Pendidikan Di Atas Konflik Agraria
Tuesday, October 11, 2016
Add Comment
Konflik agraria yang mengakar di Register 45 Kabupaten Mesuji, berimbas pada hilangnya pelayanan pedidikan di daerah tersebut dari tanggung jawab pemerintah daerah, pelayanan pendidikan adalah hak dasar yeng harus dipenuhi oleh pemerintah, dimanapun mereka berada untuk bisa mengenyam pendidikan.
Pendidikan nasional merupakan sebuah ‘keniscayaan’ yang diperingati untuk menghormati jasa pahlawan pendidikan. Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang nama aslinya Raden Mas Soewardi Suryaningrat. Berbicara akan pendidikan saat ini tidaklah sesulit seperti jaman perjuangan. Pendidikan saat ini bisa dinikmati oleh hampir semua kalangan, walaupun ada juga beberapa kalangan yang menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal. Begitu pentingnya pendidikan bagi semua elemen masyarakat untuk kemajuan bangsa.
Pendidikan mempunyai arti dan pengertian yang sangat luas. Untuk mewujudkan dan membangun dunia pendidikan di Indonesia, agar bisa dinikmati semua elemen masyarakat, melalui usahanya Ki Hajar Dewantara menentang penjajahan Belanda. Beliau memakai semboyan “Tut Wuri Handayani” semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa.” Semboyan ini masih dipakai dalam dunia pendidikan kita, hingga era reformasi ini, bahkan dengan semboyan itu telah sedikit mengubah warna pendidikan di Indonesia saat ini.
Dari sinilah awal pendidikan indonesia mulai lahir dan berkembang untuk dinikmati berbagai elemen masyarakat. Pada tahun 2003 munculah “Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”, atau yang kita kenal dengan UU Sisdiknas. Dengan regulasi kebijakan pemerintah diharapkan mesyarakat bisa menikmati pendidikan sehinga diterapkannya wajib belajar 9 Tahun. Hal yang krusial yang dihadapi masyarakat di daerah bukan lagi pada biaya tetapi pelaksanan untuk mengakses pendidikan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebagai pelayaan kepada publik (masyarakat).
Makna 2 Mei
Pemaknaan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan, seharusnya sudah pada peningkatan pendidikan dan melakukan hal-hal yang berorentasi peda kegiatan peringatan yang dirasakan anak-anak untuk kegembiraan menyambut hari pendidikan, tetapi kenyataannya yang terjadi, masih banyak: mahasiswa; guru; dan wali murit yang sibuk untuk mempersiapkan aksi turun kejalan. Hingga setiap kali hari pendidikan nasional sebagai ajang untuk berdemo menyuarakan hak-hak mereka,“bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara” yang tertuang dalam pembuakaan Undang-Undang Dasar.
Implementasi UU Sisdiknas, faktanya di lapangan membuktikan bahwa pelaksanaan undang-undang tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya tentang hak peserta didik. Masih banyaknya carut marut dalam penerapan UU tersebut, dimana dalam “Pasal 12” telah disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Tetapi ternyata implementasi di lembaga pendidikan tidak memenuhi dan menerapkan pelayanan hak peserta didik dalam hal penerapan tersebut.
Anak-anak di kawasan konflik, khususnya konflik agraria bukan lagi memerlukan bantuan pendirian fasilitas sekolah, masyarakat di kawasan konflik sudah bisa mendirikan secara suwadaya untuk memenuhi fasilisas gedung sebagai kegiatan belajar mengajar, hingga mengelola sendiri sekolah tanpa bantuan pemerintah daerah, dalam hal kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pelayaan publik harus memberikan kemudahan bagi anak-anak yang berada di kawasan konflik. Tetapi, masalah yang dihadapi dalam persoalan pendidikan dikawasan konflik adalah tidak didukung oleh pemerintah daerah dengan tidak memberi akses izin melakukan kegiatan belajar mengajar di kawasan yang sedang terjadi konflik dengan acuan mennyalahi Undng-Undang tinggal di daerah hutan, yang banyak terjadi dilahan register (konflik agraria). Dalam hal ini pemerintah daerah harus memenuhi hak konstitusional dalam hal pendidikan anak-anak untuk sekolah.
Daerah Konflik
Wilayah konflik menjadi persoalan yang mendasar, untuk pemerintahan daerah agar bisa menyediakan pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan khususnya pelayanan di bidang pendidikan. Pendidikan adalah hal fundamental sebagai ”lilin penerang” untuk memajukan dan membuat perubahan bagi negara, dari sinilah kemajuan negara akan diukur dan terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat disuatu negara. Pemerintah daerah memiliki andil sebagai jembatan penghubung antara pemerintah pusat dan masyarakat, dalam penerapan hak konstitusional perihal pendidikan yang harus diterima oleh masyarakat di kawasan konflik.
