang selain mampu mendengar pikiran dan perasaan rakyat namun juga senantiasa takut terhadap pertanggungjawaban kelak. Sehinga mode pemimpin semacam ini harapannya dapat menjalankan amanah rakyat dengan keikhlasan dan ketulusan.
Penulis : Rudi Natamihardja ( Mahasiswa S3 Universitas Aix Marseille)
Di Perancis, menurut sebagaian besar ahli sejarah Eropa, demokrasi lahir seiring terbentuknya Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yaitu pada tahun 1789. Deklarasi ini lahir dari hasil revolusi terhadap kekuasaan absolut selama berabad abad. Sejak lahirnya Deklarasi tersebut, kekuasaan pemerintahan tidak terpusat hanya pada satu orang penguasa (raja atau sejenisnya) atau pun tidak pula hanya pada segelintir orang bangsawan, namun sejak 1789 sudah dibentuk suatu wadah yang dikenal dengan parlemen atau sekelompok orang yang dipilih untuk mewakili sebagian besar rakyat Perancis.
Di Benua Eropa, Uni Eropa tidak terbentuk dalam semalam, melainkan lewat proses yang cukup panjang. Gagasan menyatukan Eropa sudah ada sejak tahun 1950-an. Keinginan menyatukan secara politik dan ekonomi pun baru tercapai pada tahun 2002. Ini merupakan akhir dari kerja keras yang cukup panjang dan melelahkan. Uni Eropa, yang beranggotakan 27 negara tersebut, mengakui bahwa pembentukan kawasan regional Uni Eropa adalah atas dasar demokrasi, yaitu persetujuan dan kehendak bersama para wakil dari setiap negara.
Berdasarkan tiga paragraf di atas, demokrasi yang ingin penulis sampaikan ialah dari sudut pandang dalam menjalankan roda pemerintahan, bukan dari sudat pandang lain. Merujuk pendapat Alexis de Tocqueville, istilah demokrasi tidak hanya untuk menggambarkan bentuk pemerintahan, namun dapat juga menggambarkan bentuk perusahaan yang menganut kebebasan dan persamaan.
Demokrasi dalam pemerintahan ialah lawan kata dari sistem monarki, kediktatoran dan tirani. Sebagaimana disampaikan Karl Popper. Amerika Serikat memandang, negara yang tidak demokratik ialah Irak (di bawah pimpinan Sadam Husein), Afganistan (di bawah kekuasaan Taliban), Mesir (di bawah kepresidenan Husni Mubarak), Libia (di bawah kepemimpinan Muamar Kadhafi). Semua negara yang disebutkan di atas sudah sudah diubah karena bertentangan dengan nilai demokrasi yang diakui Amerika. Amerika mengaku bahwa negaranya ialah negara yang demokrasi.
Hal ini karena pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat. Suara rakyat merupakan modal dasar pembangunan negara. Pemerintah berusaha untuk selalu mendengarkan dan menghargai suara rakyat. Kebebasan berpendapat warga negara atau pun penduduk dihargai dan diberikan tempat yang layak. Kepentingan rakyat adalah di atas segala-galanya. Pemimpin merupakan kaki tangan rakyat dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Inilah yang disampaikan pada pidato setiap pemimpin suatu negara yang mengakui sebagai negara yang demokratis.
Seorang penulis Perancis, Etienne Chouard, mengkritisi masalah demokrasi di Perancis dan Eropa saat ini. Melalui metode Hérodote, seorang sejarawan Yunani yang hidup sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ia menggunakan metode yang dikenal dengan « mencari penyebab dari penyebab-penyebab » atau dalam bahasa Perancisnya « Chercher la cause des causes ». Mencari penyebab utama dari permasalahan utama. Chouard menyampaikan bahwa janganlah mencari akibat dari suatu permasalahan atau mencari penyebab dengan asal saja, namun harus dapat menemukan penyebab utama yang mempengaruhi penyebab-penyebab lainnya.
Kerisauan Chouard yaitu kekuasaan adalah penyebab orang menjadi tidak dapat mengontrol diri “gila” dan setiap yang berkuasa lebih condong untuk memanfaatkan dan menggunakan demi kepentingan pribadi atau segelinti orang. Oleh karena itu tak heran jauh-jauh hari Montesquie membagi kekuasaan menjadi tiga (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dengan tujun antara lain dalam rangka membagi kekuasaan sehingga tidak terpusat dan secara otomatis dapat megurangi kekuatan terpusat sehingga dapat meminimalisir pelanggaran penggunaan kekuasaan.
Chouard mengakui bahwa kesalahan terbesar bukan pada Konstitusi melainkan rakyat menyerahkan kekuasaan mereka kepada sekelompok orang dimana dengan kekuasaannya sekelompok orang tersebut melemahkan rakyat sendiri. Ia berpendapat bahwa sejatinya Konstitusi ditujukan untuk melemahkan para penguasa atau para penerima mandat rakyat agar melindungi rakyat. Hal sebaliknya yang sedang terjadi yaitu Konstitusi telah memberikan kekuatan kepada wakil rakyat (penguasa) untuk menindas rakyat. Dalam kata lain, para penguasa yang diberikan kewenangan oleh rakyat adalah orang-orang kaya yang ingin memperkuat diri sendiri untuk melemahkan rakyat.
