Fanatikers
Sunday, October 9, 2016
Add Comment
Polemik surah al-maidah ayat 51 mengenai larangan memilih pemimpin kafir memang menjadi perdebatan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Dan yang menjadi puncaknya ketika calon pemimpin yang merasa perjuangannya harus berbenturan dengan ayat tersebut, ikut bersuara, memberikan komentar. Suara yang kemudian mengundang reaksi dari berbagai kalangan yang tidak punya kepentingan politik, mulai dari pakar agama sampai pakar komunikasi. Termasuk pakar yang bukan-bukan. Namun yang akan kita bahas pada kesempatan ini bukanlah mengenai tanggapan para pakar di atas, yang akan kita bahas adalah reaksi para pendukungnya sebagai dalang utama.
Tidaklah sulit untuk menilai sejauh mana afiliasi politik seseorang jika sosial media dijadikan acuan. Cara dia merespon atau cara bereaksi terhadap berita yang menjadi viral adalah tolok-ukurnya. Bentuk respon bisa bermacam-macam, tapi tujuan utama tetap sama, akan digiring kemana pembacanya. Terkait dengan kampanye pilgup DKI, sisi lain yang patut diamati sekaligus dikritisi adalah pendukung yang tingkat taklidnya kadang tidak bisa ditoleransi.
Tidak bisa dipungkiri setiap pendukung selalu punya ujung tombak serangan, kalau meminjam istilah sport maka dialah striker. Kebanyakan mereka adalah seorang penulis sejati, tidak sedikit juga yang menjadi kutu loncat. Entah siapa coach-nya, yang pasti mereka selalu ada setiap saat, menanggapi berita dalam setiap kesempatan, merasa ikut bertanggung jawab terhadap rekan2 pengikut lainnya. Setiapkali mendapat serangan, apapun akan dilakukan untuk bertahan sekaligus mencari celah serangan balik.
Dalam pertandingan, mereka tidak lagi menganggap ada wasit yang mengamati kelakuan mereka di lapangan. Yang mereka tahu, dalam perhelatan ini hanya ada dua kubu: teman atau lawan. Sungguh sangat berbahaya dalam sebuah kompetisi ketika wasit atau hakim sudah tidak diindahkan lagi suaranya atau bahkan dianggap tidak lagi ada.
Mungkin masih ada sebagian pendukung Koh Ahok yg menganggap bahwa ketika Ahok dikritik, yang mengkritik pastilah lawan politik: sekumpulan orang yg menjual ayat2 suci untuk kepentingan pribadi. Padahal, yang Ahok hadapi itu bukan hanya lawan politiknya, tapi juga masyarakat dan tokoh agama di sekitarnya yang tidak punya kepentingan apa-apa, hanya murni menjalankan perintah agamanya. Jangan dikira tidak ikut merasakan pergulatan batinnya.
Maka jangan heran, ketika orang2 seperti Ust. Arifin atau bahkan Aa’ Gym yg menasehati pun masih kena dampratannya, dianggap menghambat kepentingan mereka. Padahal so what dengan itu semua. Siapa pun yang menjadi penguasa nanti, agama tetap pada substansinya sebagai nasehat. Itupun tidak ada paksaan, jika tidak terima silahkan ditolak. Tapi tidak perlu menuduh yang tidak2, apalagi sampai menghujat.
Apakah kalo Ahok dikritik otomatis mendambakan Anis dan Agus sebagai yg layak menggantikannya? Belum tentu. Mengkritik yang satu belum tentu mendukung yang lain, ada masa dimana dukungan berubah menjadi kawalan. Apakah kalo dia muslim otomatis bebas dari kritikan karena se-akidah? Tidak juga, kritikan yang diarahkan ke Jokowi tidak ada habis2nya.
