Multikulturalisme dan Nengah-Nyeppur
Tuesday, May 31, 2016
Add Comment
[caption id="attachment_2102" align="aligncenter" width="650"] Rahmatul Ummah[/caption]
Penulis: Rahmatul Ummah
Tak banyak orang yang memahami dan mendalami filosofi hidup orang Lampung, sehingga filosofi hidup sebagai laku nilai dan entitas budaya jarang dikenali dan tersosialisasikan dengan baik. Kebanyakan orang hanya tahu tentang piil, itupun dengan pemaknaan beragam dan cenderung salah tafsir, karena piil sesungguhnya memiliki arti sebagai perilaku baik atau positif.
Piil yang sering disebut-sebut sebagai harga diri, sesungguhnya adalah penggalan dari filosofi hidup piil pesinggiri yang wajib diikuti oleh filosofi turunannya seperti juluk-adek, nemui-nyimah, nengah-nyappur dan sakai-sambaiyan (Abdul Syani, 2013). Secara ekstrim bisa dikatakan tak ada piil pesinggiri tanpa juluk-adek, nemui-nyimah, nengah nyeppur dan sakai sambaiyan.
Piil pesinggiri sendiri adalah bentukan dua kata, piil yang berarti perilaku dan pesinggiri yang berarti bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, dan tahu hak dan kewajiban, hatta piil pesinggiri memiliki makna tentang perilaku hidup bermoral, berjiwa besar dan paham hak dan kewajiban yang merujuk pada juluk-adek (gelar adat), nemui-nyimah (ramah terhadap tamu atau suka bertamu), nengah-nyeppur (suka bergaul dan toleran terhadap sesama), dan sakai sambaiyan (suka membantu dan bergotong royong).
Sesungguhnya tiga turunan filosofi hidup orang Lampung (nemui-nyimah, nengah-nyeppur dan sakai sambaiyan) yang merupakan dasar dari piil pesinggiri bisa menjadi jawaban atas keragaman etnik dan suku yang hidup dan berkembang di Lampung, sehingga sangat naif jika ada yang beranggapan bahwa orang Lampung intoleran, kasar dan tak mudah bergaul.
Pilihan filosofi hidup yang lahir sejak pertama orang Lampung mengukuhkan identitas ke-Lampung-annya, tentu saja adalah pilihan yang mengakar kuat pada sejarah tradisi para leluhur, yang gemar menolong (sakai-sambaiyan), menjaga silaturahim (nemui-nyimah), terbuka dan toleran, suka bergaul dengan kelompok dan golongan apapun (nengah-nyeppur) tanpa harus kehilangan identitas (juluk-adek).
Konstruksi falsafah hidup yang mengandung prinsip dan nilai-nilai yang luhur tentang tata-cara menjalani hidup ini, tak seharusnya hadir di ruang hampa hanya mengisi ruang-ruang ide dan konsep, falsafah hidup yang lahir sebagai sikap terhadap kehidupan ini harus menjadi metanarasi yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kehadiran filsafat piil pesinggiri tidak boleh hanya dalam pikiran, melainkan harus hadir dalam keseharian, dalam lingkungan untuk mencipta keharmonisan dan kemakmuran.
Nengah-Nyeppur dan Keragaman
Keragaman adalah sesuatu yang niscaya dan tidak mungkin dihindari. Keragaman itu bahkan lebih tua usianya dari manusia, yang ketika lahir juga telah lahir dengan segenap keragaman. Untuk itulah, hampir semua agama dalam kitab sucinya sangat akomodatif dengan isu-isu keragaman ini.
Keragaman lahir dari kesengajaan Tuhan sebagai jalan manusia untuk saling kenal dan memahami, belajar mencipta harmoni, memadu nada dan menata ritme hidup agar lebih indah. Namun, dalam perkembangannya manusia melakukan pengingkaran dan pengkhianatan terhadap fitrah alam sehingga keragaman justeru akhirnya memicu konflik dan benturan.
Maka tak ada jalan, selain kembali kepada fitrah alam dan ajaran suci manusia, para manusia yang hidup dalam struktur sosial, suku dan agama yang beragam, juga harus kembali pada ajaran yang ditinggalkan para leluhurnya, tentang filosofi hidup tentang kesetiakawanan, solidaritas dan sikap saling menghargai.
Di Lampung, prinsip hidup nengah-nyeppur merupakan petunjuk bahwa sesungguhnya orang Lampung memiliki tradisi yang terbuka dan supel, sikap mudah bergaul yang terdapat dalam filosofi nengah-nyeppur tidak mungkin dimiliki oleh pribadi yang tertutup, kasar dan egois.
