Bank Merusak Lingkungan
Monday, October 10, 2016
Add Comment
Berbicara tentang bank yang tergambar dibenak kita adalah suatu lembaga keuangan yang hanya berkecimpung dengan segala bentuk transaksi perekonomian, akan tetapi pernahkah terbesit sekilas di pikiran bahwa bank itu juga memiliki peran dalam merusak lingkungan? loh kok bisa? Bank kan tidak pernah cawe-cawe keluar, pekerjaanya pun hanya berada di dalam gedung.
Sanggahan ataupun asumsi tersebut merupakan hal wajar karena pada hakikatnya memang demikian. Dosakah saya ketika menganggap bahwa mereka yang berargumen seperti itu masih dalam taraf “awam” terhadap bank? Baiklah dosa ataupun tidak itu biarlah menjadi urusan saya dengan Tuhan Yang Maha Esa abaikan saja, karena saya akan berusaha mengajak pembaca untuk mendalami esensi bank dan apa saja yang telah dilakukanya.
Bank pada dasarnya adalah bungalow besar berisikan tumpukan uang yang tersimpan apik dalam brankas baja setebal 3 meter yang tidak akan tembus meskipun di bor menggunakan besi bor pemecah batu, bahkan saya pernah membaca artikel tentang brankas bank yang hanya mampu dibuka atau diledakan dengan tenaga listrik sebesar 3 juta Volt. Luar biasa !!!
Hal tersebut menunjukan bahwa betapa susahnya mengeluarkan uang dari bank apabila menggunakan otot, tapi bagaimana bila kita abaikan listrik 3 juta volt dan besi bor yang bisa dengan mudah menjebol aspal cor itu kemudian kita menggunakan sesuatu yang lebih kecil dan lunak. Benar, otak, dengan menggunakan otak menarik tumpukan uang dari bank sangat mungkin terjadi.
Kita ketahui bahwa apabila kita butuh asupan dana besar untuk menggarap suatu mega proyek, maka otak kita akan berpikir untuk melakukan pinjaman atau pembiayaan ke bank, dengan memenuhi syarat dan prosedur dari bank tersebut maka pencairan pembiayaan yang akan kita ajukan adalah suatu keniscayaan. Perlu diketahui bahwasanya bank dalam pengambilan keputusan pembiayaan itu tidak memperhatikan aspek ESG.
ESG (Environment, Social, and Governance) adalah unsur lingkungan, sosial, dan tata kelola. Maksud dari bank tidak memperhatikan aspek ESG dalam pengambilan keputusan pembiayaan terhadap perusahaan terkait berarti menunjukan bahwa bank hanya memperhatikan aspek keuntungan finansial yang akan didapat semata, dengan kata lain bank tidak membedakan antara perusahaan yang proyeknya berdampak buruk terhadap lingkungan dengan yang tidak.
Rahmawati Retno Winarni Direktur Eksekutif, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dalam tulisanya berjudul Merubah Mindset Pembiayaan menjelaskan bahwasnya hasil riset yang mencengangkan diunggah di website www.forestsandfinance.org yang notabenenya adalah website resmi hasil kolaborasi antara Rainforest Action Network, Transformaasi untuk Keadilan (TuK), dan juga Profundo.
Penelitian tersebut menunjukan bahwa setidaknya ada sepuluh negara yang banknya turut dalam surplus pembiayaan proyek perusakan lingkungan diantaranya adalah, Malaysia, Tiongkok, Jepang, Indonesia, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Jerman dan Prancis. Lima peringkat teratas berarti termasuk Indonesia tercatat telah menggelontorkan dana sebesar USD 25 miliar terhitung dari tahun 2010-2015.
Tercatat juga bahwasanya bank seperti Maybank, CIMB, Mizuho Financial, HSBC, dan DBS telah mengeluarkan dana untuk pembiayaan tanpa mengindahkan ESG dengan total dana yang bombastis yaitu sebesar USD 9,939 miliar kesemuanya itu ditujukan kepada perusahan-perusahaan raksasa yang abai terhadap lingkungan misalnya perusahaan pulp dan kertas, kelapa sawit, karet, serta serat kayu.
Bank sebagai perusak lingkungan ?
Apa tamsil yang tepat untuk tindakan bank-bank tersebut? Lempar batu sembunyi tangan-kah? Ah bukan sesuatu yang penting. Melihat apa yang sudah terpapar di atas maka seharusnya kita mulai ngeh dengan bank, meskipun bank tampak ekslusif dan baik-baik saja ternyata mereka adalah perusak lingkungan juga.
