Mari Memulai dengan Kebencian pada Palu Arit

"Saya kagum dengan yang error, bad faith, dan idiocy."


TERPESONA pada yang rusak, syirik dan yang sinting itu adalah ungkapan Umberto Eco yang diulas Bre Redhana, di Kompas. Sementara GM di Tempo menulis ungkapan Eco yang lain; "Odi ergo sum" yang artinya, aku membenci, maka aku ada. Tulisan di dua media mainstream sebagai perwujudan duka pada novelis dunia yang belum lama ini baru meninggal.

Rumusan dalam kalimat tersebut di atas, penting dipakai ketika ada orang yang tiba-tiba berkata penuh kelembutan. Sopan santun dan sangat beretika.

Saya akan menceritakan, betapa pentingnya sikap waspada. Sebab, orang baik saat ini bukan yang punya kepentingan untuk dianggap baik. Orang yang jujur, bahkan hanya tersisa ketika dirinya tidur. Ketika melek, diam saja kita sudah dipaksa untuk berlaku dusta. Apalagi ketika bicara. Begitu juga sebuah berita. Tidak ada kebenaran dalam berita dan tidak ada berita yang benar mungkin saat benar-benar terjadi.

***


KETIKA bertamu di pelosok kampung. Rumah orang itu masih menyiratkan bahwa dia pernah sangat kaya. Minimal, orang dengan rumah paling bagus dan nyaman di zamannya. Yakni, rumah tembok dengan bentuk huruf "L". Lantainya telah disemen dengan marmer.  Sementara rumah di sekitarnya, masih berdinding geribik dan papan.

Kini, rumah dengan pertanda pernah sangat kaya itu, gentingnya banyak yang bocor. Kusen jendela mulai lapuk dimakan nonor. Tembok dinding rumahnya, bukan sekadar cat-nya yang luntur, semennya pun mulai terkelupas hingga bata-bata kecil terlihat. Di beberapa sisi, terlihat tambalan dinding yang jebol dengan semen sekenanya.

Orang itu, anaknya empat. Semua perempuan. Ketiga putrinya, telah beranak pinak dan hidup di desa itu, paling jauh sibungsu karena bermukim di desa sebelah. Kabarnya, semua sudah pernah merasakan perceraian.

Adiknya, inilah yang akan kita bahas. Agar kisah ini berguna untuk adik-adik perempuan saya yang baru lulus SMA, MA atau SMK.

Dia baru berumur 23 tahun. Sudah enam tahun ini tanpa kabar. Dulu, ayahnya, mulai bertutur dengan mata menerawang meski saya duduk di depannya. "Dia hendak kerja, katanya ke luar negeri. Gajinya bisa sampai 10 ribu."

Sepuluh ribu, bisa diartikan Rp.10 juta. Luar negeri itu artinya, tempat yang jauh. Tidak jelas, apakah Timur Tengah macam Yordania, Arab Saudi, atau di Malaysia atau sekadar ke Batam dan Jakarta.  Tidak ada yang tahu. "Tapi yang mengajak orangnya baik, bicaranya sangat sopan maka kami percaya."

Demikian kalimat orang tua renta itu, sesekali terbatuk dan memuncratkan dahak. Segala upaya untuk mencari telah ditempuh, terutama menanyakan pada orang yang menawarkan kerja yang menurutnya baik dan sopan itu. Hasilnya, orang yang sangat sopan itu, sukses membawa puluhan perempuan dari kampung kami untuk hilang. Tanpa kabar dan tak tahu sekarang ada di mana. Beberapa perempuan di antaranya, punya suami dan anak yang beberapa suami dan anak itu mulai melupakannya.

Mungkin tak tahan terus ditanya orang-orang yang merasa kehilangan perempuannya, sudah tiga tahun lalu, orang yang menawarkan pekerjaan dengan sopan santun dan penuh kelembutan itu, ikut hilang. Orang tua yang berbincang dengan saya, hanya menggeleng ketika ditanya apa nama perusahaannya, siapa keluarganya, dan kenal dia sebagai orang baik dari mana?

