Kemiskinan Lampung dari Sudut Budaya

Budaya punya pengaruh besar terhadap maju atau mundurnya pembangunan ekonomi di suatu negara. Pemikir besar semisal Max Weber misalnya telah menulis tentang protestan ethic atau budaya protestan yang kemudian menjelaskan mengapa Eropa dan Amerika menjadi negara yang maju saat ini. Budaya kerja keras agama Protestan telah membuat masyarakatnya bergerak untuk maju yang kemudian membawa kemajuan bagi ekonomi kapitalisme dan tentu peradaban.

Salah satu penyebab mundurnya pembangunan di Lampung adalah rusaknya institusi politik dan ekonomi akibat pengaruh budaya ‘Sekelik Ikam’ dalam tradisi Lampung yang kemudian mewarnai institusi baik birokrasi, maupun iklim usaha. Institusi yang inklusif  tanpa diskriminasi dan nepotisme padahal adalah syarat maju atau mundurnya ekonomi suatu negara seperti yang banyak ditulis oleh penelitian mutakhir para ahli ekonomi politik seperti Acemoglu & Robinson dan Dani Rodrik. Rodrik dalam karyanya Why Nations Fail misalnya menjelaskan bagaimana institusi yang extractive menghancurkan ekonomi suatu negara. Ketiga ahli itu membantah klaim banyak orang tentang pengaruh geografilah yang menjadi penyebab suatu daerah maju atau mundur sebagaimana yang diusung oleh Ekonom Columbia University yang juga pemikir ide MDGs, Jeffery Sachs .

Namun kemudian, apakah yang kemudian membuat institusi itu menjadi baik atau inclusive atau sebaliknya buruk penuh dengan kecurangan nepotisme (baca: extractive) adalah budaya itu sendiri. Dalam kasus Lampung misalnya, budaya ‘sekelik ikam’ lah yang kemudian menjadi penyebab mengapa institusi di Lampung menjadi buruk atau extractive. Institusi penuh dengan diskriminasi atas dasar kekerabatan ketimbang kompetensi. Akibat luasnya adalah birokrasi bukan yang melayani masyarakat namun melayani siapa yang satu keluarga atau yang mampu membayar. Contoh lain dari buruknya budaya ini adalah rekrutment pegawai public yang tertutup. Pengaruh luasnya kemudian birokrasi pemerintahan menjadi tidak optimal menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemerintahan.

Kemiskinan kemudian muncul karena masyarakat tidak diberi kesempatan yang sama sehingga potensi mereka tidak optimal. Banyak masyarakat yang sebenarnya berbakat menjadi wirausaha namun kerena permodalan dikuasai kelompok tertentu maka jadilah mereka hanya menjadi pengusaha kecil yang tidak berkembang bukan karena tidak ada jiwa wirausaha. Banyak rakyat Lampung pekerja keras, namun karena yang bisa bekerja menjadi PNS adalah mereka yang punya hubungan kekerabatan maka mereka yang tidak punya link orang dalam itu praktis hanya jadi pegawai swasta yang gajinya pun kecil. Banyak juga PNS Lampung yang benar dan giat bekerja namun yang dapat jabatan adalah mereka yang dekat dengan kuasa bukan atas dasar kompetensi seperti yang diajarkan para dosen di kampus-kampus ilmu sosial dan ilmu politik. Banyak orang-orang cerdas yang mampu menjadi pemimpin, namun karena partai politik dikuasi kaum elite pemilik kapital dan dekat dengan mereka maka yang menjadi aktivis partai politik, anggota DPRD, bahkan pejabat publik adalah mereka yang punya uang atau punya link tadi. Di Kampus banyak mahasiswa cerdas, sayang kecerdasan mereka sia-sia karena mereka kalah bersaing di sistem yang diskriminatif tadi. Banyak calon pengusaha yang sebenarnya bisa jadi solusi masalah kemiskinan namun sayang mereka layu sebelum berkembang.

Berharap dengan kelompok civil society yang mau mendobrak kerusakan sistemik ini pun susah di Lampung. Akdemisinya diam karena sudah jadi tim ahli, wartawannya diam karena takut korannya tidak dapat iklan dari Pemda kalau kritis. Mahasiswanya diam dan menunggu apa perintah elite politik di partai yang jadi patronnya. Bahkan aktivis mahasiswanya tak ubahnya politikus busuk karena minimnya teladan tentang politikus yang bersih seperti para founding father kita. Kampusnya sibuk dengan masalah internal dari permasalahan korupsi, suap hingga intrik perebutan jabatan.

Namun, pesimisme tidak boleh terus dipelihara. Minimal tulisan ini adalah bentuk perlawanan dari kerusakan sistemik ini. Setidaknya masih ada orang yang mau ikhlas berjuang di Lampung walau mereka tahu tidak akan depat apa-apa kecuali ancaman dan cemohan sebagai orang ‘kurang kerjaan’.

Baru- baru ini dosen-dosen di jurusan di sebuah kampus heboh dengan hadirnya dosen kontrak yang baru. Heboh karena tiba-tiba ujug-ujug tanpa proses rekrutment terbuka seorang dosen diikat menjadi dosen tanpa persetujuan warga jurusan, ketua jurusan bahkan dekan. Luar biasa semua proses birokrasi yang katanya modern bisa dilangkahi karena titipan dengan alasan sekelik ikam. Tulisam ini adalah bentuk protes kepada lembaga publik yang bernama kampus publik yang nota bene dibiayai oleh keringat rakyat dan para dosen kontraknya dibiayai dari keringat kami dosen yang mengajar tiap hari di kampus. Rusaknya institusi publik karena nepotisme inilah yang membuat kampus-kampus di Indonesia tertinggal jauh bahkan dari negara tetangganya sendiri. Kalau kampus saja tidak bisa membersihkan diri dari budaya yang salah ini maka jangan terlampau berharap lembaga publik lainnya juga ikut bersih.

Budi Kurniawan (Mahasiswa Doktoral University of Leeds UK/Dosen Universitas Lampung)

0 Response to "Kemiskinan Lampung dari Sudut Budaya"

Post a Comment