Cangkul Impor Dan Identitas Nasionalisme
Sunday, November 20, 2016
Add Comment
Aneh, itulah kesan pertama yang muncul dari kebijakan Pemerintah melalui Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI, yang membuka keran impor cangkul dari Negeri tirai banbu, China. Jumlahnya pun tidak bisa dikatakan sedikit, yaitu 1,5 juta kepala cangkul.
Miris memang, Negara yang memiliki sumber dan potensi kekayaan alam.yang berlimpah, masih berkutat dengan tradisi dan budaya impor, dengan kata lain, Indonesia.adalah Negara Impor. Bagaimana tidak? Masih jelas dalam ingatan kita betapa negara ini harus mengimpor daging dari Australia, mengimpor garam dari vietnam, mengimpor bawang dari Malaysia, dan sekarang kita dihebohkan juga dengan urusan mengimpor cangkul. Tidak kurang Ketua MPR RI menyatakan keterkejutannya dengan kebijakan yang dianggap kurang bijak dan populer ini dengan menyatakan: "mosok cangkul saja impor?".
Terlepas dari keterkejutan Ketua MPR dan juga jutaan rakyat dan pengusaha cangkul di Indonesia, lagi-lagi kita ditunjukkan dan dipertontonkan pada sebuah fakta empirik yang semakin membuktikan bahwa negara ini tidak mampu bersaing dengan negara lain, termasuk dalam hal memproduksi cangkul sekalipun. Sungguh kenyataan yang sangat ironis dan memilukan.
Tradisi Negara Importir
Preposisi di atas seolah mempertegas dan membuka mata kita bahwa pemerintahan dibawah kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo, belum mampu memberikan kebijakan yang benar-benar memproteksi kepentingan perekonomian Bangsanya sendiri. Pemerintah masih membudayakan tradisi impor. Padahal bukan tidak disadari bahwa beredarnya cangkul impor, secara langsung memberikan efek negatif terhadap produktifitas produksi cangkul di dalam negeri, dan juga mematikan sektor pendapatan para penjual cangkul. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena biasanya produk impor lebih murah dibandingkan dengan produk lokal, mengingat produk impor mendapatkan subsidi pemerintah. Meski produk cangkul lokal harganya lebih murah daripada buatan China, nampaknya hal itu tidak membuat cangkul buatan lokal mampu memenangkan persaingan dengan cangkul impor. Karena masyarakat petani kita sebagai user langsung aaat ini sudah terkooptasi dengan quslitas dan brainded yang diusung oleh cangkul impor.
Memang di satu sisi, impor cangkul yang di lakukan Pemerintah, bisa dipandang sebagai sebuah shock therapy bagi produsen cangkul lokal. Karena dengan impor cangkul ini, diharapkan mampu meningkatkan tidak saja quantitas, tapi juga qualitas cangkul yang dihasilkan. Tapi masalah yang sebenarnya bukan pada peningkatan produktifitas sebagamana penulis maksud. Seharusnya, Presiden mampu menggerakkan usaha rakyat untuk memproduksi cangkul secara massal sehingga kebutuhan nasional dapat terpenuhi tanpa harus mengimpor. Ini kalau memang alasan Pemerintah mengimpor cangkul adalah untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan cangkul di Indonesia. Harus ada proses inventarisasi atas kebutuhan cangkul di Indonesia. Bukan malah terburu-terburu membuka keran impor. Sungguh bukan sebuah kebijakan ekonomi yang menguntungkan bagi industri "percangkulan" di Indonesia.
Tesis di atas, tentu tidak berlebihan, mengingat Indonesia memiliki pabrik baja terbesar di Asia, Krakatau steel. Terlalu remeh rasanya bagi pabrik baja sekelas krakatau steel apabila hanya diminta untuk mencukupi kebutuhan cangkul untuk seluruh petani di Indonesia. Belum lagi kalau kita bicara pabrikan-pabrikan lainnya. Belum lagi claim sebagai negara agraris, seharusnya Pemerintah harusnya berfikir dan bertindak atas dasar tingkat kebutuhan para petani akan alat pertanian yang tergolong sederhana dan tradisional tersebut. Alih-alih berbicara tentang modernisasi pada dunia pertanian yang selalu menjadi jargon pemerintahan kita, malah kita dihadapkan dengan persoalan cangkul yang harus diimpor dari China. Sangat menakjubkan.
