Sains dan Spiritualitas
Friday, May 13, 2016
Add Comment
Italia, 1564, lahirlah seorang ilmuwan sekaligus filsuf yang pemikirannya akan menggetarkan dunia. Namanya adalah Galileo Galilei. Mungkin, anda pernah mendengar namanya. Ia adalah salah satu tokoh di dalam dunia ilmu pengetahuan yang berani menantang tradisi dan kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir, berpendapat dan mencari kebenaran.
Ia berpendapat, bahwa pusat dari tata surya bukanlah bumi, seperti yang diyakini tradisi Gereja Katolik dan filsafat pada abad pertengahan, melainkan matahari. Pandangan ini menyangkal langsung pandangan Gereja Katolik pada masa itu. Galileo pun dituduh sebagai bidaah, dan harus menjalani berbagai persidangan maupun tahanan rumah, sampai akhir hayatnya. Nantinya, pandangan-pandangan utama Galileo justru terbukti benar.
Di akhir hidupnya, Galilo pernah berkata, “Kitab Suci mengajarkan kita untuk sampai ke surga, dan bukan menjelaskan kepada kita, hukum-hukum yang menggerakan langit dan surga tersebut.” Pendek kata, agama, dan Kitab Sucinya, bukanlah buku ilmiah, melainkan kesaksian iman. Galileo sendiri adalah orang yang sangat religius dan spiritual, walaupun ia justru terkena fitnah dari agama yang ia peluk sendiri. Sampai mati, ia memegang teguh keyakinan imannya, sambil melakukan eksperimen ilmiah untuk mencari kebenaran tentang alam semesta.
1000 Tahun Sebelumnya
Sekitar 1000 tahun sebelum Galileo, lahirlah seorang pangeran salah satu kerajaan di India. Namanya adalah Siddharta Gautama. Ia juga memiliki dorongan kuat untuk memahami arti dari segala yang ada di dalam hidup ini. Terlebih, ia ingin mencari jalan untuk keluar dari penderitaan yang mencengkram semua manusia di dunia ini.
Ia pun menekuni jalan spiritualitas pada jamannya, yakni spiritualitas Vedanta yang sudah berkembang ribuan tahun di India. Ia menemukan, bahwa jalan spiritualitas Vedanta pada masanya terlalu keras, sehingga justru menghalangi orang untuk keluar dari penderitaan kehidupan. Ia pun menantang cara-cara lama pada jamannya, dan berusaha menemukan jalannya sendiri untuk sampai pada pencerahan. Jalan itulah yang nantinya kita kenal sebagai Buddha-Dharma, atau jalan sang Buddha.
Buddha-Dharma adalah jalan untuk menyadari kembali, siapa kita sebenarnya. Ia memberikan pencerahan, dan melepaskan manusia dari penderitaan. Di dalam jalan ini, orang juga menemukan pemahaman yang mendalam tentang alam semesta. Di titik ini, sains dan spiritualitas menjadi satu, dan melebur menjadi satu titik, yakni “bangunnya jati diri alamiah kita sebagai manusia”, atau awakening.
Beragam Tantangan
Siddharta dan Galileo adalah orang-orang yang berani bersikap kritis pada tradisi. Mereka berani menantang otoritas yang sudah tidak lagi pas dengan perkembangan jamannya. Sambil melakukan itu, mereka tetap setia pada jalan spiritualitas yang mereka pilih, sambil terus menggali kebenaran tentang alam semesta sebagaimana adanya. Jalan yang mereka tempuh tentu sama sekali tidak mudah.
Benturan dengan tradisi membawa mereka pada pengucilan. Mereka disalahpahami, bahkan hendak dibunuh, karena berpikir berbeda. Siddharta beberapa kali hendak dibunuh oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Galileo harus mengalami persidangan yang tidak adil, dan bahkan harus menjalani tahanan rumah, karena tidak setuju dengan Gereja Katolik Roma.
Namun, jalan hidup keduanya adalah jalan hidup ideal dalam terang sains dan spiritualitas. Mereka adalah para ilmuwan sejati yang mengedepankan pemikiran rasional dan eksperimen yang sistematik. Mereka tidak menelan mentah-mentah tradisi, atau percaya begitu saja pada anggapan-anggapan umum yang bertebaran. Di sisi lain, mereka tetap menjadi manusia yang beriman, religius dan spiritual.
