Pram dan Rekonsiliasi

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.
(Pramoedya A. Toer, Saya Bukan Nelson Mandela, Tanggapan buat Goenawan Mohamad)


 

30 April 2006 Pramoedya Ananta Toer berpulang. Salah satu sastrawan besar yang dijuluki Albert Camusnya Indonesia oleh The San Francisco Chronicle ini pergi diusia 81 tahun. Kini setelah 10 tahun telah berlalu, sastrawan yang dikatakan oleh The New York Times sebagai sastrawan yang paling banyak berkorban untuk mendidik bangsanya ini akan terus dikenang.

Penulis kembali mengingat kepergian Pramoedya setelah menyimak Simposium Nasional 1965 beberapa waktu lalu. Ingatan ini kembali muncul setelah membaca Catatan Pinggir Goenawan Mohammad yang dimuat di Majalah Tempo Edisi 25 April- 1 Mei 2016 yang berjudul Maaf. Tampaknya Goenawan Mohammad menulis catatan pinggir ini berkaitan dengan pelaksanaan simposium nasional yang digelar beberapa hari sebelumnya.

Semasa hidupnya  Pramodeya Ananta Toer pernah berbalas tulisan dengan Goenawan Mohammad. Pemicunya adalah ketika  Presiden Abdurrahman Wahid menemui Pramoedya Ananta Toer. Gus Dur untuk  menyampaikan permintaan maaf atas tragedi 1965. Saat itu Pram menolak permintaan maaf yang menurutnya hanya basa-basi.

Saat itu Goenawan Mohammad lewat artikelnya Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer yang dimuat Majalah Tempo 3-9 April 2000 menyayangkan sikap Pram yang menolak permintaan maaf Gus Dur dan menganggapnya hanya basa-basi. Pramoedya sendiri menuliskan jawabanya untuk Goenawan Mohammad lewat artikelnya Saya Bukan Nelson Mandela. Lewat artikelnya Pram  mengingatkan bahwa persoalan penegakan hukum dan keadilan adalah hal yang utama sebelum bicara soal rekonsiliasi.

Bila membaca perdebatan keduanya yang dituangkan dalam tulisan  masing-masing, inti perdebatannya sesungguhnya adalah tentang bagaimana membangun rekonsiliasi. Bagi GM  maaf  adalah pintu awal rekonsiliasi, sayangnya ada  hal krusial yang mungkin terlupakan oleh GM.  Apakah dengan maaf urusan hukum dan penegakan keadilan dapat dikesampingkan?

Sementara Pramoedya  memandang rekonsiliasi hanya bisa dicapai ketika dimulai dengan penegakan hukum dan keadilan. Menurut Pram,  maaf tanpa penegakan hukum dan keadilan sesungguhnya hanyalah upaya membenarkan pelanggaran atas kemanusiaan.

Penulis memandang sikap Pram terhadap GM dapat dipahami. Secara rasional, bagaimana Pram bisa percaya begitu saja kepada GM yang notabene adalah bagian dari pendirian rezim Orde Baru yang telah melakukan kesewenang-wenangan. GM juga sebagaimana dikemukakan oleh Wijaya Herlambang adalah salah satu penerima dana penghancuran gerakan kiri di Indonesia dan berikutnya melibatkan diri dalam urusan maaf-memaafkan.

Kali ini GM memberikan contoh Sri Ambar, seorang anggota SOBSI yang mendapatkan siksaan berlapis yang tak hanya menimpa dirinya, tapi juga anak dan orang tuannya. Lewat sosok Sri Ambar GM kembali berupaya memberikan penguatan argumentasi terhadap urusan maaf-memaafkan sebagaimana telah dikemukakannya enam belas tahun lalu.

Sayangnya Pram telah berpulang, seandainya Pram masih hidup saya yakin ia akan kembali menjawab tulisan GM sama seperti apa yang dilakukannya enam belas tahun lalu. Mungkin,  sebelum melakukan rekonsiliasi dan maaf-memaafkan,  ada baiknya kita merefleksikan pesan Pram  bahwa seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.

 

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab

0 Response to "Pram dan Rekonsiliasi"

Post a Comment