Dilema Partisipasi Kiai dalam Panggung Politik
Wednesday, October 19, 2016
Add Comment
Kiai sebagai elit lokal yang disegani karena ilmu dan kharismanya mengalami dinamika sosial yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Kiai merupakan figur elit lokal yang memiliki pengetahuan keagamaan sebagai teladan bagi masyarakat di sekitarnya. Di Indonesia, kiai sudah sangat jelas memiliki peran strategis di tengah masyarakat. Hubungan kiai sebagai elit sosial bahkan bisa dilihat dari berbagai patron dari masyarakat yang berperan sebagai klien-nya. Patronase ini sekaligus memperkuat watak dari masyarakat tradisional dan agraris sebagaimana menjadi ciri khas sebagian besar kolompok sosial yang ada di Indonesia.
Otoritas yang begitu luas, penguasaan pengetahuan dan pengalaman keagamaan serta kharisma yang begitu kuat, merupakan dasar-dasar legitimasi kepemimpinan kiai. Yang menjadi masalah ialah saat kiai harus bersinggungan dengan kekuasaan. Sebagai teladan masyarakat, sebagian mengarahkan pandangannya bahwa kiai juga bisa mengarahkan pilihan pilihan politik masyarakat, meskipun sebagian yang lain menolak keyakinan bahwa kiai absah untuk terjun di kancah politik praktis.
Problem ini lahir ketika kiai yang diakui memilki kelebihan-kelebihan mendasar dalam berbagai kehidupan diyakini tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam dunia politik. Walaupun kiai sering diasumsikan memilki kelebihan yang luar biasa baik dari segi spiritual dan maupun material, namun, secara politik justru kelebihan-kelebihan itu masuk dalam lingkaran intrik dan tipu muslihat. Sudah jelas, bahwa perilaku saling tikam dan saling tipu dalam dunia politik bukanlah dunia kebajikan-kebajikan sebagaimana yang seharusnya diperankan oleh kiai.
Di Indonesia, tarik menarik kepentingan yang terjadi atas peran kiai dalam politik praktis semakin menguat justru ketika saluran-saluran politik di era reformasi semakin terbuka lebar. Setidaknya muncul dua pendapat; pendapat pertama mengabsahkan keterlibatan kiai dalam politik praktis sebagaimana warga negara lainnya, sehingga sangat wajar saja kiai terlibat. Pendapat kedua menyatakan bahwa keterlibatan kiai dalam kancah politk justeru merupakan pengingkaran fungsi kiai sebagaimana mestinya.
Bagi perndapat pertama, bagiamanapun juga, kiai adalah warga negara yang memilki hak dan aspirasi politik sebagaimana warga lainnya. Didukung oleh argumentasi teologis bagaimana dan mengapa politik praktis bagi kiai absah. Pendapat ini semakin kukuh didukung realitas semakin banyaknya kiai yang ikut terjun dalam politik, langsung maupun tidak.
Pendapat kedua mengriktik keras, bahwa keterlibatan kiai lebih banyak akibat buruknya (mafsadat) daripada akibat baiknya (maslahat). Mengacu pada kondisi politik kekinian yang terkesan “kotor”, maka kiai yang terjun ke dalam dunia politik bagaimanapun bersih dan kokohnya landasan serta argumen teologisnya, akan ikut terseret arus ke dalam dunia politik yang “kotor” pula. Dampaknya adalah kepada masyarakat yang sering kebingungan dengan pilihan-pilihan poltik yang tidak dimengerti. Terutama ketika ada banyak kiai yang memiliki pilihan politik berbeda, yang terjadi adalah pertarungan kepentingan dan yang dikorbankan adalah masyarakat. Kondisi ini disadari karena faktor budaya dan struktur sosial yang terbentuk antara kiai sebagai elit lokal dan masyarakat/santri sebagai massa adalah hubungan patron klien.
