Sekolahku, Sekolah Anda dan Sekolah Kita
Friday, September 30, 2016
Add Comment
Saya memberi judul dengan replikasi seperti tulisan Gus Dur Islamku, Islam anda dan Islam Kita. Sekolah sampai saat ini menjadi alat ukur kemajuan. Negara paling tidak masih meyakini sekolah—dalam pengertian formal—adalah konsep yang paling penting untuk menaikkan taraf hidup. Sekolah juga menjadi budaya gengsi bagi sebagian orang tua. Dalam menentukan keberhasilan seorang anak, orang tua juga menjadikan ketinggian gelar sekolah sebagai alat ukur. Pertanyaannya, apakah selama ini sekolah menjadi ruang substansi untuk belajar. Tentu tidak semua orang tua punya kemampuan yang sama untuk menyekolahkan anaknya. Apalagi dalam perlombaan sekolah di ruang kota. Orang tua selalu cemas menginnginkan anaknya sekolah di tempat yang baik. Bagi mereka yang miskin, sekolah adalah barang mewah.
Full Day School yang belum lama menjadi perdebatan, setidaknya menjadi penanda bahwa pendidikan yang eksklusif, tercerabut dari ruang sosial seolah pilihan yang terbaik bagi pemerintah. Apakah semua ini benar? Saya kira ini salah kaprah. Kata ‘sekolah’ dengan ‘belajar’ semakin berjarak dalam prosesnya. Fakta hari ini, pendidikan formal semakin menjajah pola kreativitas diri. Mengingat kisah Rizky seorang anak yang berhenti sekolah SMP akibat kekecewaannya melihat perilaku buruk lembaga pendidikan. Rizky memilih mengikuti ujian paket B dan C, dan meninggalkan bangku sekolah yang penuh dengan tipu-tipu prestasi. Sekolah krisis kejujuran, solidaritas, tanggungjawab dan hal lain yang mematikan nurani. Apakah pendidikan kita pada on the right track?” Faktanya Rizky ketika tidak sekolah dijalur formal SMP dan SMA, dia kemudian diterima di fakultas Hukum Universitas Indonesia dan akhirnya diterima S2 di Harvard University.
Jangan-jangan ada tawaran lain yang lebih baik dari system pendidikan yang menindas seperti yang selama ini kita alami. Sekolah tidak membangun pengetahuan linier dengan nilai lokalitas, penyelamatan sumber daya alam dan akal kultural bangsa ini. Orang-orang yang mengenyam pendidikan semakin merusak lingkungan hidup, meninggalkan tradisi yang baik dan meninggalkan local wisdom. Beberapa hari lalu seorang kawan dalam suara telpon mengeluh soal sampah plastik. Dengan kondisi kekecewaan, kawan tersebut mengatakan,”bahwa semakin modern kita semakin menyakiti alam yang indah ini. Tanah tidak bisa melumat plastik, sampah elektronik, dan limbah yang mengotori aliran sungai yang dulu terlihat bening.” Sialnya, pendidikan kita tidak peka terhadap membangun kesadaran penyelamatan lingkungan hidup. Sekolah juga tidak mengajarkan untuk berkerjasama menang-sama sama menang. Di sekolah formal kita dikenalkan menyontek, kekerasan, membeda-bedakan, dan mengokohkan kesenjangan kelas sosial.
Komunitas sebagai sekolah informal harus berani membenturkan apa yang Everett Riemer ucapkan,”saya tahu sekolah telah mati (school is dead), juga apa yang Ivan Illich,” masyarakat tanpa sekolah (deschooling society).” Komunitas belajar informal harus di isi oleh orang-orang yang juga sekolah tapi juga mempraktikannya di ruang sosial. Dalam arti lain komunitas menjadi tempat praktik di ranah masyarakat dan arena sosial kultural. Kita melihat banyak sekali mereka yang hanya sekolah saja, tapi tidak memiliki kepekaan sosial untuk melakukan sesuatu secara kolektif. Orang-orang cerdas yang dilahirkan sekolah formal, lebih banyak menjadikan pengetahuan untuk kepentingannya sendiri dan melepaskan diri dari realitas persolan masyarakatnya.