Dalam banyak catatan sejarah, para leluhur orang Lampung adalah orang-orang yang memiliki kedermawanan dan suka menolong, ada banyak tanah yang dihibahkan dan diwakafkan untuk kepentingan kolonisasi di Zaman Belanda dan kepentingan Transmigrasi setelah kemerdekaan.
Saya beberapa kali mendapatkan cerita tentang fakta sejarah itu, bukan hanya dari mereka yang asli beretnis Lampung, tetapi juga dari beberapa etnis lain yang ada di Lampung, termasuk dari etnis Tionghoa. Mereka menjelaskan bahwa mereka secara rukun belajar bersama meracik obat dari berbagai macam tanaman yang subur tumbuh di tanah Lampung termasuk belajar beladiri, dan membangun rumah bersama.
Namun, kini nilai-nilai itu hampir punah. Tentu saja penyebabnya banyak faktor, yang salah satunya adalah ketaatan pada prinsip untuk saling menghargai dan menghormati, sikap tertutup dan saling mencurigai yang banyak dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman karena jarangnya interaksi dan komunikasi di ruang bersama yang guyub, egaliter dan nyaman.
Maka, di titik inilah pentingnya menghadirkan kembali tesis Habermas (1989) tentang pentingnya ruang publik untuk mengatasi kebuntuan perbedaan kepentingan dan menemukan konsensus bersama. Homogenitas dalam rupa identitas kolektif bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja oleh sejarah. Identitas itu bisa muncul dari isi cair suatu proses sirkular yang berlangsung melalui pelembagaan komunikasi para warga.
Nengah-nyeppur sebagai identitas ke-Lampung-an akan kehilangan maknanya sama sekali, jika hanya ada dalam konsep tetapi tidak pernah dipratikkan. Orang akan memiliki kesulitan memahami atau bahkan cenderung gagal paham, bahwa orang Lampung itu ramah, mudah bergaul, suka membantu, setiakawan, berjiwa besar dan menjunjung tinggi moralitas, jika filosofi hidupnya hanya dibacakan dan dicarakan.
Maka, sudah saatnya kembali menjadikan Lampung yang damai dan indah, menghadirkan ruang publik yang harmonis dan hangat.
Tabik []
Penulis: Rahmatul Ummah
Tak banyak orang yang memahami dan mendalami filosofi hidup orang Lampung, sehingga filosofi hidup sebagai laku nilai dan entitas budaya jarang dikenali dan tersosialisasikan dengan baik. Kebanyakan orang hanya tahu tentang piil, itupun dengan pemaknaan beragam dan cenderung salah tafsir, karena piil sesungguhnya memiliki arti sebagai perilaku baik atau positif.
Piil yang sering disebut-sebut sebagai harga diri, sesungguhnya adalah penggalan dari filosofi hidup piil pesinggiri yang wajib diikuti oleh filosofi turunannya seperti juluk-adek, nemui-nyimah, nengah-nyappur dan sakai-sambaiyan (Abdul Syani, 2013). Secara ekstrim bisa dikatakan tak ada piil pesinggiri tanpa juluk-adek, nemui-nyimah, nengah nyeppur dan sakai sambaiyan.
Piil pesinggiri sendiri adalah bentukan dua kata, piil yang berarti perilaku dan pesinggiri yang berarti bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, dan tahu hak dan kewajiban, hatta piil pesinggiri memiliki makna tentang perilaku hidup bermoral, berjiwa besar dan paham hak dan kewajiban yang merujuk pada juluk-adek (gelar adat), nemui-nyimah (ramah terhadap tamu atau suka bertamu), nengah-nyeppur (suka bergaul dan toleran terhadap sesama), dan sakai sambaiyan (suka membantu dan bergotong royong).
Sesungguhnya tiga turunan filosofi hidup orang Lampung (nemui-nyimah, nengah-nyeppur dan sakai sambaiyan) yang merupakan dasar dari piil pesinggiri bisa menjadi jawaban atas keragaman etnik dan suku yang hidup dan berkembang di Lampung, sehingga sangat naif jika ada yang beranggapan bahwa orang Lampung intoleran, kasar dan tak mudah bergaul.
Pilihan filosofi hidup yang lahir sejak pertama orang Lampung mengukuhkan identitas ke-Lampung-annya, tentu saja adalah pilihan yang mengakar kuat pada sejarah tradisi para leluhur, yang gemar menolong (sakai-sambaiyan), menjaga silaturahim (nemui-nyimah), terbuka dan toleran, suka bergaul dengan kelompok dan golongan apapun (nengah-nyeppur) tanpa harus kehilangan identitas (juluk-adek).
