Reklamasi dan Rayuan Pulau Palsu
Tuesday, April 19, 2016
Add Comment
Reklamasi di Teluk Benoa Bali, reklamasi di Teluk Jakarta, hingga reklamasi Teluk Lampung. Dimana-mana reklamasi! Reklamasi tiba-tiba menjadi trend dan gaya penguasa dan pengusaha.
Konon, reklamasi di Teluk Benoa dilaksanakan untuk investasi pariwisata yang akan memberi dampak pada peningkatan ekonomi sekitar, sedangkan reklamasi Teluk Jakarta untuk mengatasi kepadatan kota dan keterbatasan lahan, terutama bagi pemenuhan permukiman penduduk. Reklamasi Teluk Lampung dimaksudkan untuk melaksanakan pembangunan kawasan pantai melalui kegiatan investasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya? Entahlah!
Menulis soal reklamasi, serius bukan lantaran karena menjadi topik populer, sejak SBY, yang kala itu masih menjadi Presiden dan di ujung kekuasaannya menandatangani Perpres No. 51/2014 sebagai payung hukum bagi investor PT.TWBI mereklamasi Teluk Benoa, padahal sebelumnya Yang Mulia berpose bersama Cristiano Ronaldo sebagai duta Mangrove di Bali, di depannya berjejer beberapa bibit bakau, sebagai simbol bahwa beliau sangat peduli dan mencintai lingkungan, khususnya pesisir pantai.
Soal reklamasi ini serius juga bukan karena lantaran bisa dikait-kaitkan dengan usaha pencarian dosa Ahok yang hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakara, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) dan kebetulan memiliki kebijakan dan niat untuk mereklamasi Teluk Jakarta.
Namun, reklamasi ini menjadi penting untuk disoal ketika menjadi tren dan gaya, seolah tidak keren dan gaul, jika kepala daerah yang memiliki pesisir pantai tidak mereklamasi pantainya. Reklamasi ini menjadi serius dan penting, saat ia juga hadir di sini dan kini, di Provinsi Lampung.
Reklamasi sebenarnya bukanlah hal baru di Lampung, jauh-jauh hari sebelum reformasi proses reklamasi pesisir dari kawasan Panjang, Teluk Betung hingga Lempasing telah berjalan, kemudian dihentikan tahun 1998 semasa Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Lampung dipimpin Ir. Rahmat Abdullah, alasan penghentiannya untuk kepentingan evaluasi, sebab Bapedal menilai dan menemukan banyak pelanggaran.
Kemudian proyek reklamasi dimulai kembali oleh Pemerintah Kota Bandarlampungsejak 2003, dengan pendatangan Memorandum of Understanding (MoU) Pemkot bersama PT Sekar Kanaka Langgeng (SKL), dan dilanjutkan kembali pada periode pertama Herman HN menjabat Walikota Bandarlampung,sebagai bagian dari program penataan wilayah pesisir yang ia sebut Water Front City.
Namun, reklamasi di lahan sekitar 20 hektare,di sepanjang Jalan Yos Sudarso yang dikelola PT. SKL itu menjadi tidak jelas, bahkan perusahaan tersebut diduga menyimpang dari kesepakatan kerja sama dan bertentangan dengan SK Wali Kota No: 31/23/hk/2003 tertanggal 24 Februari 2003.
DPRD Bandar Lampung akhirnya bereaksi, dengan mengeluarkan Surat Rekomendasi Nomor 005/354/23/II.3/2016, untuk mendesak Pemkot mencari investor baru, menggantikan PT SKL karena perusahaan tersebut dianggap wanprestasi dalam pengelolaan pesisir Teluk Bandar Lampung seluas 20 hektar itu.
Bukan hanya DPRD Bandarlampung, Kapolda Lampung Brigadir Jendral Polisi Ike Edwin SH,MH didampingi Waka Polda dan Pejabat Utama Polda Lampung, juga ikut bereaksi dengan melakukan pengecekan langsung lokasi Reklamasi Pantai Teluk Lampung, Minggu (17-04-2016).
Menggunakan Kapal Dit Polair Patroli, Kapolda Lampung mendekati pantai di kawasan penggerusan Bukit Kunyit Teluk Betung Selatan yang sangat memprihatinkan. Teluk Lampung terlihat sudah rusak, sejumlah bukit digerus, pencemaran lingkungan tersebar secara merata di daerah teluk lampung.
Kapolda Lampung dengan tegas memerintahkan Wadir Krimsus untuk melakukan langkah-langkah khusus untuk mengatasi daerah kawasan Teluk Lampung, tindak tegas perusahaan yang melanggar dan merusak lingkungan dikawasan teluk Lampung. Termasuk izin analisa dampak lingkungan(amdal) dan aliran aliran surat izin reklamasinya harus ikut diselediki.
