Ahok, Pram dan Kemanusiaan Gusdur
Thursday, October 13, 2016
Add Comment
Tionghoa! jauh sebelum Ahok menggusur warga Bukit Duri, Etnis Tionghoa adalah polemik rasial yang berkepanjangan. Betapa besar sumbangan Tionghoa bagi kemerdekaan Indonesia sehingga Pram menyebut orang Tionghoa dan Indonesia adalah tembong hitam di atas pantat bayi. Dengan kata lain bayi Tionghoa dan bayi indonesia lainnya mempunyai tanda hitam itu sebagai sebuah pertalian sejarah dan hibrid kebudayaan yang tidak bisa diingkari. Membincang sejarah Indonesia tanpa Tionghoa sesuatu yang sangat naif. Hoakiau adalah karya polemik dan keberanian seorang Pram melawan tendensi rasial pada tahun 1959. Dan Pram harus membayar keberaniannya itu dengan meringkus di sel rumah tahanan militer. “Teks Hoakiau adalah sebuah cetusan sikap berperikemanusiaan, suatu sikap yang yang tidak mungkin diberi tapal geografis ataupun rasial.”Ucap Pram. Tidak ada ‘perikemanusiaan limited’ dalam pandangan Pram. Dan kekerasan terhadap orang Tionghoa saat itu adalah bagian ketidakmanusiaan itu sendiri.
Setelah muncul Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yaitu memindahkan orang Tionghoa dari pedesaan, didukung oleh semua partai politik kecuali PKI. PP No 10 itu ditandatangani Soekarno, bahwa semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka diwilayah pedalaman. Setelah PP sersebut banyak tragedi di daerah-daerah misal di Jawa Barat,”tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa. Bahkan lebih dari 100 ribu keturunan Cina meninggalkan Indonesia.”
Selain itu ada kebijakan pemerintah mewajibkan pergantian nama lokal bagi etnis Tionghoa, walaupun pada dasarnya Soekarno menolak tegas wacana di atas. “...nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli? Tidak! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak? Tidak! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya mi nta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia.”
Sampai pada suatu masa Orde Baru, etnis Tionghoa dilarang mamasuki jabatan negara termasuk di militer, polisi, PNS dan jabatan strategis di pemerintahan. Sejak kebijakan yang membangun ‘segregasi rasialis’, negara telah menempatkan etnis Tionghoa sebagai Sang Liyan atau the others. Negara ini lupa bahwa sumbangan etnis Tionghoa sangat besar dalam kemerdekaan. Mereka yang lahir di negeri ini sejak lama dan mencintai nusantara sebagai tanah air dibedakan atas persoalan warna kulit sampai pada proses hubungan kebudayaan, ekonomi dan politik yang sangat diskriminatif.
Pada dasarnya Pemerintah membuat lubang perbedaan itu sendiri, sebagaimana abad 16 warisan VOC yang membuat kebijakan melarang wanita Belanda untuk tidak berhubungan seks dengan warga lokal, dengan alasan menurunkan martabat dan menjadi kemerosotan bangsa Eropa. Kebijakan ini terus berlanjut dengan membangun dikotomi rasial dimana ‘hibriditas’ dilarang dan barat mengagungkan bangsanya. Bahwa Inlander harus menjadi Inlander, Cina harus menjadi Cina dengan segala atribut kebudayaannya, Jawa harus menjadi Jawa yang saat itu dianggap jongos kolonial. Cina dilarang berpakaian di luar baju mandarin, sepatu bersol, dan harus tinggal berkoloni dengan warga peranakan Cina lainnya—akrab disebut ‘pecinan’.
Gus Dur lah orang yang mengembalikan Tionghoa dalam hak penuhnya sebagai warga negara dan Kong Hu Cu sebagai agama ke-6 yang resmi dimata pemerintah. Selain itu perayaan Imlek menjadi hari libur nasional, dan hak berpolitik warga Tionghoa pada posisi sama dengan etnis lainnya. Mereka boleh berpolitik dan kini kita melihat Ahok sebagai bagian buah upaya Gus Dur yang begitu manusiawi itu. Kita juga tahu, sejak digandeng Jokowi dalam pilkada Jakarta 2012, nama Ahok kian moncer sebagai seorang pemimpin. Ahok adalah minoritas yang menjadi primadona bagi sebagian kalangan, baik ketua partai, media dan kalangan kelas menengah yang merasakan kebijakan Ahok membuat Jakarta lebih baik. Pertanyaanya apakah Jakarta lebih manusiawi?