Sains
Sains, atau ilmu pengetahuan, adalah sebuah upaya manusia untuk memahami alam semesta beserta segala isinya. Yang menjadi ciri khas sains adalah pendekatannya yang rasional dan eksperimental. Artinya, semua argumen yang dibangun haruslah masuk akal, dan bisa diuji di dalam berbagai bentuk eksperimen yang mungkin. Hasil dari sains adalah pengetahuan yang lebih dalam tentang alam semesta.
Pengetahuan tersebut haruslah memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Ia juga harus menjawab beberapa pertanyaan yang ada, sekaligus membuka pertanyaan-pertanyaan baru untuk diteliti lebih jauh. Buah dari sains adalah teknologi yang mempermudah kehidupan manusia. Kemudahan mencuci baju, berkomunikasi, mengola data dan transportasi adalah buah-buah langsung dari perkembangan sains.
Spiritualitas
Spiritualitas adalah cara hidup tertentu yang membawa orang keluar dari ego pribadinya. Ia menyadari, bahwa dirinya bukanlah melulu identitas pribadi ataupun sosialnya, melainkan bagian dari alam semesta itu sendiri. Tidak ada keterpisahan antara ego pribadi dengan alam semesta maha luas, yang menjangkau dunia atom sampai dengan kumpulan galaksi nun jauh disana. Spiritualitas membawa orang pada kerendahan hati, sekaligus melepaskan orang dari penderitaan.
Spiritualitas bersifat universal. Ia tidak bisa diikat pada satu agama tertentu. Titik terdalam pemahaman sufi master Islam dengan biksu di Tibet adalah satu dan sama. Titik pencerahan seorang Zen master di Jepang dengan pemahaman pandita Hindu di Bali adalah satu dan sama. Mereka semua sadar, bahwa segalanya itu terhubung dalam satu kesatuan jaringan yang maha luas.
Paradoks
Belajar dari pengalaman Galileo dan Siddharta, serta puluhan ilmuwan lainnya, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semakin dalam seorang ilmuwan melakukan penelitian ilmiah, semakin dalam pula spiritualitasnya. Ia akan semakin sadar akan tempat manusia di keseluruhan alam semesta ini. Ia akan semakin ilmiah, sekaligus ia akan menjadi semakin spiritual. Inilah paradoks mendasar di dalam kaitan antara sains dan spiritualitas.
Sebaliknya juga sama. Semakin orang mendalami spiritualitasnya, semakin ia terbantu dengan berbagai penemuan ilmiah yang ada. Ia sama sekali tidak merasa terancam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia justru semakin diperkaya dengan pemikiran kritis dan fakta-fakta menakjubkan, serta semakin rendah hati di hadapan kemegahan alam yang diungkap oleh ilmu pengetahuan. Semakin spiritual seseorang, maka hidup dan pemikirannya pun akan semakin ilmiah.
Alam semesta secara keseluruhan sudah berusia ribuan milyar tahun. Kecerdasannya sudah terbukti dalam bentuk beragam bintang, planet dan galaksi yang tersebar di jagad raya ini. Sebagai manusia, peradaban kita baru berkembang kurang lebih 20 ribu tahun. Dalam hitungan alam semesta, kita masih berusia hitungan detik, jika dibandingkan usia alam semesta ini.
Maka adalah masuk akal bagi kita untuk belajar dari alam semesta. Kita perlu untuk hidup sejalan dengan alam, namun bukan alam sebagaimana kita inginkan, melainkan alam sebagaimana adanya. Alam ini ada nun jauh di sana di antara bintang-bintang. Namun, ia juga ada di depan mata dan di dalam diri kita sendiri, yakni alam semesta kuantum yang berbicara di tingkat atomik dan molekular.
