Hantu itu Bernama Fasisme

Benito Mussolini, pemimpin diktator Italia semasa perang dunia kedua, pernah berkata, “Fasisme adalah agama. Abad dua puluh akan dikenang di dalam sejarah sebagai abad fasisme.”

Tidak hanya di abad dua puluh, fasisme mungkin salah satu unsur paling berbahaya di kehidupan politik dunia sekarang ini. Ia tidak menampilkan diri sebagai fasis, karena pasti akan langsung memperoleh perlawanan dari berbagai kelompok masyarakat. Namun, unsur-unsur fasis menyusupi berbagai kelompok politik yang ada, dan mempengaruhi pemikiran dasarnya. Orang bisa menyebut dirinya sebagai seorang demokrat terbuka, walaupun berpikir dan bertindak dengan gaya-gaya fasistik

Apa saja unsur-unsur fasisme yang mengancam politik dunia tersebut? Di dalam fasisme klasik, yang berkembang pada awal abad keduapuluh, rasa kecintaan pada bangsa dan negara dikembangkan sampai ke titik yang ekstrem. Berbagai manipulasi media dan simbol digunakan untuk tujuan tersebut. Slogan, upacara, dan bendera dijadikan alat propaganda, guna meningkatkan kecintaan yang bersifat semu terhadap bangsa dan negara.

Di tengah hingar bingar nasionalisme ekstrem semacam itu, menurut Lawrence Britt, hak-hak asasi manusia pun diabaikan. Atas alasan keamaan dan stabilitas politik, hak-hak asasi manusia ditunda. Akibatnya, banyak orang, yang dianggap sebagai musuh masyarakat, ditangkap, disiksa dan dibunuh. Ketidakadilan merajalela. Akan tetapi, semua itu dianggap sebagai hal biasa, dan bahkan perlu untuk keamanan masyarakat.

Di dalam keadaan semacam ini, sasaran hantam, atau kambing hitam, amatlah diperlukan. Kelompok masyarakat tertentu dijadikan sebagai musuh masyarakat. Semua tindakan jahat dan menindas dianggap sah, jika diarahkan pada kelompok tersebut. Di dalam sejarah, kita punya banyak nama untuk kelompok sasaran hantam ini, seperti komunis, sosialis, liberalis, teroris dan sebagainya.

Di dalam rezim fasistik, rasa takut dan rasa aman rakyat dijadikan alat politik. Alat untuk mempermainkan kedua perasaan itu adalah militer. Maka dari itu, di dalam pemerintahan fasistik, militer memperoleh banyak kemudahan dan fasilitas. Mereka dianggap sebagai pelindung utama rakyat, sekaligus penghancur musuh-musuh yang dianggap mengancam.

Pola pikir militeristik ini kental dengan pola pikir maskulin yang mengutamakan kaum pria, dan secara otomatis menyingkirkan kepentingan kaum perempuan. Di dalam sejarah, kita bisa melihat, bagaimana pemerintahan fasis disusun oleh para pria yang berasal dari latar belakang kelompok mayoritas. Pemisahan gender menjadi begitu kuat, dan bahkan mempengaruhi kehidupan politis. Rasa jijik terhadap kelompok yang berbeda pun meningkat pesat, seperti misalnya kebencian dan jijik pada kaum homoseksual, lesbian dan sebagainya.

Nafsu Kontrol

Fasisme adalah suatu bentuk pemerintahan yang hendak melakukan kontrol ketat terhadap hidup masyarakat demi mencapai tujuan-tujuan bejatnya. Salah satu kontrol yang paling kuat adalah kontrol terhadap media massa. Ada beberapa pemerintahan fasistik yang secara langsung mengontrol media-media massa yang ada. Ada yang menggunakan lembaga sensor untuk menentukan, berita apa yang layak ditayangkan kepada masyarakat luas.

Kontrol terhadap masyarakat kerap juga dibarengi dengan kontrol terhadap kehidupan batin. Disinilah agama memainkan peranannya di dalam pemerintahan fasistik. Pendapat kritis dipatahkan dengan menggunakan alasan-alasan berbau keagamaan. Agama dijadikan mesin politik untuk membenarkan kepentingan-kepentingan fasistik yang menindas. Alasan-alasan suci dipakai untuk membenarkan tindakan-tindakan kejam dan tidak adil.

