Pesantren, Lokalitas, dan Dakwah Kultural

Pesantren merupakan model pendidikan pertama dan tertua yang masih eksis hingga saat ini, bahkan tidak mengalami pemfosilan di tengah dinamika zaman. Sejarah membuktikan  besarnya kontribusi pesantren terhadap bangsa, baik di masa pra-kolonial, kolonial hingga pasca-kolonial.

Pada awalnya, pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang menampung semua lapisan masyarakat yang tidak diterima di lembaga pendidikan keraton. Mereka yang tidak berdarah biru atau tidak mempunyai kerabat dengan keraton dapat mengenyam pendidikan di pesantren. Oleh karena itu, dulunya pesantren merupakan lembaga yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama.

Saat ini, pesantren hanya menjadi pilihan alternatif dari lembaga pendidikan umum. Walapun jika dilihat dari kontribusinya terhadap pemecahan masalah sosial dan pembangunan, pesantren cukup kontributif. Dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial masyarakat, pesantren memang tidak menggunakan teori-teori pembangunan tetapi lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh sebagai refleksi dari penghayatan dan pemahaman keberagamaan sang kyai dan efektifitas dalam merubah pola hidup masyarakat. Itu tidak terlepas dari sistem pendidikan pesantren yang selalu lekat dengan masalah kekinian yang dihadapi masyarakat dengan tetap berpegang pada tradisi lokal dan ajaran Islam. Kendati demikian, pesantren sebagai lembaga penggemblengan para da’i Islam secara internal bukan tanpa masalah.

Gempuran Globalisasi dan Radikalisme Islam

Dalam konteks kekinian, pesantren dihadapkan dengan dua arus besar yang berasal dari luar dan dalam Islam, yakni globalisasi dan radikalisme Islam. Globalisasi meniscayakan terintegrasinya belahan dunia manapun. Sekat-sekat spasial antar wilayah menjadi terbuka dan tampak begitu transparan. Keterbukaan informasi ini akan berdampak pada tergerusnya eksistensi budaya lokal. Pesantren sebagai entitas yang bertugas melakukan konservasi terhadap kearifal lokal terguncang identitasnya untuk bisa memosisikan diri di tengah gencarnya paham dan budaya impor yang merusak.

Tantangan dari dalam berupa radikalisme tidak kalah berbahayanya. Radikalisme merupakan faham, wacana dan aktivisme yang berupaya mengubah sistem —politik, ekonomi, sosial dan budaya— yang ada secara radikal. Radikalisme juga menegasikan pemahaman yang dianggap bukan berasal dari Islam, termasuk tradisi dan terkesan sangat memaksakan. Wajah Islam yang tadinya tampak teduh dan ihsan berubah menjadi buram yang sarat dengan kekerasan. Parahnya, hal ini juga dilegitimasi dengan ayat-ayat yang tentu saja dimaknai secara subjektif dan tekstual.

Islam Nusantara; Islam Yang Ramah, Anti Radikal, Inklusif dan Toleran

Bermula dari tema muktamar Nahdlatul Ulama’ ke-33 Agustus 2015 di Jombang, Islam Nusantara menjadi sangat populer. Wacana tentang Islam Nusantara menuai banyak perdebatan. Penolakan datang terutama datang dari kelompok yang radikalis. Ide Islam Nusantara dianggap sebagai bentuk wacana agama yang menyimpang. Tetapi apakah demikian?

Dalam konteks keIslaman,  akulturasi antara budaya dan agama dibagi menjadi tiga. Pertama, adakalanya Islam menolak budaya setempat yang bertentangan dengan syariat. Kedua, Islam merevisi budaya yang telah ada dan menyesuaikannya dengan syariat. Ketiga, Islam hadir untuk menyetujui budaya yang telah ada tanpa menolak dan tanpa merevisinya.

Islam Nusantara sesungguhnya hanya penyederhanaan dari tipologi Islam Indonesia hasil perpaduan antara Islam dengan kebudayaan Nusantara. Nusantara dalam prespektif ini bukanlah hanya pada konsep geografis, lebih jauh dari itu Nusantara merupakan encounter culture (pusat pertemuan budaya) dari seluruh dunia. Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, meyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya.

Islam Nusantara dimaksudkan sebuah pemahaman keIslaman yang bergumul, berdialog, dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara dengan melalui proses seleksi dan akulturasi serta adaptasi. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan kultur dan agama yang beragam. Islam Nusantara bukan hanya cocok diterima orang Nusantara tetepi juga memberikan warna bagi budaya Nusantara sebagai sifat akomodatifnya yakni rahamatan lil alamin.

Pesantren Sebagai Manifestasi Pendidikan dan Dakwah Kultural

Penanaman nilai-nilai moral khas Indonesia dapat dilakukan melalui pendidikan, maka kearifan lokal (local wisdom) harus menjadi ruh dalam proses tersebut. Pesantren sangat tepat disebut sebagai representasi yang mengaktualisasikan pendidikan berbasis kearifan lokal. Sebuah model pendidikan yang oleh sebagian orang distigmatisasi sebagai model pendidikan yang kolot, jadul, dan ketinggalan zaman. Akan tetapi nilai-nilai hidup yang berkarakter khas Indonesia masih tetap terjaga di pesantren.

Beberapa alasan yang menjadikan pesantren sebagai representasi pendidikan karakter yang bernuansa lokal adalah ditinjau dari metodologi pengajaran, kultur, hingga peran para lulusan pesantren dalam kehidupan masyarakat. Sampai saat ini, pesantren tidak pernah meninggalkan kultur-kultur dalam pembelajaran yang diterapkan.

Pada intinya, terdapat tata nilai yang berlaku di lingkungan pesantren yang berusaha membentuk karakter santrinya agar siap terjun di masyarakat. Pada aras ini, kita akan melihat lulusan pesantren lebih berkarakter dan mempunyai akhlak mulia dibandingkan dengan lulusan pendidikan umum yang lebih menekankan aspek kognitif saja dan sedikit abai terhadap moralitas dan lokalitas.

Pendidikan pesantren menilai keberhasilan lulusannya dari implementasi nilai-nilai keIslaman dalam mesyarakat tanpa mengabaikan unsur lokalitas. Para santri dibekali dengan pengetahuan agama yang cukup beserta penjelasan dari kiai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dari pesantren dapat dilihat karakter masyarakat yang ada di sekitarnya karena hanya pesantrenlah yang sampai sekarang masih mempertahankan tradisi lokal yang berlaku di masyarakat. Lingkungan pesantren telah terbukti mampu membentuk karakter santrinya sesuai dengan kontreks ke-Indonesiaan yang relijius, plural dan toleran.

Tidak berlebihan kalau kita menyebut pesantren sebagai agen bagi berkembang suburnya Islam Nusantara. Pesantren yang di satu sisi mengajarkan syariat Islam sebagai landasan berIslam secara benar, di sisi lain juga mengajarkan pentingnya budaya dan kearifan lokal sebagai modal sosial untuk mendakwahkan Islam. Pada akhirnya, usaha untuk “mengislamkan Nusantara” melalui dakwah kultural yang diajarkan pesantren serta usaha “menusantarakan Islam” melalui akulturasi Islam dengan kultur lokal menemui jalannya.

Wallahu’alam bishawab.

Tomi Nurrohman (Editor Adzkiyacentre.com)

 

0 Response to "Pesantren, Lokalitas, dan Dakwah Kultural"

Post a Comment