Duka Penggusuran adalah Logika Pembangunanisme Maha Serakah
Tuesday, October 4, 2016
Add Comment
Kalis Mardiasih
Ini sebuah ungkapan lama yang konon berasal dari Mahatma Gandhi, tetapi tetap layak untuk dipercaya: Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak pernah cukup untuk tujuh manusia yang serakah.
Sekumpulan keluarga semakin merasa tidak cukup untuk tinggal dalam satu rumah. Setiap anak dan setiap menantu harus memiliki rumah baru. Rumah, dan atau perumahan baru terus dibangun, meskipun tidak pernah ditempati. Vila-vila orang kaya di Bogor dan Apartemen di Jakarta Utara, juga telah menyusul ke Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, lebih sering menjadi simbol kepongahan manusia. Kota yang moderen adalah kota yang memiliki pusat perbelanjaan minimal lima lantai dengan gerai-gerai produk merek internasional. Lebar ruang parkir mobilnya setara dengan lebar lima desa. Kita biasa menyebutnya dengan mall. Orang-orang sering meluangkan waktu untuk berjalan-jalan meski tidak mampu untuk membeli barang yang dijual. Pada lampu-lampu terang bangunan pencakar langit itu, buah dan sayuran dari sawah dan ladang dijual dengan angka berpuluh kali lipat harga pasar tradisional, cukup dengan membubuhkan label berbahasa Inggris seperti “healthy”, “American”, “for diet”.
Oxfam International baru saja merilis sebuah laporan betapa produk makanan dan minuman di seluruh dunia dikuasai hanya oleh sepuluh perusahaan besar, diantaranya, yang akrab oleh masyarakat kita adalah: Nestle, Coca Cola, Unilever, Danone, Pepsico. Merek-merek yang menggantikan air minum kita yang dulu berasal dari rebusan sumur tanah disugesti tidak lebih sehat, tidak lebih higienis dan tidak bisa bikin fokus “100%” dibanding merek-merek air minum kemasan. Merek-merek yang pabriknya di Tangerang, di Bogor, di Klaten, di Karanganyar, sering mendapat perlawanan dari rakyat setempat sebab penduduk lokal bahkan tidak lagi memiliki air mandi dan mencuci yang layak.
Manusia membeli gaya hidup, bukan kebutuhan hidup. Sedang di belakang bangunan itu, terdapat bedengan-bedengan kumuh yang terbuat dari potongan seng, kayu rapuh, kardus, dan segala perkakas bekas yang bisa berfungsi sebagai pelindung panas dan hujan. Hunian itu dihuni oleh kaum papa yang jangankan memiliki E-Ktp, mereka adalah manusia-manusia tanpa identitas yang telah lama tidak tercatat oleh selembar kartu keluarga manapun, dengan KTP yang barangkali telah kadaluarsa sejak dua puluh tahun lalu. Jika mereka dimatikan kemudian dibuang ke laut atau belantara sepi, senantiasa tak akan ada yang mencari, apalagi sekadar menangisi. Kita tak pernah tahu kemana Negara “mengamankan” para gelandangan, miskin dan pengacau, bukan?
Linda Christanty, jurnalis perempuan pejuang kemanusiaan itu pernah menuliskan secuplik gambaran khas semacam itu, yang mengambil lokasi di sebuah komunitas kumuh di belakang Mal Taman Anggrek Jakarta Pusat dalam sebuah feature berjudul Hikayat Kebo. Dahulu, judul ini adalah bacaan wajib semua anggota Pers Mahasiswa. Entah kini.