Problem pokok penerapan pendidikan yang dihadapi masyarakat di kawasan konflik adalah pemerintah daerah itu sendiri. Semua yang dilakukan masyarakat berbenturan dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah untuk tidak memperbolehkan melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar dikawasan konflik agraria yng banyak terjadi, sehingga menimbulkan pertanyaan. “Di mana hati nurani pemerintah daerah dalam mendukung perkembangan masyarakat sekitar, dengan tidak diberikannya izin pendidikan dalam kawasan konflik?”
Realita yang sudah terjadi dalam Permasalahan pendidikan di kawasan “konflik agraria”, yaitu yang terjadi di Register 45 Kabupaten Mesuji Lampung, anak-anak yang berada di sana adalah sebagai aset negara (penerus generasi bangsa). Permasalahan tersebut sangat menyita perhatian yang serius, ini hanya segelintir kecil yang terlihat, masih banyak lagi persoalan pendidikan di kawasan konflik yang tidak terlihat, bukan hanya di Moro-moro saja, seharusnya semua tau bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan akses pendidikan, terlepas dari latar belakang tempat tinggal mereka, seperti cita-cita bangsa Indonesia yang mengutamakan pendidikan untuk dapat dinikmati oleh semua anak yang ada di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sisitem penidikan nasional .
Konstitusi sebagai landasan dalam pembentukkan peraturan perundang-undang. Dalam penerapan Undang-Undang yang ada di pemerintah daerah harus melihat dari sisi sosial dan berdasarkan pada keadilan, tidak bisa didasarkan seutuhnya pada Undang-Undang. Jika seutuhnya melihat pada undang-undang maka semua anak yang bersekolah di kawasan konflik agraria akan terancam tidak dapat bersekolh di SD yang belasan tahun berdiri, bukan hanya SD tersebut saja tetapi 2 SD lainnya juga akan terancam, ini adalah imbas penerapan kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan konstitusional negara ini.
Mereka juga berhak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang tertuang dalam hak konstitusional, mereka harus mendapatkan pendidikan dan kemudahan pelayanan pendidikan oleh pemerinta daerah. Maka solusinya adalah pemerintah harus memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tinggal di sana, memberikan kembali kegiatan belajar mangajar yang sudah selama ini berlangsung, dan menyamakan hak pendidikan bagi masyarakat disana dengan masyarakat didaerah non konflik agraria.
Rico Andreas (Front Mahasiswa Nasional Lampung)
Pendidikan nasional merupakan sebuah ‘keniscayaan’ yang diperingati untuk menghormati jasa pahlawan pendidikan. Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang nama aslinya Raden Mas Soewardi Suryaningrat. Berbicara akan pendidikan saat ini tidaklah sesulit seperti jaman perjuangan. Pendidikan saat ini bisa dinikmati oleh hampir semua kalangan, walaupun ada juga beberapa kalangan yang menganggap pendidikan merupakan sesuatu yang mahal. Begitu pentingnya pendidikan bagi semua elemen masyarakat untuk kemajuan bangsa.
Pendidikan mempunyai arti dan pengertian yang sangat luas. Untuk mewujudkan dan membangun dunia pendidikan di Indonesia, agar bisa dinikmati semua elemen masyarakat, melalui usahanya Ki Hajar Dewantara menentang penjajahan Belanda. Beliau memakai semboyan “Tut Wuri Handayani” semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa.” Semboyan ini masih dipakai dalam dunia pendidikan kita, hingga era reformasi ini, bahkan dengan semboyan itu telah sedikit mengubah warna pendidikan di Indonesia saat ini.
Dari sinilah awal pendidikan indonesia mulai lahir dan berkembang untuk dinikmati berbagai elemen masyarakat. Pada tahun 2003 munculah “Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”, atau yang kita kenal dengan UU Sisdiknas. Dengan regulasi kebijakan pemerintah diharapkan mesyarakat bisa menikmati pendidikan sehinga diterapkannya wajib belajar 9 Tahun. Hal yang krusial yang dihadapi masyarakat di daerah bukan lagi pada biaya tetapi pelaksanan untuk mengakses pendidikan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebagai pelayaan kepada publik (masyarakat).
Makna 2 Mei
Pemaknaan 2 Mei sebagai Hari Pendidikan, seharusnya sudah pada peningkatan pendidikan dan melakukan hal-hal yang berorentasi peda kegiatan peringatan yang dirasakan anak-anak untuk kegembiraan menyambut hari pendidikan, tetapi kenyataannya yang terjadi, masih banyak: mahasiswa; guru; dan wali murit yang sibuk untuk mempersiapkan aksi turun kejalan. Hingga setiap kali hari pendidikan nasional sebagai ajang untuk berdemo menyuarakan hak-hak mereka,“bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara” yang tertuang dalam pembuakaan Undang-Undang Dasar.