Persoalan Jakarta bukan lagi urusan kelompok-kelompok tertentu. Jamak kita ketahui, Jakarta adalah simbol ke-Indonesiaan. Ada segelintir kalangan yang menangguk untung dari ini semua. Popularitas Ahok, kebijakan Ahok, ketegasan Ahok, bahkan marahnya Ahok. Bahkan perkataan kotor Ahok cenderung direproduksi sebagian kalangan. Di sini Ahok juga telah mengabaikan sisi-sisi humanisme seorang pemimpin. Tak ada yang sempurna dari setiap kepemimpianan, tapi situasi ‘perkataan kotor’ seorang pejabat menjadi pemicu bagi kemarahan sosial, dan entitas tertentu yang sejak awal kontra. Sebagai sosok yang pernah digadang-gadang Gus Dur menjadi pemimpin nasional, Ahok adalah tokoh yang membangun kunci kebhinekaan yang lama ditanggalkan. Kain kebhinekaan ini yang harus dianggit sendiri oleh Ahok, sebagai orang yang siap menerima kritik dan menyelamatkan minoritas lainnya dalam situasi konflik ‘ketidakpercayaan’ menjadi Indonesia.
Tidak mudah lahir menjadi seorang Ahok, tapi juga bukan mustahil sebagai pemimpin Ahok berusaha menahan segala ucapan yang menyulut emosi kelompok kontra. Jika situasi kemarahan ada dalam sikap anti-korupsi tentu hal itu akan menjadi nilai positif. Namun, jika Ahok memilih mereproduksi wacana perbedaan agama dan tafsirannya hal itu secara tidak langsung menyulut dis-integrasi malah semakin menganga. Bukankah bangsa kita memang punya pengalaman sejarah sumbu pendek? Dan sialnya bangsa ini selalu tersulut dan terlalu banyak korban dari ketidakberdayaan melakukan konsolidasi kultural ini? Peristiwa kekerasan dan genosida 1965, Peristiwa pemerkosaan 98 adalah contoh sejarah panjang ketidakmampuan itu.
Gus Dur sebagai tokoh pro-demokrasi, pro-kemanusiaan mengerti betul bagaimana kemanusiaan diperjuangkan walaupun dirinya harus dicaci oleh banyak orang. Gus Dur hanya mengingat satu,”bahwa yang dilarang umat ini bukan perbedaan tapi perpecahan.” Ahok secara tidak langsung, bagi etnis Tionghoa adalah pembuktian menjadi Indonesia. Jika saja Ahok sesuai dengan janjinya bersama Gubernur Jokowi bahwa,”menggusur itu sangat menyakitkan,” tentu dirinya akan memahami hal tersebut sebagai janji kemanusiaan. Terutama penggusuran yang menyakitkan bagi para kaum miskin, dan terakhir di Bukit Duri. Jakarta yang manusiawai yang dikumandangkan oleh Jokowi dan Ahok saat itu adalah harapan banyak orang. Tanpa menegasikan upaya Ahok dalam membangun palayanan publik yang semakin baik dan sampah Jakarta yang berangsur bersih adalah upaya kerja keras yang patut dihargai. Sayangnya ‘Korporasi’ bisa menindas semuanya, membeli semuanya dan meminggirkan mereka yang tak punya kapital untuk melawan.