Namun, soal reklamasi ini bukan soal reaksi DPRD Bandarlampung atau Kapolda Lampung, ditambah suara serak-serak pernyataan sikap WALHI yang menolak reklamasi dan meminta pemerintah kota untuk meninjau peruntukannya. Meski selama ini jarang terdengar suaranya, terkait maraknya pembangunan hotel-hotel di pusat-pusat pemukiman padat penduduk.
Bukan juga hanya soal kehidupan masyarakat pesisir yang terancam tergusur dan lingkungannya tercemar, karena selain masyarakat pesisir akan ada banyak bukit yang dikeruk untuk menimbun teluk itu.
Tapi, lagi-lagi bukan semata soal itu. Ini soal omong kosong, penataan pesisir. Omong kosong tentang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) itu, karena yang benar adalah air dan bumi, khususnya yang terkait penataan pesisir dan reklamasi ini, diperuntukkan untuk turis (wisatawan) dan kemakmuran pemodal.
Tak percaya? Tengoklah ke dalam hotel-hotel yang berdiri megah sepanjang jalan-jalan utama itu, bagaimana pemandangan jernihnya kolam-kolam-kolam renang, asrinya kebun-kebun dan taman-taman hotel, terang-benderangnya lampu-lampu kamar dan halamannya. Terus bandingkanlah dengan rumah-rumah rakyat, air PDAM yang selalu macet dan keruh, listrik yang selalu byarpett.Bayangkan ruwetnya persoalan domestik warga dalam hal cuci-mencuci, masak-memasak, rebus-merebus dan siram-menyiram.
Sekali lagi ini soal omong kosong atas nama kesejahteraan rakyat. Tidak ada air untuk rakyat, tidak ada kemakmuran yang diperuntukkan untuk rakyat! Karena faktanya, air, listrik itu untuk turis dan untuk kesejahteraan pemodal.
Tulisan ini bukan bermaksud anti pariwisata ataupun menolak kemajuan, tapi soal masa depan Lampung, masa depan warga pesisir/teluk, para nelayan, dan masa depan kehidupan bukit-bukit yang setiap waktu dirampas pasir-pasirnya. Ada 32 bukit di Bandar Lampung yang telah digerus, rusaknya ekosistem pesisir Bandar Lampung, ratusan meter kubik material diangkut untuk menimbun pantai setiap hari, jalan akses masuk proyek di Jalan Yos Sudarso yang bergelombang bahkan berlubang, sertakerusakan di Pasir Sakti, Terbanggibesar, Lampung Timur, adalah contoh bagaimana kerakusan dan keserakahan manusia.
Mungkin ada benarnya judul film dokumenter produksi WatchDcoc yang berjudul Rayuan Pulau Palsu. Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, tapi titipan dari anak cucu.
Penulis : Rahmatul Ummah
Konon, reklamasi di Teluk Benoa dilaksanakan untuk investasi pariwisata yang akan memberi dampak pada peningkatan ekonomi sekitar, sedangkan reklamasi Teluk Jakarta untuk mengatasi kepadatan kota dan keterbatasan lahan, terutama bagi pemenuhan permukiman penduduk. Reklamasi Teluk Lampung dimaksudkan untuk melaksanakan pembangunan kawasan pantai melalui kegiatan investasi dan pengelolaan kawasan. Tujuannya? Entahlah!
Menulis soal reklamasi, serius bukan lantaran karena menjadi topik populer, sejak SBY, yang kala itu masih menjadi Presiden dan di ujung kekuasaannya menandatangani Perpres No. 51/2014 sebagai payung hukum bagi investor PT.TWBI mereklamasi Teluk Benoa, padahal sebelumnya Yang Mulia berpose bersama Cristiano Ronaldo sebagai duta Mangrove di Bali, di depannya berjejer beberapa bibit bakau, sebagai simbol bahwa beliau sangat peduli dan mencintai lingkungan, khususnya pesisir pantai.
Soal reklamasi ini serius juga bukan karena lantaran bisa dikait-kaitkan dengan usaha pencarian dosa Ahok yang hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakara, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) dan kebetulan memiliki kebijakan dan niat untuk mereklamasi Teluk Jakarta.
Namun, reklamasi ini menjadi penting untuk disoal ketika menjadi tren dan gaya, seolah tidak keren dan gaul, jika kepala daerah yang memiliki pesisir pantai tidak mereklamasi pantainya. Reklamasi ini menjadi serius dan penting, saat ia juga hadir di sini dan kini, di Provinsi Lampung.
Reklamasi sebenarnya bukanlah hal baru di Lampung, jauh-jauh hari sebelum reformasi proses reklamasi pesisir dari kawasan Panjang, Teluk Betung hingga Lempasing telah berjalan, kemudian dihentikan tahun 1998 semasa Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Lampung dipimpin Ir. Rahmat Abdullah, alasan penghentiannya untuk kepentingan evaluasi, sebab Bapedal menilai dan menemukan banyak pelanggaran.