Saya pernah menangkap sebuah situasi ironi. Suatu ketika, di sebuah toko Indomaret yang berdiri di kampung yang cukup pelosok, saya mendapati seorang ibu dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Kampung itu sungguh pelosok, jauh dari keramaian kota, dan masih gelap di malam hari. Dinding rumah masih terbuat dari gebyog bambu rakitan yang biasa disebut gedeg. Mereka tidak memiliki konsep ruang tamu, sebab ruang depan menyatu dengan kamar tuannya adalah ruang bagi ternak sapi atau kambing. Masyarakat petani jaman dahulu memiliki falsafah “raja kaya” (baca: rojo koyo), di mana hewan ternak dianggap sebagai sumber penghidupan yang wajib dimuliakan setara dengan manusia. Di masa lalu, sapi membajak sawah, dan hingga kini posisi sapi telah banyak digunakan mesin traktor, kampung itu masih memuliakan sapi-sapi di ruang depan rumahnya. Sapi-sapi kini adalah tabungan untuk sesuatu yang penting di masa depan, seperti biaya pendidikan anak, biaya pernikahan atau biaya kelahiran.
Seorang ibu dan tiga anak kecilnya itu masuk ke Indomaret tanpa alas kaki. Indomaret ber-AC, padahal di kampung itu, kehadiran AC seharusnya tidak dibutuhkan. Pepohonan masih aktif memproduksi ruang segar terbuka, tidak seperti aliran udara mampat di perkotaan. Anak-anaknya memandang takjub pada makanan-makanan ringan dan minuman-minuman kaleng yang terpajang di rak. Satu anaknya takjub membuka kulkas es krim. Sang Ibu yang kebingungan lebih banyak menolak permintaan anaknya, menganggap harga-harga terlalu mahal. Akhirnya, mereka keluar toko setelah memutuskan membeli sebungkus roti.
“Ada ketela, pisang dan kacang, buat apa makan roti.” Gerutu si Ibu.
Sebuah toko Indomaret di kampung itu berdiri di atas lahan persawahan. Ada beberapa titik lahan lain yang mulai berubah menjadi bakal perumahan. Rumah-rumah kompleks dengan desain moderen dan bertipe seragam itu, tentu tidak akan dihuni oleh penduduk lokal melainkan orang-orang asing yang datang dari kota. Penduduk lokal yang semakin lama menyadari telah kehilangan lahannya, akhirnya pergi ke kota, untuk kemudian menjadi kalah, dan mendapati kampungnya tidak lagi sama.
Otak anak-anak tidak lagi merekam ingatan tentang kupu-kupu, belalang, capung dan kepik, melainkan dari gambar-gambar belaka. Kaki-kaki mereka tidak lagi akrab dengan basah rumput selepas hujan atau tanah lapang untuk bermain bola, sebab sudah tak ada lagi. Kelak, mereka akan kesulitan untuk memunculkan imajinasi lukisan pemandangan dua gunung dengan persawahan luas yang dibelah oleh jalan setapak, sebab yang mereka lihat hanya bangunan-bangunan murung tanpa penghuni. Ya, penghuni-penghuni itu ada di kota, bekerja sejak subuh hari hingga larut, dan gajinya habis untuk membeli jasa hiburan, jasa pijat dan layanan seks untuk membayar kelelahannya sendiri yang ternyata tidak cukup terpuaskan oleh berbagai fitur aplikasi. Mereka sesekali pulang ke kampung bukan untuk sebuah rumah, namun untuk memamerkan rupa gengsi.
“Orang sudah sedari lahir di kampungnya, hidup damai di tanahnya sendiri, nyari makan sebisa-bisa, Cuma gara-gara miskin dan kumuh, digusur. Gunung nggak salah apa-apa, ditimpa bangunan baru. Laut nggak tahu apa-apa, ditimpa bangunan baru. Nanti kalau gunungnya marah, lautnya marah, kebingungan lagi. Bikin proyek rekayasa lagi. Manusianya yang digusuri lagi. Yang miskin yang nggak boleh hidup lagi. Ini logika orang bodoh yang nggak pernah sekolah lho, Nduk.” Ujar Bapak saya setelah menonton siaran berita pembangunan yang mengorbankan sebuah perkampungan di Jakarta, tentu saja bukan baru sekali ada berita semacam itu.
Anehnya, narasi hidup semacam ini tidak dipahami oleh mereka, para antroposentrisme, pemuja pembangunanisme, atau mungkin pura-pura dilupakan untuk menjadi pendukung buta seorang pemimpin yang pernah berjanji pro-rakyat.