Keterlibatan kiai dalam politik praktis juga sering memicu koflik vertikal di tingkat elit maupun konflik dalam level kepartaian. Perbedaan kepentingan antara satu dan lainnya, beragam pandangan masing masing politisi dalam menafsirkan jalan politik membuat umat sering dikecewakan karena tema pentas yang dipertontonkan adalah pertikaian yang tidak kunjung usai. Lebih jauh dan lebih mengkhawatirkan apabila konflik mulai menjurus pada “jual-beli” atau “perang” ayat, atau bila bibit konflik mulai mengeras di akar rumput dan bahkan melahirkan permusuhan.
konflik politik demikian terjadi akibat perbenturan kepentingan kepentingan yang sangat tajam dan hampir tidak ditemukan titik temu karena masing-masing kelompok berdiri di atas lendasan yang sama-sama diakui benar. Konflik dalam tataran ide ini bisa meledak kapan saja menjadi kekerasan politik (politic violence). Walaupun secara konseptual, politik menolak menggunakan cara-cara kekerasan, namun pada praktiknya politik tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kekerasan.
Kiai sebagai poltisi yang sering menjalankan perannya dengan khas ‘politik kiai’, tetaplah seorang politisi bagaimanapun juga. Adapun masyarakat adalah stakeholder yang memiliki hak seluas-luasnya untuk memprotes perilaku elit politik yang tidak sesuai dengan standar rakyat. Walaupun ia kiai, tetapi kalau dia politisi, maka dia akan mungkin sekali untuk dicela masyarakat sebagaimana masyarakat mencela politisi lainnya. Sekalipun kiai, kalau berprofesi sebagai politisi, maka kiai harus siap ditertawakan dan dicela masyarakat karena kesalahan melakukan intrik politik, kesalahan memilih kelompok, atau kesalahan menjalankan kebijakan.
Persoalan Indonesia kekinian adalah persoalan tentang sistem politik yang belum ditata sebagaimana mestinya. Tidak kurang idealnya konstitusi negara kita yang mengatur bagaimana negara ini dijalankan. Tetapi, negara kita sangat kekurangan politisi yang berperilaku sebagai seorang “negarawan”. Yang terjadi adalah bandit yang berprofesi sebagai politisi dan para pencari keuntungan sesaat. Dalam situasi yang rumit ini bukannya agamawan yang harus diundang untuk ikut campur dalam politik praktis. Alih-alih justru memperkeruh suasana. Agamawan – termasuk kiai --, sebagaimana mestinya adalah kaum oposan yang berada di luar sistem yang bertugas menjaga laju politik agar berjalan sebagaimana mestinya. Cara terbaik untuk merealisasikan idealisme seperti ini adalah apabila umara’ tidak “tidur” bersama ‘ulama. Jika ulama’ adalah umara’ itu sendiri, bagaimana fungsi kontrol kiai sebagai warga negara berjalan dengan baik?
Tomi Nurrohman
Otoritas yang begitu luas, penguasaan pengetahuan dan pengalaman keagamaan serta kharisma yang begitu kuat, merupakan dasar-dasar legitimasi kepemimpinan kiai. Yang menjadi masalah ialah saat kiai harus bersinggungan dengan kekuasaan. Sebagai teladan masyarakat, sebagian mengarahkan pandangannya bahwa kiai juga bisa mengarahkan pilihan pilihan politik masyarakat, meskipun sebagian yang lain menolak keyakinan bahwa kiai absah untuk terjun di kancah politik praktis.
Problem ini lahir ketika kiai yang diakui memilki kelebihan-kelebihan mendasar dalam berbagai kehidupan diyakini tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam dunia politik. Walaupun kiai sering diasumsikan memilki kelebihan yang luar biasa baik dari segi spiritual dan maupun material, namun, secara politik justru kelebihan-kelebihan itu masuk dalam lingkaran intrik dan tipu muslihat. Sudah jelas, bahwa perilaku saling tikam dan saling tipu dalam dunia politik bukanlah dunia kebajikan-kebajikan sebagaimana yang seharusnya diperankan oleh kiai.
Di Indonesia, tarik menarik kepentingan yang terjadi atas peran kiai dalam politik praktis semakin menguat justru ketika saluran-saluran politik di era reformasi semakin terbuka lebar. Setidaknya muncul dua pendapat; pendapat pertama mengabsahkan keterlibatan kiai dalam politik praktis sebagaimana warga negara lainnya, sehingga sangat wajar saja kiai terlibat. Pendapat kedua menyatakan bahwa keterlibatan kiai dalam kancah politk justeru merupakan pengingkaran fungsi kiai sebagaimana mestinya.