Konstruksi falsafah hidup yang mengandung prinsip dan nilai-nilai yang luhur tentang tata-cara menjalani hidup ini, tak seharusnya hadir di ruang hampa hanya mengisi ruang-ruang ide dan konsep, falsafah hidup yang lahir sebagai sikap terhadap kehidupan ini harus menjadi metanarasi yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kehadiran filsafat piil pesinggiri tidak boleh hanya dalam pikiran, melainkan harus hadir dalam keseharian, dalam lingkungan untuk mencipta keharmonisan dan kemakmuran.
Nengah-Nyeppur dan Keragaman
Keragaman adalah sesuatu yang niscaya dan tidak mungkin dihindari. Keragaman itu bahkan lebih tua usianya dari manusia, yang ketika lahir juga telah lahir dengan segenap keragaman. Untuk itulah, hampir semua agama dalam kitab sucinya sangat akomodatif dengan isu-isu keragaman ini.
Keragaman lahir dari kesengajaan Tuhan sebagai jalan manusia untuk saling kenal dan memahami, belajar mencipta harmoni, memadu nada dan menata ritme hidup agar lebih indah. Namun, dalam perkembangannya manusia melakukan pengingkaran dan pengkhianatan terhadap fitrah alam sehingga keragaman justeru akhirnya memicu konflik dan benturan.
Maka tak ada jalan, selain kembali kepada fitrah alam dan ajaran suci manusia, para manusia yang hidup dalam struktur sosial, suku dan agama yang beragam, juga harus kembali pada ajaran yang ditinggalkan para leluhurnya, tentang filosofi hidup tentang kesetiakawanan, solidaritas dan sikap saling menghargai.
Di Lampung, prinsip hidup nengah-nyeppur merupakan petunjuk bahwa sesungguhnya orang Lampung memiliki tradisi yang terbuka dan supel, sikap mudah bergaul yang terdapat dalam filosofi nengah-nyeppur tidak mungkin dimiliki oleh pribadi yang tertutup, kasar dan egois.
Dalam banyak catatan sejarah, para leluhur orang Lampung adalah orang-orang yang memiliki kedermawanan dan suka menolong, ada banyak tanah yang dihibahkan dan diwakafkan untuk kepentingan kolonisasi di Zaman Belanda dan kepentingan Transmigrasi setelah kemerdekaan.
Saya beberapa kali mendapatkan cerita tentang fakta sejarah itu, bukan hanya dari mereka yang asli beretnis Lampung, tetapi juga dari beberapa etnis lain yang ada di Lampung, termasuk dari etnis Tionghoa. Mereka menjelaskan bahwa mereka secara rukun belajar bersama meracik obat dari berbagai macam tanaman yang subur tumbuh di tanah Lampung termasuk belajar beladiri, dan membangun rumah bersama.
Namun, kini nilai-nilai itu hampir punah. Tentu saja penyebabnya banyak faktor, yang salah satunya adalah ketaatan pada prinsip untuk saling menghargai dan menghormati, sikap tertutup dan saling mencurigai yang banyak dilatarbelakangi oleh kesalahpahaman karena jarangnya interaksi dan komunikasi di ruang bersama yang guyub, egaliter dan nyaman.
Maka, di titik inilah pentingnya menghadirkan kembali tesis Habermas (1989) tentang pentingnya ruang publik untuk mengatasi kebuntuan perbedaan kepentingan dan menemukan konsensus bersama. Homogenitas dalam rupa identitas kolektif bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja oleh sejarah. Identitas itu bisa muncul dari isi cair suatu proses sirkular yang berlangsung melalui pelembagaan komunikasi para warga.
Nengah-nyeppur sebagai identitas ke-Lampung-an akan kehilangan maknanya sama sekali, jika hanya ada dalam konsep tetapi tidak pernah dipratikkan. Orang akan memiliki kesulitan memahami atau bahkan cenderung gagal paham, bahwa orang Lampung itu ramah, mudah bergaul, suka membantu, setiakawan, berjiwa besar dan menjunjung tinggi moralitas, jika filosofi hidupnya hanya dibacakan dan dicarakan.
Maka, sudah saatnya kembali menjadikan Lampung yang damai dan indah, menghadirkan ruang publik yang harmonis dan hangat.
Tabik []
0 Response to "Multikulturalisme dan Nengah-Nyeppur"
Post a Comment