Di kampus-kampus di negeri ini, beasiswa masih bersifat karikatif, minim melakukan upaya transformasi menuju pemberdayaan masyarakat. Kita masih berkutat pada empati, belum menuju empower. Bahkan mereka yang mendapat bantuan beasiswa mulai dari LPDP, Bidik Misi, Kemendikbud, Mora Kemenag dan beasiswa lainnya, tidak menjamin bahwa mereka kelak akan menjadi intelektual yang memiliki kepedulian sebagaimana mereka ditolong oleh negara. Sejak awal mereka yang mendapat beasiswa hanya diukur pada kecerdasan individu bukan pada ukuran kecerdasan sosial. Seharusnya mereka yang mendapat beasiswa juga ikut berjuang membebaskan mereka yang terbelenggu atas keterbatasan akses.
Kita bisa belajar dari Erix Vokal dan Bassis band Endank Soekamti yang mendirikan Sekolah alternatif. Erix manantang orang yang punya ijazah untuk membandingkan dengan kreativitas anak-anak muda yang belajar di komunitas dengan cara praktik. Does University, itulah nama sekolah yang diambil dari film documenter Erix, Diary of Erix Soekamti (DOES). Sekolah bentuknya informal, lebih lekat dengan sekolah bakat. Dalam belajarnya peserta dikarantina selama setengah tahun untuk dibekali ilmu-ilmu terapan. Generasi pertama Does University, para peserta dibelali ilmu animasi. Para pengajar bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah para profesional yang udah malang melintang di industri animasi. Erix menolak tunduk pada system kurikulum yang nir kreatif. Does University adalah sekolah komunitas yang membumi dan membebasakan mereka kalangan biasa, yang belajar dan bergerak dengan ilmu terapan.
Kita juga harus belajar pada Kampung Design di Magelang yang melegenda. Wachtdoc Documenter misalnya memberikan pelatihan sekolah pembuatan film untuk para buruh. Mereka yang dibekali skill pada akhirnya bisa menggunakannya untuk melawan atau memperjuangkan nasibnya sendiri. Pada level perjuangan membebaskan keterbelakangan, komunitas tentu terbatas. Gerakan komunitas ini pelan atau pasti kelak akan menginspirasi bahkan menggugat system pendidikan formal yang lebih mementingkan nilai bukan karya. Kita harus bisa membayangkan bahwa masa depan kehidupan satu dengan lainnya adalah untuk saling belajar dan menyebarkan pengetahuan untuk kemanusiaan.
Negara ini memang didirikan oleh orang yang berpendidikian, namun bukan orang pendidikan yang melepaskan diri dari problem bangsanya. Perlu juga diingat, bahwa mayoritas pejuang saat itu adalah mereka yang tidak banyak mengenyam pendidikan formal, namun bukan berarti mereka tidak belajar. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasiym Ashary misalnya mereka mendapatkan pengetahuan dengan cara-cara informal, belajar ke Mekkah, menimba ilmu dengan ulama, kemudian pulang membebaskan bangsanya dari keterbelakangan.
Pada level tertentu banyak orang berpendidikan yang memimpikan bekerja dikantoran di kota-kota besar. Sebagaimana televisi banyak menyajikan dalam film-film atau sinetron televisi. Padahal sesungguhnya yang terjadi, mereka banyak yang bergulat dengan kemacetan, sesak mengantri transportasi massal, polusi udara dan berakhir membuang umur bersama kota yang semakin tua. Ada beberapa orang yang sadar bahwa hidupnya akan habis dengan berjalannya perubahan kota yang semakin semrawut dan penuh emosi. Beberapa dari mereka kemudian memutuskan untuk pulang dan membangun kampung halaman. Mungkin benar Boy Fidro mengatakan,”sekolah tidak mengajarkan untuk pulang.” Seolah, ketika di kampung mereka akan bercampur dengan orang-orang ndeso, tidak terdidik dan bergulat dengan kemiskinan.
Pada dasarnya sekolah harus mampu mengajarkan semua orang untuk pulang kembali, ke asalnya, ke habitatnya dan ke akar persoalan bangsanya. Ijazah, nilai A, indeks prestasi komulatif (IPK) tinggi, rutinitas kuliah bukanlah tujuan. Seharusnya pergumulan, pertemuan ide, mendaratkan gagasan, dan melakukan eksperimesn gerakan lebih penting dan mendekatkan kita pada pembebasan dan kejumudan berpikir. Profesor di negeri ini banyak, Doktor juga banyak, tapi hutang negara makin bertambah. Coba bandingkan dengan konsepsi ekonomi dan pandangan hidup masyarakat Baduy di Banten, Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, dan Samin di Jawa Tengah. Dalam mempertahankan kedaulatan tanah adat, mereka tiada tanding. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal, tapi mereka adalah komunitas pembelajar sejati. Kita bisa memilih, melanjutkan pendidikan formal sembari belajar praktik di sekolah informal bersama warga. Pada akhirnya semua bebas memilih antara Sekolahku, Sekolah Anda dan Sekolah Kita. Dan mengajak menjadi ‘kita’ tentu tidak mudah.