Semua usaha kontrol ini tentu membutuhkan sumber daya yang amat besar. Oleh karena itu, pemerintah fasistik amat melindungi pengusaha-pengusaha kaya di masyarakat. Para pengusaha kaya tersebut memberikan uang kepada pemerintah fasis, supaya ia bisa terus mengontrol masyarakat sesuai dengan keinginannya. Sebagai balas jasa, pemerintah fasis, dengan dukungan militernya, melindungi kekayaan para pengusaha kaya tersebut, supaya mereka bisa semakin kaya, jika perlu dengan cara-cara yang curang.

Ketika masyarakat dirugikan, perlawanan pun muncul, biasanya dalam bentuk organisasi-organisasi kritis yang memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Di dalam pemerintahan fasistik, semua organisasi ini dihantam dan dihancurkan. Jika perlu, pemerintah fasis mendirikan organisasi boneka, supaya kesan nuansa demokratis tetap ada di dalam masyarakat, walaupun sebenarnya hanya palsu belaka. Daya dorong dari organisasi-organisasi kritis ini, yang biasanya adalah kaum intelektual, juga diberangus tanpa ampun.

Pemerintah fasis amat takut dengan suara-suara kaum intelektual dan seniman yang kritis. Dalam banyak kasus, kaum intelektual dan seniman kritis ditangkap, disiksa, dipenjara dan bahkan dibunuh. Karya seni dan buku-buku cerdas diberangus, karena dianggap mengacaukan pikiran, dan mengganggu stabilitas sosial. Yang tersisa kemudian adalah karya-karya intelektual dan seni yang membenarkan ketidakadilan sosial yang dibangun oleh pemerintah fasis tersebut.

Manipulasi Hukum

Disini terlihat kecenderungan mendasar dari pemerintah fasis, yakni menghukum. Di dalam pemerintahan fasistik, polisi bukanlah penjaga keamanan dan ketertiban hidup bersama, melainkan mesin penghukum. Orang-orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah dianggap sebagai penjahat, sehingga layak untuk ditangkap dan dipenjara. Polisi seolah punya kuasa tak terbatas untuk secara sembarangan menangkap orang, termasuk kalau penangkapan tersebut bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Lembaga-lembaga hukum juga tumpul di dalam pemerintahan fasistik. Di dalam sejarah, kita bisa melihat, bagaimana pemerintahan fasistik selalu disusun oleh segerombolan orang yang punya ikatan keluarga ataupun ideologi tertentu. Korupsi, Kolusi dan nepotisme bertebaran dimana-mana, termasuk di lembaga-lembaga hukum. Maka, berbagai pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat luas tidak mendapat hukuman apapun, bahkan justru diteruskan dan didukung penuh, baik secara terbuka ataupun tertutup, oleh pemerintah yang berkuasa.

Jika semua ini berlangsung terus, maka masyarakat akan hancur. Pemerintahan fasistik membutuhkan pencitraan yang baik, supaya ia tidak sepenuhnya menjadi musuh masyarakat. Keadaan yang kacau juga tidak baik untuk keberlangsungan pemerintahan fasistik. Maka, pembangunan kesan dan pencitraan juga amat perlu dilakukan.

Abad 21

Di abad 21 ini, pemerintahan fasistik kerap menyelenggarakan pemilihan umum rutin, seperti negara demokrasi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, semua pemilihan umum yang dilakukan merupakan basa basi belaka. Ada banyak kecurangan di dalamnya, seperti intimidasi lawan politik, politik uang, kampanye hitam yang berisi fitnah, penipuan media dan sebagainya. Pemilihan umum bagaikan tontonan belaka yang tak memiliki makna.