Tak ayal jika kemudian rakyat berteriak kepada Konstitusi “Lindunganlah kami dari kesewenang-wenangan penguasa !”. Perlindungan untuk rakyat yang harus diberikan dalam Konstitusi, karena tidak mungkin sang penguasa menulis hal yang melemahkan mereka dan menguatkan rakyat. Chouard mengingatkan kita model pemerintahan di Athena, ibu kota Yunani. Diakui oleh hampir diseluruh negara di dataran eropa bahwasanya sistem pemerintahan mereka dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Yunani. Disana, selama 200 tahun, parlemen dikuasai oleh orang-orang miskin dan sedikit orang kaya yang duduk sebagai wakil rakyat. Hal inilah yang menurutnya pemerintahan ideal karena jumlah rakyat miskin selalu lebih banyak dari pada orang kaya. Keingingan sekelompok besar akan terpenuhi dengan memberikan tempat kepada kelompok yang tertindas. Hal inilah menutnya demokrasi yang sejatinya terjadi di Perancis.
Bagaimana dengan pandangan islam terhadap demokrasi ? Istilah demokrasi muncul dari bahasa Yunani, dêmos yang artinya rakyat dan kratos artinya kekuasaan/kewenangan. Demokrasi diartikan secara harfiah yaitu kekuasaan ada ditangan rakyat. Karena kata tersebut berasal dari yunani, maka dalam Islam tidak ditemukan kata demokrasi atau kata yang menyerupai. Namun jika yang dimaksud adalah bagaimana sudut pandang islam terhadap pola pemerintahan yang mementingkan suara rakyat, maka berdasarkan riwayat pemerintahan setelah kenabian Muhammad bin Abdulloh, yaitu sejak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ali bin Abu Thalib dan Usman bin Afwan serta sampai kepada Abdullah bin Abdul Aziz bin Umar bin Khtab (atau cucu daricucunya dari anak Umar bin Khatab) maka dapat ditarik suatu garis benang merah unsur-unsur demokrasi yang dikenal saat ini.
Munculnya Abu Bakar as Shidiq dan ketiga penerusnya bukanlah berdasarkan ambisi atau keinginan dari diri sendiri. Sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad wafat terjadi pertentangan mengenai siapakah yang harus menggantikannya. Hanya ada dua nama yang pantas untuk menggantikannya saat itu. Kepantasan tersebut dinilai masyarakat dasar ketaqwaann dan kedekatannya dengan Nabi Muhammad, yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Kedua orang ini pun dipertemuan untuk menetapkan siapa yang hendak maju, namun keduanya tidak ada yang mau menerima beban ini karena rasa takut yang dalam atas ketidak adilan dalam memimpin. Akhirnya atas kesepakatan sebagian besar umat islam, Abu Bakar maju sebagai pemimpin. Ketakutannya pun diungkapkan dalam pidatonya. Ia meminta untuk selalu diingatkan dalam setiap langkah memimpin umat.
Bagaimana di masa kepemimpinan Umar bin Khatab, ketakutan yang dalam atas tuntutan masyarakat menyebabkan selama kepemimpinan ia tidak pernah tidur nyaman. Bahkan malam hari dihabiskan waktunya untuk memantau lebih dekat keadaan warga disekitar wilayahnya. Pakaian dan penampilannya tidak mencerminkan ia seorang penguasa jazirah arab. Lalu akhirnya dimasa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Umar bin Khatab.
Beberapa riwayat bahkan menyatakan bahwa dimasa kepemimpinan tidak lagi terdapat orang miskin yang menerima sedekah. Bahkan kedamaian tercermin dari prilaku hewan buas yang makan satu tempat dengan mangsanya. Inilah nilai-nilai yang pernah hidup di jaman keemasan umat islam. Nilai-nilai demokrasi nampak, pemimpin bukanlah yang harus dilayani, namun pemimpin adalah kaki tangan rakyat untuk menjalankan kehendak rakyat demi kesejahteraan dan kedamaian. Pemimpin dipilih berdasarkan kemulian akhlak dihadapan sang pencipta. Dia tidak mau mengajak masyarakat untuk memilihnya, namun masyarakat sadar bahwa ia adalah orang yang pantas untuk mewakili suatu komunitas.
Masyarakat Barat sering keliru dalam mamahami kepemimpinan Islam. Negara-negara Kerajaan Islam seperti Arab Saudi, Jordania, dan Maroko dianggap sebagai contoh kepemimpinan islam dan warisan sejak zaman kerasulan Muhammad bin Abdullah. Padahal terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin pada saat itu tidak berdasarkan garis keturunan atau garis persaudaraan dengan Nabi Muhammad. Jika berdasarkan garis keturunan, maka Ali bin Abu Thalib yang lebih berhak terlebih dahulu menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad, dan Abdullah bin Umar bin Khatab (putranya Umar bin Khatab) yang berhak menggantikan ayahnya menjadi pemimpin. Dua hal mendasar untu dapat dikatakan bahwa pemimpin pada masa itu menjunjung demokrasi: nainya kepemimpinan berdasarkan hati nurani rakyat dan pelayanan kepada rakyat yang optimal.
Proses demokratisasi di Indonesia memerlukan orang-orang yang tidak menginginkan ataupun berambisi pada kekuasaan. Indonesia memerlukan pemimpin yang selain mampu mendengar pikiran dan perasaan rakyat namun juga senantiasa takut terhadap pertanggungjawaban kelak. Sehinga mode pemimpin semacam ini harapannya dapat menjalankan amanah rakyat dengan keikhlasan dan ketulusan.
Penulis : Rudi Natamihardja ( Mahasiswa S3 Universitas Aix Marseille)
0 Response to "Refleksi Demokrasi"
Post a Comment