Saya kira masih ada waktu untuk memperbaiki ini semua. Dan Ahok menjadi penentu kemanusiaan bagi etnis Tionghoa itu sendiri. Mungkin jika Gus Dur masih hidup, beliau akan lantang menemani Romo Sandyawan Sumardi untuk setia mendampingi warga Bukit Duri yang digusur dan akan terus melawan tanpa kekerasan. Ahok tentu mengerti kemanusiaan dalam pengalaman sejarahnya sebagai etnis minoritas. Di-uwongke—dimanusiakan—berimplikasi pada keadilan dan sejarah bangsa ini. Sebagaimana Pram mengatakan dalam Hoakiau,”Lenyapnya perikemanusiaan dalam kegalauan sosial yang busuk, berarti pula tipisnya kepribadian, bukan saja sebagai bangsa, tetapi juga sebagai individu. Dan bangsa atau nasion yang begitu mudah menanggalkan perikemanusian dengan sendirinya mudah pula tersasar dalam perkembangan sejarah.”
Dharma Setyawan (editor Nuwobalak.com)
Setelah muncul Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yaitu memindahkan orang Tionghoa dari pedesaan, didukung oleh semua partai politik kecuali PKI. PP No 10 itu ditandatangani Soekarno, bahwa semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka diwilayah pedalaman. Setelah PP sersebut banyak tragedi di daerah-daerah misal di Jawa Barat,”tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa. Bahkan lebih dari 100 ribu keturunan Cina meninggalkan Indonesia.”
Selain itu ada kebijakan pemerintah mewajibkan pergantian nama lokal bagi etnis Tionghoa, walaupun pada dasarnya Soekarno menolak tegas wacana di atas. “...nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli? Tidak! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak? Tidak! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya mi nta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia.”
Sampai pada suatu masa Orde Baru, etnis Tionghoa dilarang mamasuki jabatan negara termasuk di militer, polisi, PNS dan jabatan strategis di pemerintahan. Sejak kebijakan yang membangun ‘segregasi rasialis’, negara telah menempatkan etnis Tionghoa sebagai Sang Liyan atau the others. Negara ini lupa bahwa sumbangan etnis Tionghoa sangat besar dalam kemerdekaan. Mereka yang lahir di negeri ini sejak lama dan mencintai nusantara sebagai tanah air dibedakan atas persoalan warna kulit sampai pada proses hubungan kebudayaan, ekonomi dan politik yang sangat diskriminatif.
Pada dasarnya Pemerintah membuat lubang perbedaan itu sendiri, sebagaimana abad 16 warisan VOC yang membuat kebijakan melarang wanita Belanda untuk tidak berhubungan seks dengan warga lokal, dengan alasan menurunkan martabat dan menjadi kemerosotan bangsa Eropa. Kebijakan ini terus berlanjut dengan membangun dikotomi rasial dimana ‘hibriditas’ dilarang dan barat mengagungkan bangsanya. Bahwa Inlander harus menjadi Inlander, Cina harus menjadi Cina dengan segala atribut kebudayaannya, Jawa harus menjadi Jawa yang saat itu dianggap jongos kolonial. Cina dilarang berpakaian di luar baju mandarin, sepatu bersol, dan harus tinggal berkoloni dengan warga peranakan Cina lainnya—akrab disebut ‘pecinan’.
Gus Dur lah orang yang mengembalikan Tionghoa dalam hak penuhnya sebagai warga negara dan Kong Hu Cu sebagai agama ke-6 yang resmi dimata pemerintah. Selain itu perayaan Imlek menjadi hari libur nasional, dan hak berpolitik warga Tionghoa pada posisi sama dengan etnis lainnya. Mereka boleh berpolitik dan kini kita melihat Ahok sebagai bagian buah upaya Gus Dur yang begitu manusiawi itu. Kita juga tahu, sejak digandeng Jokowi dalam pilkada Jakarta 2012, nama Ahok kian moncer sebagai seorang pemimpin. Ahok adalah minoritas yang menjadi primadona bagi sebagian kalangan, baik ketua partai, media dan kalangan kelas menengah yang merasakan kebijakan Ahok membuat Jakarta lebih baik. Pertanyaanya apakah Jakarta lebih manusiawi?
