Puasa dan Dangdut

Pernahkah anda berada dalam suasana menikmati musik dangdut? Jika belum, setelah membaca tulisan ini, cobalah membiasakan untuk menikmatinya, meskipun dalam suasana memaksakan diri. Tak perlu terlalu paham apalagi meresapi makna dari setiap syair dan lagunya, cukup dengarkan dan rasakan daya magisnya, memaksa anda bergerak dan bergoyang!

Gambaran tentang bagaimana musik dangdut mampu ‘memaksa’ setiap pendengarnya untuk ikut bergerak dan bergoyang mengikuti alunan musik, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar menjadi gambaran yang sama pada ritual puasa, menggerakkan semua anasir, baik karena yang merasa terpanggil sebagai orang ‘beriman’ maupun yang tidak, spanduk hingga tayangan-tayangan televisi, semua bertema tentang puasa, semua bergoyang mengikuti ritme dan ritual puasa, bahkan artis-artis yang sebelumnya berpenampilan seronok dan seksi, tiba-tiba menjadi hijabers dan ustadzah.

Pada konteks ini dangdut dan puasa memiliki sisi kemiripan, terutama pada mitos, nilai spritualitas, dan daya magisnya. Dangdut adalah ritme musik yang dinamis, selalu memiliki kekuatan magis untuk bisa menggerakkan orang untuk berjoged, bergoyang, dan mengangguk-anggukan kepala mengikuti iramanya, puasa dengan daya magis berbeda, memiliki kekuatan memaksa untuk hormat dan taat terhadap suasana puasa, acara TV, lagu-lagu religi, artis-artis, ustadz-ustadzah dadakan, seolah terhipnotis menyamakan gerak dalam ritme ‘hormati Ramadhan’.

Dangdut yang mulanya adalah refleksi semangat dan aspirasi rakyat, musik perlawanan, khususnya bagi masyarakat kelas bawah dengan lagu-lagu bertema perjuangan dan kemanusiaan yang diciptakan oleh Rhoma Irama, diikuti oleh penyanyi-penyanyi seperti Mansyur S, Ida Laila, A. Rafiq, dan Muchsin Alatas telah memaksa beberapa grup penyanyi pop seperti Koes Plus menerbitkan beberapa album pom dangdut.

Pada masanya, musik dangdut telah berhasil memaksa ‘berduel’ beberapa aliran musik cadas seperti The God Bless, The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Black Sabbath, Grand Funk Railroad, Emerson Lake Palmer, dan Deep Purple di Indonesia dan berhasil menang, sebagaimana ditulis oleh Mochammad Salafi Handoyo dalam Membangun Identitas Dangdut, beberapa lagu Barat yang populer antara tahun 1960 hingga 1970-an, berhasil didangdutkan, beberapa musik daerah seperti gitar suling dari Cirebon juga sebagian bermetamorfosir menjadi tarlingdut, dangdut dan rock menjadi rockdut, langgam jawa menjadi campur sari, kerongcong dangdut menjadi congdut.

Pada tahun 1980-an dangdut akhirnya berhasil melahirkan subgenre musik, beberapa musik yang berasal dari Melayu Deli Sumatera, melahirkan Orkes Melayu (OM) Pancaran Sinar Petromaks (PSP), dilanjutkan oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) yang dimotori oleh Johny Iskandar.Musik dangdut benar-benar mampu menjadi penanda atas proses budaya-tanding dan gejolak berpikir rakyat atas kehidupan sosial, dalam istilah lain evolusi musik dangdut merupakan evolusi wajah kehidupan sosial Indonesia.

Pada ranah spiritualitas, puasa yang secara substansial merupakan ritus yang berupaya menggugah kesadaran dan empati terhadap kehidupan rakyat miskin dan kaum mustadhafien lewat media menahan lapar, dahaga dan mengurangi tidur sebagai gambaran umum kehidupan orang-orang susah, di level kesadaran simbolik berhasil menciptakan rasa malu dan bangga, malu untuk makan dan minum di siang hari dan bangga menampilkan simbol-simbol relegiusitas.

Namun, di level praksis apakah mereka yang bergerak mengikuti ritme puasa, memahami dan mampu menangkap maknanya, sehingga setelah menjalankan ibadah puasa memiliki kesadaran spiritual untuk peduli dan membantu orang-orang miskin dan kaum mustadhafien? Sama seperti meraka yang ikut bergoyang dan menikmati musik dangdut apakah mereka adalah penyuka yang mampu menangkap makna dan nilai perlawanan dari musik dangdut?