Ini sebuah ungkapan lama yang konon berasal dari Mahatma Gandhi, tetapi tetap layak untuk dipercaya: Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak pernah cukup untuk tujuh manusia yang serakah.
Sekumpulan keluarga semakin merasa tidak cukup untuk tinggal dalam satu rumah. Setiap anak dan setiap menantu harus memiliki rumah baru. Rumah, dan atau perumahan baru terus dibangun, meskipun tidak pernah ditempati. Vila-vila orang kaya di Bogor dan Apartemen di Jakarta Utara, juga telah menyusul ke Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya, lebih sering menjadi simbol kepongahan manusia. Kota yang moderen adalah kota yang memiliki pusat perbelanjaan minimal lima lantai dengan gerai-gerai produk merek internasional. Lebar ruang parkir mobilnya setara dengan lebar lima desa. Kita biasa menyebutnya dengan mall. Orang-orang sering meluangkan waktu untuk berjalan-jalan meski tidak mampu untuk membeli barang yang dijual. Pada lampu-lampu terang bangunan pencakar langit itu, buah dan sayuran dari sawah dan ladang dijual dengan angka berpuluh kali lipat harga pasar tradisional, cukup dengan membubuhkan label berbahasa Inggris seperti “healthy”, “American”, “for diet”.
Oxfam International baru saja merilis sebuah laporan betapa produk makanan dan minuman di seluruh dunia dikuasai hanya oleh sepuluh perusahaan besar, diantaranya, yang akrab oleh masyarakat kita adalah: Nestle, Coca Cola, Unilever, Danone, Pepsico. Merek-merek yang menggantikan air minum kita yang dulu berasal dari rebusan sumur tanah disugesti tidak lebih sehat, tidak lebih higienis dan tidak bisa bikin fokus “100%” dibanding merek-merek air minum kemasan. Merek-merek yang pabriknya di Tangerang, di Bogor, di Klaten, di Karanganyar, sering mendapat perlawanan dari rakyat setempat sebab penduduk lokal bahkan tidak lagi memiliki air mandi dan mencuci yang layak.
Manusia membeli gaya hidup, bukan kebutuhan hidup. Sedang di belakang bangunan itu, terdapat bedengan-bedengan kumuh yang terbuat dari potongan seng, kayu rapuh, kardus, dan segala perkakas bekas yang bisa berfungsi sebagai pelindung panas dan hujan. Hunian itu dihuni oleh kaum papa yang jangankan memiliki E-Ktp, mereka adalah manusia-manusia tanpa identitas yang telah lama tidak tercatat oleh selembar kartu keluarga manapun, dengan KTP yang barangkali telah kadaluarsa sejak dua puluh tahun lalu. Jika mereka dimatikan kemudian dibuang ke laut atau belantara sepi, senantiasa tak akan ada yang mencari, apalagi sekadar menangisi. Kita tak pernah tahu kemana Negara “mengamankan” para gelandangan, miskin dan pengacau, bukan?
Linda Christanty, jurnalis perempuan pejuang kemanusiaan itu pernah menuliskan secuplik gambaran khas semacam itu, yang mengambil lokasi di sebuah komunitas kumuh di belakang Mal Taman Anggrek Jakarta Pusat dalam sebuah feature berjudul Hikayat Kebo. Dahulu, judul ini adalah bacaan wajib semua anggota Pers Mahasiswa. Entah kini.
Saya pernah menangkap sebuah situasi ironi. Suatu ketika, di sebuah toko Indomaret yang berdiri di kampung yang cukup pelosok, saya mendapati seorang ibu dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Kampung itu sungguh pelosok, jauh dari keramaian kota, dan masih gelap di malam hari. Dinding rumah masih terbuat dari gebyog bambu rakitan yang biasa disebut gedeg. Mereka tidak memiliki konsep ruang tamu, sebab ruang depan menyatu dengan kamar tuannya adalah ruang bagi ternak sapi atau kambing. Masyarakat petani jaman dahulu memiliki falsafah “raja kaya” (baca: rojo koyo), di mana hewan ternak dianggap sebagai sumber penghidupan yang wajib dimuliakan setara dengan manusia. Di masa lalu, sapi membajak sawah, dan hingga kini posisi sapi telah banyak digunakan mesin traktor, kampung itu masih memuliakan sapi-sapi di ruang depan rumahnya. Sapi-sapi kini adalah tabungan untuk sesuatu yang penting di masa depan, seperti biaya pendidikan anak, biaya pernikahan atau biaya kelahiran.