Kemudian proyek reklamasi dimulai kembali oleh Pemerintah Kota Bandarlampungsejak 2003, dengan pendatangan Memorandum of Understanding (MoU) Pemkot bersama PT Sekar Kanaka Langgeng (SKL), dan dilanjutkan kembali pada periode pertama Herman HN menjabat Walikota Bandarlampung,sebagai bagian dari program penataan wilayah pesisir yang ia sebut Water Front City.
Namun, reklamasi di lahan sekitar 20 hektare,di sepanjang Jalan Yos Sudarso yang dikelola PT. SKL itu menjadi tidak jelas, bahkan perusahaan tersebut diduga menyimpang dari kesepakatan kerja sama dan bertentangan dengan SK Wali Kota No: 31/23/hk/2003 tertanggal 24 Februari 2003.
DPRD Bandar Lampung akhirnya bereaksi, dengan mengeluarkan Surat Rekomendasi Nomor 005/354/23/II.3/2016, untuk mendesak Pemkot mencari investor baru, menggantikan PT SKL karena perusahaan tersebut dianggap wanprestasi dalam pengelolaan pesisir Teluk Bandar Lampung seluas 20 hektar itu.
Bukan hanya DPRD Bandarlampung, Kapolda Lampung Brigadir Jendral Polisi Ike Edwin SH,MH didampingi Waka Polda dan Pejabat Utama Polda Lampung, juga ikut bereaksi dengan melakukan pengecekan langsung lokasi Reklamasi Pantai Teluk Lampung, Minggu (17-04-2016).
Menggunakan Kapal Dit Polair Patroli, Kapolda Lampung mendekati pantai di kawasan penggerusan Bukit Kunyit Teluk Betung Selatan yang sangat memprihatinkan. Teluk Lampung terlihat sudah rusak, sejumlah bukit digerus, pencemaran lingkungan tersebar secara merata di daerah teluk lampung.
Kapolda Lampung dengan tegas memerintahkan Wadir Krimsus untuk melakukan langkah-langkah khusus untuk mengatasi daerah kawasan Teluk Lampung, tindak tegas perusahaan yang melanggar dan merusak lingkungan dikawasan teluk Lampung. Termasuk izin analisa dampak lingkungan(amdal) dan aliran aliran surat izin reklamasinya harus ikut diselediki.
Namun, soal reklamasi ini bukan soal reaksi DPRD Bandarlampung atau Kapolda Lampung, ditambah suara serak-serak pernyataan sikap WALHI yang menolak reklamasi dan meminta pemerintah kota untuk meninjau peruntukannya. Meski selama ini jarang terdengar suaranya, terkait maraknya pembangunan hotel-hotel di pusat-pusat pemukiman padat penduduk.
Bukan juga hanya soal kehidupan masyarakat pesisir yang terancam tergusur dan lingkungannya tercemar, karena selain masyarakat pesisir akan ada banyak bukit yang dikeruk untuk menimbun teluk itu.
Tapi, lagi-lagi bukan semata soal itu. Ini soal omong kosong, penataan pesisir. Omong kosong tentang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) itu, karena yang benar adalah air dan bumi, khususnya yang terkait penataan pesisir dan reklamasi ini, diperuntukkan untuk turis (wisatawan) dan kemakmuran pemodal.
Tak percaya? Tengoklah ke dalam hotel-hotel yang berdiri megah sepanjang jalan-jalan utama itu, bagaimana pemandangan jernihnya kolam-kolam-kolam renang, asrinya kebun-kebun dan taman-taman hotel, terang-benderangnya lampu-lampu kamar dan halamannya. Terus bandingkanlah dengan rumah-rumah rakyat, air PDAM yang selalu macet dan keruh, listrik yang selalu byarpett.Bayangkan ruwetnya persoalan domestik warga dalam hal cuci-mencuci, masak-memasak, rebus-merebus dan siram-menyiram.
Sekali lagi ini soal omong kosong atas nama kesejahteraan rakyat. Tidak ada air untuk rakyat, tidak ada kemakmuran yang diperuntukkan untuk rakyat! Karena faktanya, air, listrik itu untuk turis dan untuk kesejahteraan pemodal.
Tulisan ini bukan bermaksud anti pariwisata ataupun menolak kemajuan, tapi soal masa depan Lampung, masa depan warga pesisir/teluk, para nelayan, dan masa depan kehidupan bukit-bukit yang setiap waktu dirampas pasir-pasirnya. Ada 32 bukit di Bandar Lampung yang telah digerus, rusaknya ekosistem pesisir Bandar Lampung, ratusan meter kubik material diangkut untuk menimbun pantai setiap hari, jalan akses masuk proyek di Jalan Yos Sudarso yang bergelombang bahkan berlubang, sertakerusakan di Pasir Sakti, Terbanggibesar, Lampung Timur, adalah contoh bagaimana kerakusan dan keserakahan manusia.
Mungkin ada benarnya judul film dokumenter produksi WatchDcoc yang berjudul Rayuan Pulau Palsu. Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita, tapi titipan dari anak cucu.
Penulis : Rahmatul Ummah
0 Response to "Reklamasi dan Rayuan Pulau Palsu"
Post a Comment