Juga di abad 21 ini, menurut Rob Riemen, fasisme memanfaatkan keadaan krisis untuk menciptakan rasa takut yang besar di dalam masyarakat. Masyarakat yang takut akan mudah dibohongi dan diperalat untuk tujuan-tujuan fasistik, yakni penguasaan, diskriminasi, manipulasi dan korupsi. Rasa takut juga membunuh daya kritis seseorang, sehingga ia mudah tertipu dengan karisma dangkal seorang pemimpin, dan kehilangan daya kritisnya untuk berpikir. Ia pun menjadi manusia massa yang tanpa roh. Inilah yang terjadi di berbagai belahan dunia sekarang ini, mulai di Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur, Australia dan sebagainya.

Riemen juga menegaskan, bahwa fasisme kini tetap menjadi bahaya tersembunyi, termasuk di dalam negara-negara demokrasi maju. Fasisme bagaikan virus yang menolak untuk lenyap seutuhnya. Riemen mengajak kita untuk bersikap waspada terhadap virus-virus fasisme tersebut, dan mengambil langkah yang diperlukan, guna menumpasnya. Ada beberapa sebab, menurut Riemen, mengapa fasisme tidak lenyap di jaman ini, melainkan justru, secara pelan namun pasti, berkembang menjadi bagian dari sistem politik dunia.

Fasisme yang Tak Pernah Mati

Yang pertama adalah ingkarnya partai-partai politik pada paham dasar mereka sendiri. Mereka melepas cita-cita luhur demi meraup kekuasaan sesaat. Yang kedua adalah miskinnya sikap kritis kaum cendekiawan. Mereka tidak lagi memiliki nilai kritis terhadap ketidakadilan, melainkan justru tunduk dan bekerja demi mempertahankan keadaan yang menindas.

Ini terhubung dengan sebab ketiga. Perguruan tinggi menjadi hamba dari uang dan kepentingan industri. Ia tidak lagi menjadi obor penerang kehidupan berbangsa, melainkan menjadi hamba-hamba kepentingan sesaat yang dangkal dan sesat. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut tidak layak menyandang sebutan perguruan tinggi.

Keempat, di sisi lain, para pengusaha yang semakin kaya dari bobroknya sistem yang ada justru semakin memiliki kekuasaan besar di dalam politik. Mereka tidak hanya merusak keberadaban politik, tetapi juga merusak lingkungan, demi meraup keuntungan sesaat. Ini lalu terhubung dengan sebab kelima, yakni lemahnya daya kontrol dan daya kritis media massa terhadap beragam ketidakadilan yang terjadi, baik dari sisi pemerintah maupun pengusaha.

Kehidupan

Riemen menggali lebih dalam akar dari fasisme di abad 21 ini, terutama fasisme di Eropa. Baginya, akar utamanya adalah penolakan pada hidup. Banyak orang tidak lagi mencintai kehidupan sebagaimana adanya. Ketika kehidupan ditolak, maka nilai-nilai luhur yang menopang kehidupan pun juga ditolak. Jika itu terjadi, maka hidup bersama akan jatuh ke dalam kebiadaban.

Jalan keluarnya, tambah Riemen, hanya satu, yakni kita harus kembali belajar untuk mencintai kehidupan. Kita harus kembali menghargai nilai-nilai luhur kehidupan, seperti kebaikan, cinta kasih, keindahan, persahabatan dan kearifan. Hanya dengan begitu, fasisme akan bisa dihancurkan dari kehidupan bersama kita. Untuk ini, pada hemat saya, filsafat dan ilmu pengetahuan barat tidak mampu memberikan jalan keluar yang memadai.

Keduanya berkembang dalam pertentangan dengan alam, dan bahkan ingin menguasai alam, semata demi memuaskan kepentingan sesaat manusia. Ini hanya dapat diubah, jika dasar berpikirnya diubah sama sekali, terutama dengan menggali pemikiran-pemikiran pencerahan di dalam filsafat Timur. Obat untuk penyakit politik fasisme mungkin bukan pemikiran baru ataupun penegakan hukum belaka, melainkan meditasi, yakni melihat dan menerima kehidupan sebagaimana adanya. Dari situ muncul cinta pada kehidupan yang akan menyembuhkan segalanya.

 

Penulis : Reza A.A Wattimena Peneliti, penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat München, Jerman

0 Response to "Hantu itu Bernama Fasisme"

Post a Comment