Orang baik itu, dianggap baik hanya karena lembut tutur katanya, sopan dan santun caranya bertamu. Tentu saja, bajunya necis, dimasukkan dengan celana dasar dan sepatu mengkilat.

Apa yang terjadi? Orang baik itu telah berhasil menculik perempuan-perempuan dari kampung kami. Lalu hilang tanpa jejak.

***


BERMULA dari iklan lowongan kerja di sebuah koran, dua anak yang baru lulus SMK di pedalaman. Tertarik mendaftar dengan menghubungi nomor ponsel yang tertera.

Terdengar suara lembut perempuan, keibuan dan penuh kepercayaan diri. Kemudian, terjalinlah percakapan. Beberapa kali kemudian, sang perempuan yang punya nomor ponsel di iklan lowongan kerja di sebuah koran besar di provinsinya, lebih agresif mengabarkan dan lowongan kerja itu, hanya untuk beberapa hari. Diharapkan dua anak itu segera ke Bandarlampung.

Gegerlah orang tua dua anak yang baru lulus SMK itu. Bahkan, semua tetangganya telah tahu, anaknya segera kerja ke kota. Sebuah gambaran paling cerah dan hadirlah bunga-bunga kebahagiaan.

Apa yang tejadi? Dua anak itu ternyata kurang beruntung karena memang dari keluarga miskin, jadi untuk sekadar ongkos ke kota pun, tak mampu dipenuhi orang tuanya.

Seminggu kemudian, betapa mengejutkannya, hingga orang di pedalaman itu menganggap jika nasib baik tak akan kemana. Jika sudah rezeki tak akan tertukar. Dua orang dengan penuh kelembutan, meski yang lelaki berseragam Marinir secara lengkap dan yang perempuan berseragam PNS, datang. Membawa kabar gembira di rumah papan dua anak yang baru lulus SMK itu.

Terjadilah kesepakatan. Anak perempuan dan lelaki itu dibawa ke Bandarlampung. Tentu saja dengan sebuah mahar uang tiga juta satu anak. Ayah anak itu, seketika ke rentenir, menggadaikan sepeda motor satu-satunya. Kuranglah Rp.1.250.000 yang kemudian di transfer sang ayah ke rekening pemasang iklan baris bertulis lowongan kerja.

Baru dua hari, setelah mendapat kabar, dua anak itu langsung saya maki-maki dan harus segera pulang. Beruntung yang perempuan, masih di sewakan kamar kost di kawasan Palapa. Namun karena yang lelaki merasa banyak saudara, memaksa untuk meminta kembali uang Rp.6 juta itu. Saya sempat mengantarkan ke rumah Marinir dan ibu yang mengaku PNS di Pemkot itu, terletak di pedalaman areal Lempasing.

Beberapa kali saya hanya bilang, kalau kalian tak berharap uang itu, mungkin Tuhan punya cara menghukum suami istri bajingan yang sopan dan lembut tuturkatanya itu. Namun jika kalian punya keberanian, meski tak ada kuitansi, mari kita laporkan ke Polisi.

Belum sempat saya menutup mulut, perempuan dengan suara keibuan yang penuh kesopanan telepon. Benar-benar hendak menolong anak muda yang baru lulus SMK. Atau mengembalikan uangnya, syaratnya mereka bertemu berdua.

Diputuskanlah, anak SMK itu memilih tak lagi berurusan dengan penipu yang lemah lembut dan penuh keibuan, meski namanya tidak ada di Pemkot dan meski oknum Marinir itu punya Facebook. Punya rumah di Lempasing dan punya anak yang di sekolahkan di Wayhalim.

Orang-orang miskin di pedalaman itu, semuanya bertekad melupakan penipuan itu sebagai pelajaran untuk masa depan. Kini, mereka tak pernah percaya dengan iming-iming kerja yang penawarannya penuh ucapan-ucapan manis.