Persoalan Jakarta bukan lagi urusan kelompok-kelompok tertentu. Jamak kita ketahui, Jakarta adalah simbol ke-Indonesiaan. Ada segelintir kalangan yang menangguk untung dari ini semua. Popularitas Ahok, kebijakan Ahok, ketegasan Ahok, bahkan marahnya Ahok. Bahkan perkataan kotor Ahok cenderung direproduksi sebagian kalangan. Di sini Ahok juga telah mengabaikan sisi-sisi humanisme seorang pemimpin. Tak ada yang sempurna dari setiap kepemimpianan, tapi situasi ‘perkataan kotor’ seorang pejabat menjadi pemicu bagi kemarahan sosial, dan entitas tertentu yang sejak awal kontra. Sebagai sosok yang pernah digadang-gadang Gus Dur menjadi pemimpin nasional, Ahok adalah tokoh yang membangun kunci kebhinekaan yang lama ditanggalkan. Kain kebhinekaan ini yang harus dianggit sendiri oleh Ahok, sebagai orang yang siap menerima kritik dan menyelamatkan minoritas lainnya dalam situasi konflik ‘ketidakpercayaan’ menjadi Indonesia.
Tidak mudah lahir menjadi seorang Ahok, tapi juga bukan mustahil sebagai pemimpin Ahok berusaha menahan segala ucapan yang menyulut emosi kelompok kontra. Jika situasi kemarahan ada dalam sikap anti-korupsi tentu hal itu akan menjadi nilai positif. Namun, jika Ahok memilih mereproduksi wacana perbedaan agama dan tafsirannya hal itu secara tidak langsung menyulut dis-integrasi malah semakin menganga. Bukankah bangsa kita memang punya pengalaman sejarah sumbu pendek? Dan sialnya bangsa ini selalu tersulut dan terlalu banyak korban dari ketidakberdayaan melakukan konsolidasi kultural ini? Peristiwa kekerasan dan genosida 1965, Peristiwa pemerkosaan 98 adalah contoh sejarah panjang ketidakmampuan itu.
Gus Dur sebagai tokoh pro-demokrasi, pro-kemanusiaan mengerti betul bagaimana kemanusiaan diperjuangkan walaupun dirinya harus dicaci oleh banyak orang. Gus Dur hanya mengingat satu,”bahwa yang dilarang umat ini bukan perbedaan tapi perpecahan.” Ahok secara tidak langsung, bagi etnis Tionghoa adalah pembuktian menjadi Indonesia. Jika saja Ahok sesuai dengan janjinya bersama Gubernur Jokowi bahwa,”menggusur itu sangat menyakitkan,” tentu dirinya akan memahami hal tersebut sebagai janji kemanusiaan. Terutama penggusuran yang menyakitkan bagi para kaum miskin, dan terakhir di Bukit Duri. Jakarta yang manusiawai yang dikumandangkan oleh Jokowi dan Ahok saat itu adalah harapan banyak orang. Tanpa menegasikan upaya Ahok dalam membangun palayanan publik yang semakin baik dan sampah Jakarta yang berangsur bersih adalah upaya kerja keras yang patut dihargai. Sayangnya ‘Korporasi’ bisa menindas semuanya, membeli semuanya dan meminggirkan mereka yang tak punya kapital untuk melawan.
Saya kira masih ada waktu untuk memperbaiki ini semua. Dan Ahok menjadi penentu kemanusiaan bagi etnis Tionghoa itu sendiri. Mungkin jika Gus Dur masih hidup, beliau akan lantang menemani Romo Sandyawan Sumardi untuk setia mendampingi warga Bukit Duri yang digusur dan akan terus melawan tanpa kekerasan. Ahok tentu mengerti kemanusiaan dalam pengalaman sejarahnya sebagai etnis minoritas. Di-uwongke—dimanusiakan—berimplikasi pada keadilan dan sejarah bangsa ini. Sebagaimana Pram mengatakan dalam Hoakiau,”Lenyapnya perikemanusiaan dalam kegalauan sosial yang busuk, berarti pula tipisnya kepribadian, bukan saja sebagai bangsa, tetapi juga sebagai individu. Dan bangsa atau nasion yang begitu mudah menanggalkan perikemanusian dengan sendirinya mudah pula tersasar dalam perkembangan sejarah.”
Dharma Setyawan (editor Nuwobalak.com)
0 Response to "Ahok, Pram dan Kemanusiaan Gusdur"
Post a Comment