Bank memang tidak turun langsung ke dalam hutan membawa gergaji mesin dan gasoline untuk menebang hutan ataupun membakar lahan gambut yang ada, akan tetapi sokongan yang mereka telah memperlancar pendzoliman lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Seperti yang kita ketahui betapa bengisnya sebuah perusahaan itu, contohnya saja seperti perusahaan semen yang pongah terhadap warga Kendeng yang memprotes keberadaan pabrik semen yang jelas-jelas akan merusak lahan pertanian dan hutan mereka. Ber-atribut-kan TNI dan Polisi pabrik semen justru bertindak tegas terhadap warga pribumi—lihat film dokumenter : Samin Vs Semen produksi WatchDoc Dokumenter.
Mengerikan bukan? perusahaan dengan uang besar boleh pinjam dari bank, jangankan preman bahkan aparaturpun dapat dibayar. Selain itu, permasalahan tentang reklamasi di berbagai tempat seperti di Bali dan Jakarta-pun perlu diteliti tentang ada tidaknya pembiayaan dari bank terhadap mega proyek tersebut.
Sejauh ini pada kenyataanya bank-bank yang memiliki kebijakan ESG belum ada, bisa dibayangkan dengan tidak adanya kebijakan tersebut jelas bank sama sekali tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dalam pengambilan keputusan pemberian pinjaman terhadap perusahaan, dengan kata lain bank masih fokus terhadap fiancial profit belaka.
Lalu apakah ada suatu keniscayaan dalam dunia perbankan yang pro terhadap lingkungan? bukan tidak mungkin. Apabila ada perubahan mindset dalam pembiayaan proyek di setiap bank dan menerapkan kebijakan ESG serta adanya Balancing antara keuntungan finasial dan non finansial maka bank yang pro lingkungan akan terwujud.
Selain itu perlu adanya peran pemerintah secara signifikan dan serius terhadap masalah ini. Saat ini memang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwasanya korporasi yang dalam praktiknya merusak lingkungan dipastikan tidak akan dapat kredit dari bank, hal ini juga sebenarnya terkait dengan OJK yang notabenenya adalah anggota dari Sustainable Banking Network (SBN). Hal tersebut merupakan langkah progresif dan yang perlu diutamakan adalah implementasi dari kebijakan tersebut serta penegasan sanksi bagi pelanggar baik itu berasal dari bank maupun dari korporasi yang bersangkutan.
Julianto Nugroho (Penggiat Jurai Siwo Corner)
Sanggahan ataupun asumsi tersebut merupakan hal wajar karena pada hakikatnya memang demikian. Dosakah saya ketika menganggap bahwa mereka yang berargumen seperti itu masih dalam taraf “awam” terhadap bank? Baiklah dosa ataupun tidak itu biarlah menjadi urusan saya dengan Tuhan Yang Maha Esa abaikan saja, karena saya akan berusaha mengajak pembaca untuk mendalami esensi bank dan apa saja yang telah dilakukanya.
Bank pada dasarnya adalah bungalow besar berisikan tumpukan uang yang tersimpan apik dalam brankas baja setebal 3 meter yang tidak akan tembus meskipun di bor menggunakan besi bor pemecah batu, bahkan saya pernah membaca artikel tentang brankas bank yang hanya mampu dibuka atau diledakan dengan tenaga listrik sebesar 3 juta Volt. Luar biasa !!!
Hal tersebut menunjukan bahwa betapa susahnya mengeluarkan uang dari bank apabila menggunakan otot, tapi bagaimana bila kita abaikan listrik 3 juta volt dan besi bor yang bisa dengan mudah menjebol aspal cor itu kemudian kita menggunakan sesuatu yang lebih kecil dan lunak. Benar, otak, dengan menggunakan otak menarik tumpukan uang dari bank sangat mungkin terjadi.
Kita ketahui bahwa apabila kita butuh asupan dana besar untuk menggarap suatu mega proyek, maka otak kita akan berpikir untuk melakukan pinjaman atau pembiayaan ke bank, dengan memenuhi syarat dan prosedur dari bank tersebut maka pencairan pembiayaan yang akan kita ajukan adalah suatu keniscayaan. Perlu diketahui bahwasanya bank dalam pengambilan keputusan pembiayaan itu tidak memperhatikan aspek ESG.