Implementasi UU Sisdiknas, faktanya di lapangan membuktikan bahwa pelaksanaan undang-undang tersebut sangat berbeda dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya tentang hak peserta didik. Masih banyaknya carut marut dalam penerapan UU tersebut, dimana dalam “Pasal 12” telah disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Tetapi ternyata implementasi di lembaga pendidikan tidak memenuhi dan menerapkan pelayanan hak peserta didik dalam hal penerapan tersebut.
Anak-anak di kawasan konflik, khususnya konflik agraria bukan lagi memerlukan bantuan pendirian fasilitas sekolah, masyarakat di kawasan konflik sudah bisa mendirikan secara suwadaya untuk memenuhi fasilisas gedung sebagai kegiatan belajar mengajar, hingga mengelola sendiri sekolah tanpa bantuan pemerintah daerah, dalam hal kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah sebagai pelayaan publik harus memberikan kemudahan bagi anak-anak yang berada di kawasan konflik. Tetapi, masalah yang dihadapi dalam persoalan pendidikan dikawasan konflik adalah tidak didukung oleh pemerintah daerah dengan tidak memberi akses izin melakukan kegiatan belajar mengajar di kawasan yang sedang terjadi konflik dengan acuan mennyalahi Undng-Undang tinggal di daerah hutan, yang banyak terjadi dilahan register (konflik agraria). Dalam hal ini pemerintah daerah harus memenuhi hak konstitusional dalam hal pendidikan anak-anak untuk sekolah.
Daerah Konflik
Wilayah konflik menjadi persoalan yang mendasar, untuk pemerintahan daerah agar bisa menyediakan pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan khususnya pelayanan di bidang pendidikan. Pendidikan adalah hal fundamental sebagai ”lilin penerang” untuk memajukan dan membuat perubahan bagi negara, dari sinilah kemajuan negara akan diukur dan terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat disuatu negara. Pemerintah daerah memiliki andil sebagai jembatan penghubung antara pemerintah pusat dan masyarakat, dalam penerapan hak konstitusional perihal pendidikan yang harus diterima oleh masyarakat di kawasan konflik.
Problem pokok penerapan pendidikan yang dihadapi masyarakat di kawasan konflik adalah pemerintah daerah itu sendiri. Semua yang dilakukan masyarakat berbenturan dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah daerah untuk tidak memperbolehkan melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar dikawasan konflik agraria yng banyak terjadi, sehingga menimbulkan pertanyaan. “Di mana hati nurani pemerintah daerah dalam mendukung perkembangan masyarakat sekitar, dengan tidak diberikannya izin pendidikan dalam kawasan konflik?”
Realita yang sudah terjadi dalam Permasalahan pendidikan di kawasan “konflik agraria”, yaitu yang terjadi di Register 45 Kabupaten Mesuji Lampung, anak-anak yang berada di sana adalah sebagai aset negara (penerus generasi bangsa). Permasalahan tersebut sangat menyita perhatian yang serius, ini hanya segelintir kecil yang terlihat, masih banyak lagi persoalan pendidikan di kawasan konflik yang tidak terlihat, bukan hanya di Moro-moro saja, seharusnya semua tau bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan akses pendidikan, terlepas dari latar belakang tempat tinggal mereka, seperti cita-cita bangsa Indonesia yang mengutamakan pendidikan untuk dapat dinikmati oleh semua anak yang ada di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang sisitem penidikan nasional .
Konstitusi sebagai landasan dalam pembentukkan peraturan perundang-undang. Dalam penerapan Undang-Undang yang ada di pemerintah daerah harus melihat dari sisi sosial dan berdasarkan pada keadilan, tidak bisa didasarkan seutuhnya pada Undang-Undang. Jika seutuhnya melihat pada undang-undang maka semua anak yang bersekolah di kawasan konflik agraria akan terancam tidak dapat bersekolh di SD yang belasan tahun berdiri, bukan hanya SD tersebut saja tetapi 2 SD lainnya juga akan terancam, ini adalah imbas penerapan kebijakan yang di lakukan oleh pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan konstitusional negara ini.
Mereka juga berhak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang tertuang dalam hak konstitusional, mereka harus mendapatkan pendidikan dan kemudahan pelayanan pendidikan oleh pemerinta daerah. Maka solusinya adalah pemerintah harus memberikan pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tinggal di sana, memberikan kembali kegiatan belajar mangajar yang sudah selama ini berlangsung, dan menyamakan hak pendidikan bagi masyarakat disana dengan masyarakat didaerah non konflik agraria.
Rico Andreas (Front Mahasiswa Nasional Lampung)
0 Response to "Pendidikan Di Atas Konflik Agraria"
Post a Comment