Krisis Identitas Nasionalisme
Identitas harus dimaknai sebagai ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada sebuah bangsa atau sesuatu yang membedakannya dengan bangsa lain. (Wibisono Koento, 2005). Dan Identitas ini sekaligus menjadi parameter yang menjadi ukuran mutlak suatu bangsa untuk menyatakan kemampuan dan kejayaannya. Kalau melihat term identitas yang penulis kutip tersebut, maka makna identitas bagi sebuah bangunan Nasionalisme tidak bisa dianggap sepele. Kalau kita kaitkan dengan impor cangkul, maka akan sangat remeh dan kecil bagi sebagian orang melihat dampak negatif impor cangkul terhadap kesadaran utama rakyat, kebanyakan orang dan intelektual masyarakat cenderung memberikan argumentasi positif bahwa dengan impor cangkul bisa menolong rakyat miskin ke bawah, artinya kebijakan impor cangkul sejalan dengan kebutuhan mayoritas rakyat Indonesia yang mayoritas bekerja pada sektor agraris.
Hadirnya cangkul impor yang notabene lebih murah pada titik yang lain memunculkan gap yang sangat luas dan kurang memiliki daya beli diakibatkan pendapatan minim. Dengan adanya impor cangkul dapat mendorong tingkat pembelian rakyat yang dibarengi dengan pola subsidi karitatif seperti Raskin, Kartu Sehat dan lain sebagainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun yang berani mengatakan bahwa impor cangkul yang dilakukan adalah program dari imperialisme untuk menghancurkan alam fikir rakyat, baik itu pemerintah, pakar, LSM, media cetak dan elektronik. Karena alasan murah dan berkualitas kemudian membentuk budaya inlander secara terstruktur dan sistematis kebawah alam sadar rakyat miskin, sehingga anggapan rakyat segala sesuatu yang berasal dari luar, dalam hal ini produk dan kebudayaan, sangat baik dan bermanfaat, membentuk watak rendah diri.
Akan tetapi deskripsi di atas paling tidak menunjukkan bahwa cerminan identitas Bangsa ini sebagai negara yang kaya, subur, makmur dan sederet nama indah lainnya menjadi abstrak. Kita saat ini dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis dalam kerangka identitas kebangsaan sekaligus kebanggaan sebagai bangsa yang mandiri. Pada satu sisi, sebagai sebuah bentuk nyata kecintaan kita terhadap Negara ini harus dibuktikan dengan mencintai produk dalam negeri, akan tetapi pada sisi yang lain kita dihadapkan pada sikap dan kebijakan Pemerintah yang memasukkan barang-barang impor untuk dinikmati oleh anak bangsa di negeri ini.
Identitas Nasionalisme bukan saja dibentuk dan terbentuk atas dasar agama, suku, kebudayaan, bahasa semata. Lebih dari itu, identitas nasionalisme terbentuk atas dasar kemampuan bangsa dan pemerintah di negeri ini melindungi rakyatnya dari serangan produk-produk asing. Dan ini tidak kalah berbahayanya dengan radikalisme dan terorisme. Karena menurut penulis, kalau budya impor tetap dipertahankan sebagai sebuah trend dan solusi kebijakan, maka pertaruhannya tidak saja munculnya kapitalisme gaya baru, akan tetapi mempertaruhkan identitas nasionalisme dan kebangsaan kita di mata dunia. Mempertontonkan sisi gelap ketidakmampuan bangsa ini dalam memenuhi kesejahteraan para petaninya sendiri.
Identitas Nasionalisme sebagai sebuah bangsa yang berdaulat harus diorientasikan dan ditunjukkan dengan membangun semangat dan budaya untuk mencapai kejayaan di atas kekuatan bangsa sendiri. Untuk mencapai semua ini, penulis melihat Pemerintah harus adil, konsisten, konsekuen, dan kreatif, dalam melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan Pemerintahan yang indoktriner. Identitas Nasionalisme dalam frame kebijakan-termasuk impor cangkul- penulis lihat sebagai sebuah ketidakmampuan Pemerintah dalam mengambil posisi strategis sekaligus mengambil posisi tersebut sebagai pelaku yang turut memberikan warna dan nilai positif tidak saja bagi Pemerintah, tapi juga bagi rakyat yang ada di negeri ini, terlebih di mata internasional.