ESG (Environment, Social, and Governance) adalah unsur lingkungan, sosial, dan tata kelola. Maksud dari bank tidak memperhatikan aspek ESG dalam pengambilan keputusan pembiayaan terhadap perusahaan terkait berarti menunjukan bahwa bank hanya memperhatikan aspek keuntungan finansial yang akan didapat semata, dengan kata lain bank tidak membedakan antara perusahaan yang proyeknya berdampak buruk terhadap lingkungan dengan yang tidak.
Rahmawati Retno Winarni Direktur Eksekutif, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dalam tulisanya berjudul Merubah Mindset Pembiayaan menjelaskan bahwasnya hasil riset yang mencengangkan diunggah di website www.forestsandfinance.org yang notabenenya adalah website resmi hasil kolaborasi antara Rainforest Action Network, Transformaasi untuk Keadilan (TuK), dan juga Profundo.
Penelitian tersebut menunjukan bahwa setidaknya ada sepuluh negara yang banknya turut dalam surplus pembiayaan proyek perusakan lingkungan diantaranya adalah, Malaysia, Tiongkok, Jepang, Indonesia, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Jerman dan Prancis. Lima peringkat teratas berarti termasuk Indonesia tercatat telah menggelontorkan dana sebesar USD 25 miliar terhitung dari tahun 2010-2015.
Tercatat juga bahwasanya bank seperti Maybank, CIMB, Mizuho Financial, HSBC, dan DBS telah mengeluarkan dana untuk pembiayaan tanpa mengindahkan ESG dengan total dana yang bombastis yaitu sebesar USD 9,939 miliar kesemuanya itu ditujukan kepada perusahan-perusahaan raksasa yang abai terhadap lingkungan misalnya perusahaan pulp dan kertas, kelapa sawit, karet, serta serat kayu.
Bank sebagai perusak lingkungan ?
Apa tamsil yang tepat untuk tindakan bank-bank tersebut? Lempar batu sembunyi tangan-kah? Ah bukan sesuatu yang penting. Melihat apa yang sudah terpapar di atas maka seharusnya kita mulai ngeh dengan bank, meskipun bank tampak ekslusif dan baik-baik saja ternyata mereka adalah perusak lingkungan juga.
Bank memang tidak turun langsung ke dalam hutan membawa gergaji mesin dan gasoline untuk menebang hutan ataupun membakar lahan gambut yang ada, akan tetapi sokongan yang mereka telah memperlancar pendzoliman lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Seperti yang kita ketahui betapa bengisnya sebuah perusahaan itu, contohnya saja seperti perusahaan semen yang pongah terhadap warga Kendeng yang memprotes keberadaan pabrik semen yang jelas-jelas akan merusak lahan pertanian dan hutan mereka. Ber-atribut-kan TNI dan Polisi pabrik semen justru bertindak tegas terhadap warga pribumi—lihat film dokumenter : Samin Vs Semen produksi WatchDoc Dokumenter.
Mengerikan bukan? perusahaan dengan uang besar boleh pinjam dari bank, jangankan preman bahkan aparaturpun dapat dibayar. Selain itu, permasalahan tentang reklamasi di berbagai tempat seperti di Bali dan Jakarta-pun perlu diteliti tentang ada tidaknya pembiayaan dari bank terhadap mega proyek tersebut.
Sejauh ini pada kenyataanya bank-bank yang memiliki kebijakan ESG belum ada, bisa dibayangkan dengan tidak adanya kebijakan tersebut jelas bank sama sekali tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dalam pengambilan keputusan pemberian pinjaman terhadap perusahaan, dengan kata lain bank masih fokus terhadap fiancial profit belaka.
Lalu apakah ada suatu keniscayaan dalam dunia perbankan yang pro terhadap lingkungan? bukan tidak mungkin. Apabila ada perubahan mindset dalam pembiayaan proyek di setiap bank dan menerapkan kebijakan ESG serta adanya Balancing antara keuntungan finasial dan non finansial maka bank yang pro lingkungan akan terwujud.
Selain itu perlu adanya peran pemerintah secara signifikan dan serius terhadap masalah ini. Saat ini memang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwasanya korporasi yang dalam praktiknya merusak lingkungan dipastikan tidak akan dapat kredit dari bank, hal ini juga sebenarnya terkait dengan OJK yang notabenenya adalah anggota dari Sustainable Banking Network (SBN). Hal tersebut merupakan langkah progresif dan yang perlu diutamakan adalah implementasi dari kebijakan tersebut serta penegasan sanksi bagi pelanggar baik itu berasal dari bank maupun dari korporasi yang bersangkutan.
Julianto Nugroho (Penggiat Jurai Siwo Corner)
0 Response to "Bank Merusak Lingkungan"
Post a Comment