Pulau Buru dan Hegemoni Sejarah
Friday, May 6, 2016
Add Comment
Oleh: Rahmatul Ummah
“Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah.”
(Laksmi Pamuntjak)
Kalimat di atas diucapkan Laksmi Pamuntjak ketika mengomentari Novel karyanya,Amba, tentang gejolak 65 dan Pulau Buru. Novel yang terbit lima belas tahun setelah reformasi. Laksmi Pamuntjak, adalah sosok yang lahir pada masa ketika anak-anak diajari mendaras sejarah 1965-1966 versi sang pemenang, Orde Baru, di tahun 1971, ketika tahanan politik atau tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru.
Pulau Buru!Ya, pulau Buru memang menyimpan banyak cerita. Tak akan pernah habis ditulis dan diperbincangkan. Pulau Buru selalu identik dengan kondisinya yang miris, tempat pembuangan tahan politik (tapol) pada masa Orde Baru, masa dimana kemanusiaan tidak memiliki harga. Di Pulau Buru, ribuan orang dicabut hak asasinya sebagai manusia, dibuang, disiksa, dibunuh secara tragis karena dianggap antek komunis.
Pulau Buru adalah tempat pembuangan! Bukan tempat rehabilitasi untuk pemberontak, sehingga layak disebut sebagai kebaikan hati pemerintah Orde Baru. Meski kemudian, kebanyakan kita mempercayai penumpasan komunis adalah bentuk kebaikan Soeharto.
Pulau Buru, yang sedang kita bahas ini (bukan pulau Buru secara keseluruhan yang ditempati berbagai etnik, seluas 8.473,2 km²) menurut Asvi Warman adalah tempat dibuangnya sekitar 10 ribu tapol peristiwa 1965 pada tahun 1969.Mereka yang dibuang di Pulau Buru disiksa dan disakiti. Jauh dari keluarga dan distigmakan sebagai PKI dan pengkhianat Negara.
Ribuan tahanan yang dibuang tersebut, dipaksa untuk membabat hutan menjadi lahan sawah, jembatan, merambah jalan. Tahun-tahun pertama pembuangan golongan B, pulau Buru masih hutan lebat dan gelap. Tapol yang masuk golongan B mendapat hukuman dengan dibuang ke Pulau Buru. Golongan A, dapat dipastikan tidak hidup. Sementara golongan C, lebih ringan. Terakhir pembuangan massal tapol/napol ke Pulau Buru yang terjadi tiga kali gelombang terjadi pada tahun 1971.
Para tapol didatangkan bergelombang dengan kapal yang lebih layak disebut tempat sampah. Mereka tinggal di unit yang telah ditentukan untuknya, dengan tanah sebagai kasur saat mereka tidur. Mereka dipaksa bekerja membangun sawah, jalan, dan jembatan tanpa upah. Mereka mencabut ilalang dengan tangan telanjangn, dan hanya dengan bermodalkan sabit, parang, dan cangkul, para tapol membabat habis hutan di Pulau Buru. Siksaan yang betubi-tubi telah menghilangkan tidak sedikit nyawa dari para tapol yang jumlahnya hampir 10.000 orang. Dinding, pohon, dan tanah telah merekam betapa kejamnya rezim Soeharto yang menghakimi para tapol tanpa pengadilan yang jelas.
Kini, setelah hampir setengah abad (1969 – 2016) berlalu, sejarah yang selamana ini selalu diajarkan dan dikonstruksi berdasarkan subyektifitas penguasa, didesakkan untuk diakui sebagai kebenaran tunggal, lewat buku-buku pelajaran di sekolah, perbincangan-perbincangan yang diawasi dan dibatasi, intinya tidak boleh ada sudut pandang yang berbeda, tidak boleh ada yang berbicara kecuali yang mereka inginkan, tidak boleh ada sejarah yang berbeda, semua harus versi pemerintah Orde Baru.
Kini, ketika semua orang mulai jenuh dipaksa menengok ke sebelah kanan, menggunakan satu mata, leher yang karam dan otak yang nyaris membeku, sebuah film Pulau Buru Tanah Air Beta hadir memberi pandangan baru, pandangan dalam perspektif mereka yang sering disudutkan, bukan hendak mencipta sejarah sebagaimana Laksmi Pamuntjak tegaskan, tetapi sekadar memberikan kebebasan menilai, memberi catatan-catatan kecil bahwa sesungguhnya ada sudut sebelah kiri yang tidak pernah ditengok, ada mata lain yang sering ditutup, ada nurani yang bisa bebas menilai.
Film Pulau Buru Tanah Air Beta bukanlah ancaman, bukanlah hantu. Film ini bertugas untuk melepaskan kebekuan pandangan, karamnya otak dan tak berfungsinya hati, film ini bertugas membebaskan orang yang selama ini tidak merdeka untuk menilai, film ini adalah kekayaan pandangan dan perspektif lain yang berupaya menyadarkan bahwa kita sebagai manusia, bebas melihat dan tak bisa dipaksa memandang sesuatu dalam sudut pandang yang tunggal.
Apakah setelah menonton dan menyaksikan film ini, tiba-tiba kita akan menjadi komunis, sebagaimana kekhawatiran pihak-pihak yang melarang dan selalu berusaha membubarkan acara dan kegiatan menonton film ini? Kekhawatiran yang naif dan tak beralasan! Kekhawatiran orang-orang yang selalu memandang bahwa rakyat bodoh, sehingga cara melihat dan berpikirnya juga harus diintervensi, rakyat dipaksa untuk menerima, diatur membaca, hanya menonton dan melihat hal-hal yang boleh menurut mereka!
Tak ada yang terancam oleh film Pulau Buru Tanah Air Beta kecuali mereka yang selama ini merampas dan mengangkangi kebebasan, mereka yang selama ini memaksa kita melihat hanya dengan menggunakan sebelah mata. Mereka yang selama ini merampok dan menguasai kekayaan kita, bukan hanya kekayaan materi tetapi juga kekayaan nurani dan pikiran! Kekuasaan hegemonik!
Dan, hanya ada satu kata buat mereka, Lawan!!! []
0 Response to "Pulau Buru dan Hegemoni Sejarah"
Post a Comment