Dangdut dan puasa, seolah kehilangan autentisitasnya, dangdut sebagai musik kelas bawah atau puasa sebagai ruang untuk mencipta keprihatinan. Nyaris tak mungkin membangun keprihatinan di tengah-tengah tumpukan menu berbuka puasa yang tersaji di ruang berpendingin, dinikmati oleh mereka yang duduk di kursi empuk-berbusa.

Pada tahun 2000-an hingga kini, dangdut menjadi menjadi ruang ekspresi baru bagi rakyat menumpahkan kebebasannya, selain menjadi cara menggerakkan massa dalam hingar-bingar politik di musim kampanye Pemilu, kegaduhan ruang-ruang diskotik, klub malam dan berbagai tempat hiburan juga selalu menjadikan musik dangdut sebagai menu utama. Para artis yang memiliki modal suara dan wajah pas-pasan, juga selalu menjadikan dangdut sebagai jalan pintas untuk populer dan mengeruk materi.

Musik dangdut ala organ tunggal yang menampilkan penyanyi perempuan berpakaian seksi dan aransemen musik dinamis, semakin terangkat. Lambat laun selera masyarakat bergeser, lagu-lagu perjuangan, nada dan dakwah perlahan tergantikan oleh Cinta Satu Malam, Poko’e Joged, Janda di Bawah Umur (Jamur), Sambalodo, Merem Melek, Aku Mah Apa Atuh, Klepek-Klepek dan beribu judul lainnya yang bergenre dangdut koplo masuk ke ruang-ruang pribadi kita, dari suara-suara yang mendesah binal baik lewat radio, hape maupun TV.

Kini puasa, tampil dalam wajah yang tak jauh berbeda dari para artis dangdut, bergerak menjadi tren, bak selebritas yang haus puja-puji, menyerukan kehormatan untuk dihormati. Ibadah yang menyertainya, mengalami kapitalisasi dan festivalisasi. Puasa menjadi komoditas para pemodal.

Estetika Dangdut dan Spritualitas Puasa

Implementasi nilai estetika adalah berupa produk akhir, apakah menikmati musik dangdut adalah diam atau senyum puas setelah dihadapkan pada nilai-nilai moral yang berlaku, pada goyangan erotis dan tampilan seronok para biduan, padahal nilai-nilai moral (moral of values) adalah hakim sekaligus juri yang menentukan sebagai kemasuk-akalan bersama (sensus communis) yang bisa diterima atau tidak.

Bayangkan jika nilai estetika dangdut berlaku juga pada spritualitas puasa dicerap secara gebyah uyah. Tanpa kemampuan membaca pesan, makna dan implemetasi nilai ajarannya. Puasa pasti hanya bermakna semacam festival dan konser dangdut, yang hanya menghadirkan ekstasi memabukkan semacam candu yang berulang setiap tahun, melahirkan kegilaan-kegilaan baru, serupa penyanyi dangdut seksi berpakaian seronok dengan suara binal dan goyangan erotis.

Puasa yang sejatinya mampu menggelar empati terhadap sesama, menggelorakan semangat komunal, yang pada akhirnya harus bermuara kepada kepedulian untuk mengasihi sesama, berbagi kebahagian materi dan immateri, memangkas jarak si kaya dan si miskin.

Puasa memiliki bentuk formal dan pesan moral sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,  “Begitu banyak orang yang berpuasa, tetapi yang diperolehnya hanya lapar dan dahaga.” (H.R. Ahmad dan al-Darimi), untuk itu Rasulullah mengingatkan,  “Siapa melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan (imanan) dan mengharap keridhaan Allah (ihtisaban), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya terdahulu.”  (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Dalam bahasa lain, puasa sesungguhnya memiliki pesan moral dan mitos. Mitos bukan semata dipercaya sebagai pengampunan dosa-dosa, atau makna transendental ataupun hal-hal gaib, tetapi juga bisa dimaknai sebagaimana diajukan oleh Paul Ricouer yang juga diaminkan oleh Hans Georg Gadamer sebagai tradisi, prasangka, maupun simbolisasi sesuatu yang menggantikan kehadiran yang lain, puasa adalah menghadirkan kemiskinan untuk disikapi sebagai masalah bersama.

Puasa harus ditangkap sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan perubahan, dari laku konsumtif ke perilaku produktif memberi, dari individualis ke sosialis. Puasa sebagai ibadah publik yang telah menjadi kultur baru pada wilayah publik.

 

 

Penulis : Rahmatul Ummah (Pengelola Sai Wawai Publishing)

0 Response to "Puasa dan Dangdut"

Post a Comment