Full Day School yang belum lama menjadi perdebatan, setidaknya menjadi penanda bahwa pendidikan yang eksklusif, tercerabut dari ruang sosial seolah pilihan yang terbaik bagi pemerintah. Apakah semua ini benar? Saya kira ini salah kaprah. Kata ‘sekolah’ dengan ‘belajar’ semakin berjarak dalam prosesnya. Fakta hari ini, pendidikan formal semakin menjajah pola kreativitas diri. Mengingat kisah Rizky seorang anak yang berhenti sekolah SMP akibat kekecewaannya melihat perilaku buruk lembaga pendidikan. Rizky memilih mengikuti ujian paket B dan C, dan meninggalkan bangku sekolah yang penuh dengan tipu-tipu prestasi. Sekolah krisis kejujuran, solidaritas, tanggungjawab dan hal lain yang mematikan nurani. Apakah pendidikan kita pada on the right track?” Faktanya Rizky ketika tidak sekolah dijalur formal SMP dan SMA, dia kemudian diterima di fakultas Hukum Universitas Indonesia dan akhirnya diterima S2 di Harvard University.
Jangan-jangan ada tawaran lain yang lebih baik dari system pendidikan yang menindas seperti yang selama ini kita alami. Sekolah tidak membangun pengetahuan linier dengan nilai lokalitas, penyelamatan sumber daya alam dan akal kultural bangsa ini. Orang-orang yang mengenyam pendidikan semakin merusak lingkungan hidup, meninggalkan tradisi yang baik dan meninggalkan local wisdom. Beberapa hari lalu seorang kawan dalam suara telpon mengeluh soal sampah plastik. Dengan kondisi kekecewaan, kawan tersebut mengatakan,”bahwa semakin modern kita semakin menyakiti alam yang indah ini. Tanah tidak bisa melumat plastik, sampah elektronik, dan limbah yang mengotori aliran sungai yang dulu terlihat bening.” Sialnya, pendidikan kita tidak peka terhadap membangun kesadaran penyelamatan lingkungan hidup. Sekolah juga tidak mengajarkan untuk berkerjasama menang-sama sama menang. Di sekolah formal kita dikenalkan menyontek, kekerasan, membeda-bedakan, dan mengokohkan kesenjangan kelas sosial.
Komunitas sebagai sekolah informal harus berani membenturkan apa yang Everett Riemer ucapkan,”saya tahu sekolah telah mati (school is dead), juga apa yang Ivan Illich,” masyarakat tanpa sekolah (deschooling society).” Komunitas belajar informal harus di isi oleh orang-orang yang juga sekolah tapi juga mempraktikannya di ruang sosial. Dalam arti lain komunitas menjadi tempat praktik di ranah masyarakat dan arena sosial kultural. Kita melihat banyak sekali mereka yang hanya sekolah saja, tapi tidak memiliki kepekaan sosial untuk melakukan sesuatu secara kolektif. Orang-orang cerdas yang dilahirkan sekolah formal, lebih banyak menjadikan pengetahuan untuk kepentingannya sendiri dan melepaskan diri dari realitas persolan masyarakatnya.
Di kampus-kampus di negeri ini, beasiswa masih bersifat karikatif, minim melakukan upaya transformasi menuju pemberdayaan masyarakat. Kita masih berkutat pada empati, belum menuju empower. Bahkan mereka yang mendapat bantuan beasiswa mulai dari LPDP, Bidik Misi, Kemendikbud, Mora Kemenag dan beasiswa lainnya, tidak menjamin bahwa mereka kelak akan menjadi intelektual yang memiliki kepedulian sebagaimana mereka ditolong oleh negara. Sejak awal mereka yang mendapat beasiswa hanya diukur pada kecerdasan individu bukan pada ukuran kecerdasan sosial. Seharusnya mereka yang mendapat beasiswa juga ikut berjuang membebaskan mereka yang terbelenggu atas keterbatasan akses.