Di dalam kemegahan dan keunikan-keunikan alam semesta, kita merasa kecil. Kita bukanlah pusat alam semesta. Kita bukanlah mahluk spesial yang punya hak untuk berbuat semaunya. Di dalam kesadaran ini, ada sesuatu yang spiritual tampil ke depan. Ia tidak istimewa. Ia amat sederhana, sekaligus menggetarkan jiwa. Yang ilmiah dan yang spiritual melebur disini…
Penulis : Reza A.A Wattimena (Peneliti, Penulis dan Doktor dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman)
Ia berpendapat, bahwa pusat dari tata surya bukanlah bumi, seperti yang diyakini tradisi Gereja Katolik dan filsafat pada abad pertengahan, melainkan matahari. Pandangan ini menyangkal langsung pandangan Gereja Katolik pada masa itu. Galileo pun dituduh sebagai bidaah, dan harus menjalani berbagai persidangan maupun tahanan rumah, sampai akhir hayatnya. Nantinya, pandangan-pandangan utama Galileo justru terbukti benar.
Di akhir hidupnya, Galilo pernah berkata, “Kitab Suci mengajarkan kita untuk sampai ke surga, dan bukan menjelaskan kepada kita, hukum-hukum yang menggerakan langit dan surga tersebut.” Pendek kata, agama, dan Kitab Sucinya, bukanlah buku ilmiah, melainkan kesaksian iman. Galileo sendiri adalah orang yang sangat religius dan spiritual, walaupun ia justru terkena fitnah dari agama yang ia peluk sendiri. Sampai mati, ia memegang teguh keyakinan imannya, sambil melakukan eksperimen ilmiah untuk mencari kebenaran tentang alam semesta.
1000 Tahun Sebelumnya
Sekitar 1000 tahun sebelum Galileo, lahirlah seorang pangeran salah satu kerajaan di India. Namanya adalah Siddharta Gautama. Ia juga memiliki dorongan kuat untuk memahami arti dari segala yang ada di dalam hidup ini. Terlebih, ia ingin mencari jalan untuk keluar dari penderitaan yang mencengkram semua manusia di dunia ini.
Ia pun menekuni jalan spiritualitas pada jamannya, yakni spiritualitas Vedanta yang sudah berkembang ribuan tahun di India. Ia menemukan, bahwa jalan spiritualitas Vedanta pada masanya terlalu keras, sehingga justru menghalangi orang untuk keluar dari penderitaan kehidupan. Ia pun menantang cara-cara lama pada jamannya, dan berusaha menemukan jalannya sendiri untuk sampai pada pencerahan. Jalan itulah yang nantinya kita kenal sebagai Buddha-Dharma, atau jalan sang Buddha.
Buddha-Dharma adalah jalan untuk menyadari kembali, siapa kita sebenarnya. Ia memberikan pencerahan, dan melepaskan manusia dari penderitaan. Di dalam jalan ini, orang juga menemukan pemahaman yang mendalam tentang alam semesta. Di titik ini, sains dan spiritualitas menjadi satu, dan melebur menjadi satu titik, yakni “bangunnya jati diri alamiah kita sebagai manusia”, atau awakening.
Beragam Tantangan
Siddharta dan Galileo adalah orang-orang yang berani bersikap kritis pada tradisi. Mereka berani menantang otoritas yang sudah tidak lagi pas dengan perkembangan jamannya. Sambil melakukan itu, mereka tetap setia pada jalan spiritualitas yang mereka pilih, sambil terus menggali kebenaran tentang alam semesta sebagaimana adanya. Jalan yang mereka tempuh tentu sama sekali tidak mudah.
Benturan dengan tradisi membawa mereka pada pengucilan. Mereka disalahpahami, bahkan hendak dibunuh, karena berpikir berbeda. Siddharta beberapa kali hendak dibunuh oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Galileo harus mengalami persidangan yang tidak adil, dan bahkan harus menjalani tahanan rumah, karena tidak setuju dengan Gereja Katolik Roma.
Namun, jalan hidup keduanya adalah jalan hidup ideal dalam terang sains dan spiritualitas. Mereka adalah para ilmuwan sejati yang mengedepankan pemikiran rasional dan eksperimen yang sistematik. Mereka tidak menelan mentah-mentah tradisi, atau percaya begitu saja pada anggapan-anggapan umum yang bertebaran. Di sisi lain, mereka tetap menjadi manusia yang beriman, religius dan spiritual.