***


KELAS 5 SD, saya punya kaos berwarna putih. Polos. Merasa kurang keren, saya membuat gambar dua pedang yang saling menyilang. Tepat di leher belakang, lalu membuat bujur sangkar yang memigura gambar pedang yang bersilang itu.

Ketika bermain bersama teman, kami bertemu dengan rombongan nenek-nenek yang hendak berangkat ke ladang. Salah satu di antara mereka berhenti, lalu tajam menatap saya. Dengan kasar kemudian membalik badan saya, sepertinya melihat gambar dengan spidol di kaos saya.

Mendadak, nenek itu histeris. "Hai, PKI, PKI, PKI... kurang ajar kamu." Nenek itu berusaha menendang dan reflek, saya berlari ketakutan tanpa tahu apa yang terjadi. Nenek itu tanpa ampun, mengejar dan melemparkan sabitnya ke arah saya. Beruntung, sabit itu tak mengenai saya. Dia yang memakai kain hingga harus cincing-cincing, tak peduli lagi dengan agendanya ke ladang.

Saya berhasil kabur, bersama rombongan anak-anak lain yang sedang bermain. Kami seketika ketakutan dan merasa aneh, lalu menganggap nenek itu telah sinting.

Itu terjadi sekitar tahun 1993. Barulah setelah SMA, saya mencari tahu apa makna emosinya. Berceritalah dia seputar logo yang saya gambar di kaos itu. Intinya, jangan macam-macam dengan simbol palu arit atau apa saja yang menyerupainya, atau menyesal seumur hidup.

Dia bercerita, ketika masih remaja putri, orang-orang PKI adalah orang-orang baik bagi keluarga miskin. Mereka bukan hanya melatih berorganisasi, mereka juga menjanjikan sawah dan pekarangan rumah kalau jadi anggota PKI, termasuk syaratnya, di depan rumahnya mengibarkan bendera palu arit.

Baru seminggu berselang, keluarganya menderita seumur hidup, sampai yang lain ikut transmigrasi dapat jatah tanah 2,5 ha, dirinya dan suami hanya hidup ngenger. Jadi, maksud dia, PKI itu mengajak berpartai dengan lemah lembut dan penuh kesopanan, namun tragis baginya. Nenek itu hanya mengingat, tembung manis iku lamis.

Akar penyebabnya, peran pemerintah, tentara dan semacamnya, tak ingin dibahas. Cukup sudah logo palu arit menyisakan trauma mendalam baginya. "Pokoknya, jangan percaya pada ajakan yang dimulai dengan penuh janji serta kata-kata yang indah."

Setidaknya, itu pesan sang nenek yang pernah melempar saya dengan sabit gegara gambar di kaos pakai spidol merah.

***


TIGA KASUS di atas cukup membuat hipotesis, bahwa yang lemah lembut itu menipu. Dan yang menipu itu PKI. PKI dan yang kena tipu, premisnya adalah orang miskin.

Mari mengucapkan. "Pe-Ka-iiii." Ketika mengetik ini sembari mengucapkan kata itu, seketika yang saya ingat adalah bisik-bisik orang kampung seraya menghardik. "Orang itu PKI, jangan makan di rumahnya." Atau ketika ada anak yang bengal, pasti dimaki. "Dasar anak PKI."

Lalu teringat ajakan minum kopi, makan singkong rebus dan berbagai kebaikan, kelemah lembutan dan kesopanan yang lain. Artinya, PKI itu benar-benar bahaya laten. Yakni, bahaya kelemahlembutan. Maka, kita harus pelan-pelan, syukur bisa berbisik untuk membicarakannya.

Pelajarannya adalah, awas, jangan pernah lagi menggambar dua alat yang saling disilangkan, nanti dilempar sabit. Apalagi berpose dengan dua sotil yang disilangkan, seperti Lukman Hakim itu, nanti kamu dianggap turunan Nyoto. (*)

 

Penulis : Endri Y

0 Response to "Mari Memulai dengan Kebencian pada Palu Arit"

Post a Comment