Kita bisa belajar dari Erix Vokal dan Bassis band Endank Soekamti yang mendirikan Sekolah alternatif. Erix manantang orang yang punya ijazah untuk membandingkan dengan kreativitas anak-anak muda yang belajar di komunitas dengan cara praktik. Does University, itulah nama sekolah yang diambil dari film documenter Erix, Diary of Erix Soekamti (DOES). Sekolah bentuknya informal, lebih lekat dengan sekolah bakat. Dalam belajarnya peserta dikarantina selama setengah tahun untuk dibekali ilmu-ilmu terapan. Generasi pertama Does University, para peserta dibelali ilmu animasi. Para pengajar bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah para profesional yang udah malang melintang di industri animasi. Erix menolak tunduk pada system kurikulum yang nir kreatif. Does University adalah sekolah komunitas yang membumi dan membebasakan mereka kalangan biasa, yang belajar dan bergerak dengan ilmu terapan.
Kita juga harus belajar pada Kampung Design di Magelang yang melegenda. Wachtdoc Documenter misalnya memberikan pelatihan sekolah pembuatan film untuk para buruh. Mereka yang dibekali skill pada akhirnya bisa menggunakannya untuk melawan atau memperjuangkan nasibnya sendiri. Pada level perjuangan membebaskan keterbelakangan, komunitas tentu terbatas. Gerakan komunitas ini pelan atau pasti kelak akan menginspirasi bahkan menggugat system pendidikan formal yang lebih mementingkan nilai bukan karya. Kita harus bisa membayangkan bahwa masa depan kehidupan satu dengan lainnya adalah untuk saling belajar dan menyebarkan pengetahuan untuk kemanusiaan.
Negara ini memang didirikan oleh orang yang berpendidikian, namun bukan orang pendidikan yang melepaskan diri dari problem bangsanya. Perlu juga diingat, bahwa mayoritas pejuang saat itu adalah mereka yang tidak banyak mengenyam pendidikan formal, namun bukan berarti mereka tidak belajar. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasiym Ashary misalnya mereka mendapatkan pengetahuan dengan cara-cara informal, belajar ke Mekkah, menimba ilmu dengan ulama, kemudian pulang membebaskan bangsanya dari keterbelakangan.
Pada level tertentu banyak orang berpendidikan yang memimpikan bekerja dikantoran di kota-kota besar. Sebagaimana televisi banyak menyajikan dalam film-film atau sinetron televisi. Padahal sesungguhnya yang terjadi, mereka banyak yang bergulat dengan kemacetan, sesak mengantri transportasi massal, polusi udara dan berakhir membuang umur bersama kota yang semakin tua. Ada beberapa orang yang sadar bahwa hidupnya akan habis dengan berjalannya perubahan kota yang semakin semrawut dan penuh emosi. Beberapa dari mereka kemudian memutuskan untuk pulang dan membangun kampung halaman. Mungkin benar Boy Fidro mengatakan,”sekolah tidak mengajarkan untuk pulang.” Seolah, ketika di kampung mereka akan bercampur dengan orang-orang ndeso, tidak terdidik dan bergulat dengan kemiskinan.
Pada dasarnya sekolah harus mampu mengajarkan semua orang untuk pulang kembali, ke asalnya, ke habitatnya dan ke akar persoalan bangsanya. Ijazah, nilai A, indeks prestasi komulatif (IPK) tinggi, rutinitas kuliah bukanlah tujuan. Seharusnya pergumulan, pertemuan ide, mendaratkan gagasan, dan melakukan eksperimesn gerakan lebih penting dan mendekatkan kita pada pembebasan dan kejumudan berpikir. Profesor di negeri ini banyak, Doktor juga banyak, tapi hutang negara makin bertambah. Coba bandingkan dengan konsepsi ekonomi dan pandangan hidup masyarakat Baduy di Banten, Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, dan Samin di Jawa Tengah. Dalam mempertahankan kedaulatan tanah adat, mereka tiada tanding. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal, tapi mereka adalah komunitas pembelajar sejati. Kita bisa memilih, melanjutkan pendidikan formal sembari belajar praktik di sekolah informal bersama warga. Pada akhirnya semua bebas memilih antara Sekolahku, Sekolah Anda dan Sekolah Kita. Dan mengajak menjadi ‘kita’ tentu tidak mudah.
0 Response to "Sekolahku, Sekolah Anda dan Sekolah Kita"
Post a Comment