Sains
Sains, atau ilmu pengetahuan, adalah sebuah upaya manusia untuk memahami alam semesta beserta segala isinya. Yang menjadi ciri khas sains adalah pendekatannya yang rasional dan eksperimental. Artinya, semua argumen yang dibangun haruslah masuk akal, dan bisa diuji di dalam berbagai bentuk eksperimen yang mungkin. Hasil dari sains adalah pengetahuan yang lebih dalam tentang alam semesta.
Pengetahuan tersebut haruslah memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Ia juga harus menjawab beberapa pertanyaan yang ada, sekaligus membuka pertanyaan-pertanyaan baru untuk diteliti lebih jauh. Buah dari sains adalah teknologi yang mempermudah kehidupan manusia. Kemudahan mencuci baju, berkomunikasi, mengola data dan transportasi adalah buah-buah langsung dari perkembangan sains.
Spiritualitas
Spiritualitas adalah cara hidup tertentu yang membawa orang keluar dari ego pribadinya. Ia menyadari, bahwa dirinya bukanlah melulu identitas pribadi ataupun sosialnya, melainkan bagian dari alam semesta itu sendiri. Tidak ada keterpisahan antara ego pribadi dengan alam semesta maha luas, yang menjangkau dunia atom sampai dengan kumpulan galaksi nun jauh disana. Spiritualitas membawa orang pada kerendahan hati, sekaligus melepaskan orang dari penderitaan.
Spiritualitas bersifat universal. Ia tidak bisa diikat pada satu agama tertentu. Titik terdalam pemahaman sufi master Islam dengan biksu di Tibet adalah satu dan sama. Titik pencerahan seorang Zen master di Jepang dengan pemahaman pandita Hindu di Bali adalah satu dan sama. Mereka semua sadar, bahwa segalanya itu terhubung dalam satu kesatuan jaringan yang maha luas.
Paradoks
Belajar dari pengalaman Galileo dan Siddharta, serta puluhan ilmuwan lainnya, kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semakin dalam seorang ilmuwan melakukan penelitian ilmiah, semakin dalam pula spiritualitasnya. Ia akan semakin sadar akan tempat manusia di keseluruhan alam semesta ini. Ia akan semakin ilmiah, sekaligus ia akan menjadi semakin spiritual. Inilah paradoks mendasar di dalam kaitan antara sains dan spiritualitas.
Sebaliknya juga sama. Semakin orang mendalami spiritualitasnya, semakin ia terbantu dengan berbagai penemuan ilmiah yang ada. Ia sama sekali tidak merasa terancam dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia justru semakin diperkaya dengan pemikiran kritis dan fakta-fakta menakjubkan, serta semakin rendah hati di hadapan kemegahan alam yang diungkap oleh ilmu pengetahuan. Semakin spiritual seseorang, maka hidup dan pemikirannya pun akan semakin ilmiah.
Alam semesta secara keseluruhan sudah berusia ribuan milyar tahun. Kecerdasannya sudah terbukti dalam bentuk beragam bintang, planet dan galaksi yang tersebar di jagad raya ini. Sebagai manusia, peradaban kita baru berkembang kurang lebih 20 ribu tahun. Dalam hitungan alam semesta, kita masih berusia hitungan detik, jika dibandingkan usia alam semesta ini.
Maka adalah masuk akal bagi kita untuk belajar dari alam semesta. Kita perlu untuk hidup sejalan dengan alam, namun bukan alam sebagaimana kita inginkan, melainkan alam sebagaimana adanya. Alam ini ada nun jauh di sana di antara bintang-bintang. Namun, ia juga ada di depan mata dan di dalam diri kita sendiri, yakni alam semesta kuantum yang berbicara di tingkat atomik dan molekular.
Di dalam kemegahan dan keunikan-keunikan alam semesta, kita merasa kecil. Kita bukanlah pusat alam semesta. Kita bukanlah mahluk spesial yang punya hak untuk berbuat semaunya. Di dalam kesadaran ini, ada sesuatu yang spiritual tampil ke depan. Ia tidak istimewa. Ia amat sederhana, sekaligus menggetarkan jiwa. Yang ilmiah dan yang spiritual melebur disini…
Penulis : Reza A.A Wattimena (Peneliti, Penulis dan Doktor dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman)
0 Response to "Sains dan Spiritualitas"
Post a Comment