Ekologi dan Paradoksal Khalifah Fil-Ardl

Manusia sebagai khalifah fil ardh mempunyai kuasa penuh atas pengelolaan alam. Sifat otoritatif khalifah yang memandang alam secara instrumentalistik-komplementer menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang kepada alam. Alam dipandang layaknya pelayan yang harus mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayani manusia. Aksi-aksi destruktif-eksploitatif yang mengancam kelestarian alam akhirnya tidak terhindarkan. Fakta-fakta ini seolah menjadi pembenaran atas kekhawatiran malaikat yang merasa skeptis dengan kapabilitas manusia dalam mengelola alam ketika Allah akan menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Pandangan ini tidak terlepas dari sistem hidup yang dianut masyarakat akhir-akhir ini. Pandangan hidup yang menganulir nilai-nilai spiritualitas. Pengaruh pandangan dunia modern dalam berbagai bentuknya –naturalusme, materialisme, positivisme- memiliki momentum untuk mengembangkan pandangan hidup sekuler sebagai dasar filosofinya. Pandangan ini menolak segala realitas non fisik –seperti dunia imajinal dan spiritual- sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekadar entitas fisik. Krisis spiritual ini pada gilirannya menimbulkan apa yang disebut dengan “disorientasi” pada manusia modern. Karena itu, manusia modern tidak tahu lagi kemana arah mereka pergi.

Ketika berhubungan dengan alam, maka manusia hanya akan memperhatikan aspek biotik dan ekonomisnya saja. cara pandang seperti inilah yang menjadi penyebab krisis ekologis. Alam yang telah bermurah hati melayani manusia selama ratusan bahkan ribuan tahun ternyata hanya dalam masa kurang dari tiga abad –setelah revolusi industri sudah kehilangan daya dukungnya dan kehilangan kualitas dirinya. Alam dipaksa untuk melayani keserakahan manusia yang tanpa merasa belas kasihan mengeksploitasi hingga tahap akut.

Kerusakan-kerusakan hasil ulah tangan manusia bisa disaksikan secara telanjang mata. Sampah berserakan, polusi udara, limbah pabrik, penggundulan dan perusakan hutan, eksploitasi tambang yang berlebih, dan lain lain. Sehingga pada musim penghujan datang akan banyak terjadi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Pada musim kemaraupun akan terjadi kekeringan dan suhu udara yang terlampau panas.

Bencana ekologi tidak terlepas dari kerusakan ekosistem, seperti hutan, sungai, air dan udara. Diperkirakan sebelum terjamah oleh tangan manusia, sumberdaya hutan dunia terdiri dari 6 milyar hektar. Pada tahun 1954, luas hutan tersebut sudah turun menjadi 4 milyar Ha. Penyempitan areal hutan berlangsung karena perluasan areal untuk pertanian dan pemukiman. Luas hutan ini terbagi menjadi atas hutan yang masih tertutup seluas 2,8 Ha dan hutan yang sudah terbuka, karena adanya pemanfaatan 1,3 miliar Ha. sementara itu, luas hutan tropika yang jumlahnya hanya 7% dari permukaan bumi juga mengalami pengurangan sebesar 25% karena aktivitas pembalakan, kegiatan pertanian, peternakan, dan pembangunan proyek besar. Menyempitnya ekosistem hutan telah menyebabkan banjir, erosi, pendangkalan sungai, kekeringan, dan kelangkaan kayu bakar.

Akibat lain dari penyempitan arela hutan adalah meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK). Aktivitas manusia terutama industri dan transportasi menyumbang polutan dalam bentuk zat-zat berbahaya seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) nitrogen oksida (NOX), hidro karbon, debu dan timah hitam. Limbah-limbah industri ini tidak dapat diserap oleh alam karena jumlah hutan yang semakin menyempit. Sehingga berdampak pada peningkatan suhu udara. selain itu, dampak dari polusi udara yang akut juga akan merusak lapisan ozon yang melindungi bumi dari terpaan sinar UV.

Fakta-fakta eksploitasi manusia atas alam ini tidak terlepas dari pola hidup konsumtif manusia (yang tentu juga dimulai dari pandangan hidup). Gaya hidup modern yang serba glamour menuntut manusia untuk terus menerus memburu barang dan jasa demi gengsi dan prestise. Eksistensi manusia kian jauh dari kehidupan rohani dan beralih menjadi pemuja materi.

Aksi-aksi destruktif-konsumtif manusia pada dasarnya bisa diredam dengan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Konsepsi islam yang komprehensif sebenarnya telah memberikan batasan manusia dalam mengambil haknya atas alam dengan kesadaran spiritualitas. Jika yang kita lakukan justru sebaliknya, masih pantaskah kita disebut sebagai Khalifah Fil-Ardl?

Tomi Nurrohma (Editor adzkiyacentre.com)

0 Response to "Ekologi dan Paradoksal Khalifah Fil-Ardl"

Post a Comment