Seorang ibu dan tiga anak kecilnya itu masuk ke Indomaret tanpa alas kaki. Indomaret ber-AC, padahal di kampung itu, kehadiran AC seharusnya tidak dibutuhkan. Pepohonan masih aktif memproduksi ruang segar terbuka, tidak seperti aliran udara mampat di perkotaan. Anak-anaknya memandang takjub pada makanan-makanan ringan dan minuman-minuman kaleng yang terpajang di rak. Satu anaknya takjub membuka kulkas es krim. Sang Ibu yang kebingungan lebih banyak menolak permintaan anaknya, menganggap harga-harga terlalu mahal. Akhirnya, mereka keluar toko setelah memutuskan membeli sebungkus roti.
“Ada ketela, pisang dan kacang, buat apa makan roti.” Gerutu si Ibu.
Sebuah toko Indomaret di kampung itu berdiri di atas lahan persawahan. Ada beberapa titik lahan lain yang mulai berubah menjadi bakal perumahan. Rumah-rumah kompleks dengan desain moderen dan bertipe seragam itu, tentu tidak akan dihuni oleh penduduk lokal melainkan orang-orang asing yang datang dari kota. Penduduk lokal yang semakin lama menyadari telah kehilangan lahannya, akhirnya pergi ke kota, untuk kemudian menjadi kalah, dan mendapati kampungnya tidak lagi sama.
Otak anak-anak tidak lagi merekam ingatan tentang kupu-kupu, belalang, capung dan kepik, melainkan dari gambar-gambar belaka. Kaki-kaki mereka tidak lagi akrab dengan basah rumput selepas hujan atau tanah lapang untuk bermain bola, sebab sudah tak ada lagi. Kelak, mereka akan kesulitan untuk memunculkan imajinasi lukisan pemandangan dua gunung dengan persawahan luas yang dibelah oleh jalan setapak, sebab yang mereka lihat hanya bangunan-bangunan murung tanpa penghuni. Ya, penghuni-penghuni itu ada di kota, bekerja sejak subuh hari hingga larut, dan gajinya habis untuk membeli jasa hiburan, jasa pijat dan layanan seks untuk membayar kelelahannya sendiri yang ternyata tidak cukup terpuaskan oleh berbagai fitur aplikasi. Mereka sesekali pulang ke kampung bukan untuk sebuah rumah, namun untuk memamerkan rupa gengsi.
“Orang sudah sedari lahir di kampungnya, hidup damai di tanahnya sendiri, nyari makan sebisa-bisa, Cuma gara-gara miskin dan kumuh, digusur. Gunung nggak salah apa-apa, ditimpa bangunan baru. Laut nggak tahu apa-apa, ditimpa bangunan baru. Nanti kalau gunungnya marah, lautnya marah, kebingungan lagi. Bikin proyek rekayasa lagi. Manusianya yang digusuri lagi. Yang miskin yang nggak boleh hidup lagi. Ini logika orang bodoh yang nggak pernah sekolah lho, Nduk.” Ujar Bapak saya setelah menonton siaran berita pembangunan yang mengorbankan sebuah perkampungan di Jakarta, tentu saja bukan baru sekali ada berita semacam itu.
Anehnya, narasi hidup semacam ini tidak dipahami oleh mereka, para antroposentrisme, pemuja pembangunanisme, atau mungkin pura-pura dilupakan untuk menjadi pendukung buta seorang pemimpin yang pernah berjanji pro-rakyat.
0 Response to "Duka Penggusuran adalah Logika Pembangunanisme Maha Serakah"
Post a Comment