Terakhir, ini pesan buat kita semua, jika ingin menjadi fanatikers, carilah klub sepakbola. Ya, klub sepakbola dalam arti yang sesungguhnya, yang hari ini kalah, besok bisa menang, besoknya lagi kalah. Begitu seterusnya. Sepakbola tidak akan membuat dirimu menjadi barisan sakit hati terlalu lama. Jangan tokoh politik dijadikan fanatikers-idola. Karena tugas sejati kita tidak selamanya menjadi pendukungnya, tapi pengawalnya.
Iwan Mariono (Pembaca Novel, Alumnus UMS)
Tidaklah sulit untuk menilai sejauh mana afiliasi politik seseorang jika sosial media dijadikan acuan. Cara dia merespon atau cara bereaksi terhadap berita yang menjadi viral adalah tolok-ukurnya. Bentuk respon bisa bermacam-macam, tapi tujuan utama tetap sama, akan digiring kemana pembacanya. Terkait dengan kampanye pilgup DKI, sisi lain yang patut diamati sekaligus dikritisi adalah pendukung yang tingkat taklidnya kadang tidak bisa ditoleransi.
Tidak bisa dipungkiri setiap pendukung selalu punya ujung tombak serangan, kalau meminjam istilah sport maka dialah striker. Kebanyakan mereka adalah seorang penulis sejati, tidak sedikit juga yang menjadi kutu loncat. Entah siapa coach-nya, yang pasti mereka selalu ada setiap saat, menanggapi berita dalam setiap kesempatan, merasa ikut bertanggung jawab terhadap rekan2 pengikut lainnya. Setiapkali mendapat serangan, apapun akan dilakukan untuk bertahan sekaligus mencari celah serangan balik.
Dalam pertandingan, mereka tidak lagi menganggap ada wasit yang mengamati kelakuan mereka di lapangan. Yang mereka tahu, dalam perhelatan ini hanya ada dua kubu: teman atau lawan. Sungguh sangat berbahaya dalam sebuah kompetisi ketika wasit atau hakim sudah tidak diindahkan lagi suaranya atau bahkan dianggap tidak lagi ada.
Mungkin masih ada sebagian pendukung Koh Ahok yg menganggap bahwa ketika Ahok dikritik, yang mengkritik pastilah lawan politik: sekumpulan orang yg menjual ayat2 suci untuk kepentingan pribadi. Padahal, yang Ahok hadapi itu bukan hanya lawan politiknya, tapi juga masyarakat dan tokoh agama di sekitarnya yang tidak punya kepentingan apa-apa, hanya murni menjalankan perintah agamanya. Jangan dikira tidak ikut merasakan pergulatan batinnya.
Maka jangan heran, ketika orang2 seperti Ust. Arifin atau bahkan Aa’ Gym yg menasehati pun masih kena dampratannya, dianggap menghambat kepentingan mereka. Padahal so what dengan itu semua. Siapa pun yang menjadi penguasa nanti, agama tetap pada substansinya sebagai nasehat. Itupun tidak ada paksaan, jika tidak terima silahkan ditolak. Tapi tidak perlu menuduh yang tidak2, apalagi sampai menghujat.
Apakah kalo Ahok dikritik otomatis mendambakan Anis dan Agus sebagai yg layak menggantikannya? Belum tentu. Mengkritik yang satu belum tentu mendukung yang lain, ada masa dimana dukungan berubah menjadi kawalan. Apakah kalo dia muslim otomatis bebas dari kritikan karena se-akidah? Tidak juga, kritikan yang diarahkan ke Jokowi tidak ada habis2nya.
Terakhir, ini pesan buat kita semua, jika ingin menjadi fanatikers, carilah klub sepakbola. Ya, klub sepakbola dalam arti yang sesungguhnya, yang hari ini kalah, besok bisa menang, besoknya lagi kalah. Begitu seterusnya. Sepakbola tidak akan membuat dirimu menjadi barisan sakit hati terlalu lama. Jangan tokoh politik dijadikan fanatikers-idola. Karena tugas sejati kita tidak selamanya menjadi pendukungnya, tapi pengawalnya.
Iwan Mariono (Pembaca Novel, Alumnus UMS)
0 Response to "Fanatikers"
Post a Comment