Bagi perndapat pertama, bagiamanapun juga, kiai adalah warga negara yang memilki hak dan aspirasi politik sebagaimana warga lainnya. Didukung oleh argumentasi teologis bagaimana dan mengapa politik praktis bagi kiai absah. Pendapat ini semakin kukuh didukung realitas semakin banyaknya kiai yang ikut terjun dalam politik, langsung maupun tidak.
Pendapat kedua mengriktik keras, bahwa keterlibatan kiai lebih banyak akibat buruknya (mafsadat) daripada akibat baiknya (maslahat). Mengacu pada kondisi politik kekinian yang terkesan “kotor”, maka kiai yang terjun ke dalam dunia politik bagaimanapun bersih dan kokohnya landasan serta argumen teologisnya, akan ikut terseret arus ke dalam dunia politik yang “kotor” pula. Dampaknya adalah kepada masyarakat yang sering kebingungan dengan pilihan-pilihan poltik yang tidak dimengerti. Terutama ketika ada banyak kiai yang memiliki pilihan politik berbeda, yang terjadi adalah pertarungan kepentingan dan yang dikorbankan adalah masyarakat. Kondisi ini disadari karena faktor budaya dan struktur sosial yang terbentuk antara kiai sebagai elit lokal dan masyarakat/santri sebagai massa adalah hubungan patron klien.
Keterlibatan kiai dalam politik praktis juga sering memicu koflik vertikal di tingkat elit maupun konflik dalam level kepartaian. Perbedaan kepentingan antara satu dan lainnya, beragam pandangan masing masing politisi dalam menafsirkan jalan politik membuat umat sering dikecewakan karena tema pentas yang dipertontonkan adalah pertikaian yang tidak kunjung usai. Lebih jauh dan lebih mengkhawatirkan apabila konflik mulai menjurus pada “jual-beli” atau “perang” ayat, atau bila bibit konflik mulai mengeras di akar rumput dan bahkan melahirkan permusuhan.
konflik politik demikian terjadi akibat perbenturan kepentingan kepentingan yang sangat tajam dan hampir tidak ditemukan titik temu karena masing-masing kelompok berdiri di atas lendasan yang sama-sama diakui benar. Konflik dalam tataran ide ini bisa meledak kapan saja menjadi kekerasan politik (politic violence). Walaupun secara konseptual, politik menolak menggunakan cara-cara kekerasan, namun pada praktiknya politik tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kekerasan.
Kiai sebagai poltisi yang sering menjalankan perannya dengan khas ‘politik kiai’, tetaplah seorang politisi bagaimanapun juga. Adapun masyarakat adalah stakeholder yang memiliki hak seluas-luasnya untuk memprotes perilaku elit politik yang tidak sesuai dengan standar rakyat. Walaupun ia kiai, tetapi kalau dia politisi, maka dia akan mungkin sekali untuk dicela masyarakat sebagaimana masyarakat mencela politisi lainnya. Sekalipun kiai, kalau berprofesi sebagai politisi, maka kiai harus siap ditertawakan dan dicela masyarakat karena kesalahan melakukan intrik politik, kesalahan memilih kelompok, atau kesalahan menjalankan kebijakan.
Persoalan Indonesia kekinian adalah persoalan tentang sistem politik yang belum ditata sebagaimana mestinya. Tidak kurang idealnya konstitusi negara kita yang mengatur bagaimana negara ini dijalankan. Tetapi, negara kita sangat kekurangan politisi yang berperilaku sebagai seorang “negarawan”. Yang terjadi adalah bandit yang berprofesi sebagai politisi dan para pencari keuntungan sesaat. Dalam situasi yang rumit ini bukannya agamawan yang harus diundang untuk ikut campur dalam politik praktis. Alih-alih justru memperkeruh suasana. Agamawan – termasuk kiai --, sebagaimana mestinya adalah kaum oposan yang berada di luar sistem yang bertugas menjaga laju politik agar berjalan sebagaimana mestinya. Cara terbaik untuk merealisasikan idealisme seperti ini adalah apabila umara’ tidak “tidur” bersama ‘ulama. Jika ulama’ adalah umara’ itu sendiri, bagaimana fungsi kontrol kiai sebagai warga negara berjalan dengan baik?
Tomi Nurrohman
0 Response to "Dilema Partisipasi Kiai dalam Panggung Politik"
Post a Comment