Kita punya pabrik pesawat terbang, kita punya pabrik baja terbesar di Asia Tenggara, Kita punya pabrik kimia, kita punya sumberdaya manusia, dan kita punya asset yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Lalu pertanyaannya: kenapa untuk urusan cangkul saja kita harus import? Ada baiknya kita mencermati apa yang dikatakan oleh Berger dalam the Capitalist Revolution: “kapitalisme akan menguasai dunia, kaptalisme telah mengubah cara pandang suatu pemerintahan untuk menjadikannya lebur dalam sistem pemerintahan yang dijalankannya”. (Berger, 2008).
Pengaruh impor harus dipikirkan secara hati-hati, harus ada sebuah kearifan kebijakan (Policy wisdom), karena budaya impor jelas akan mempengaruhi identitas lokal dan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa. Yang terbaik menurut penulis adalah bagaimana melakukan sebuah proses “lokalisasi” kebijakan dengan tetap memperhatikan identitas lokal (baca: nasionalisme) dan mengatur antara keduanya menjadi sesuatu yang layak dan benar-benar ideal untuk diimplementasikan. Kesemua ini harus dimulai dari pemahaman yang terintegratif antara semua sektor melalui sebuah proses yang tersistem, terstruktur, dan terpola dengan sempurna. Sehingga kebijakan yang dilakukan tidak berdampak pada kerugian yang dialami oleh rakyat, tetapi lebih dari itu, tidak mempertaruhkan jati diri dan identitas nasionalisme bangsa ini hanya disebabkan oleh urusan kebijakan yang remeh seperti impor cangkul. Semoga.
Buyung Syukron (Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
Miris memang, Negara yang memiliki sumber dan potensi kekayaan alam.yang berlimpah, masih berkutat dengan tradisi dan budaya impor, dengan kata lain, Indonesia.adalah Negara Impor. Bagaimana tidak? Masih jelas dalam ingatan kita betapa negara ini harus mengimpor daging dari Australia, mengimpor garam dari vietnam, mengimpor bawang dari Malaysia, dan sekarang kita dihebohkan juga dengan urusan mengimpor cangkul. Tidak kurang Ketua MPR RI menyatakan keterkejutannya dengan kebijakan yang dianggap kurang bijak dan populer ini dengan menyatakan: "mosok cangkul saja impor?".
Terlepas dari keterkejutan Ketua MPR dan juga jutaan rakyat dan pengusaha cangkul di Indonesia, lagi-lagi kita ditunjukkan dan dipertontonkan pada sebuah fakta empirik yang semakin membuktikan bahwa negara ini tidak mampu bersaing dengan negara lain, termasuk dalam hal memproduksi cangkul sekalipun. Sungguh kenyataan yang sangat ironis dan memilukan.
Tradisi Negara Importir
Preposisi di atas seolah mempertegas dan membuka mata kita bahwa pemerintahan dibawah kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo, belum mampu memberikan kebijakan yang benar-benar memproteksi kepentingan perekonomian Bangsanya sendiri. Pemerintah masih membudayakan tradisi impor. Padahal bukan tidak disadari bahwa beredarnya cangkul impor, secara langsung memberikan efek negatif terhadap produktifitas produksi cangkul di dalam negeri, dan juga mematikan sektor pendapatan para penjual cangkul. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena biasanya produk impor lebih murah dibandingkan dengan produk lokal, mengingat produk impor mendapatkan subsidi pemerintah. Meski produk cangkul lokal harganya lebih murah daripada buatan China, nampaknya hal itu tidak membuat cangkul buatan lokal mampu memenangkan persaingan dengan cangkul impor. Karena masyarakat petani kita sebagai user langsung aaat ini sudah terkooptasi dengan quslitas dan brainded yang diusung oleh cangkul impor.
Memang di satu sisi, impor cangkul yang di lakukan Pemerintah, bisa dipandang sebagai sebuah shock therapy bagi produsen cangkul lokal. Karena dengan impor cangkul ini, diharapkan mampu meningkatkan tidak saja quantitas, tapi juga qualitas cangkul yang dihasilkan. Tapi masalah yang sebenarnya bukan pada peningkatan produktifitas sebagamana penulis maksud. Seharusnya, Presiden mampu menggerakkan usaha rakyat untuk memproduksi cangkul secara massal sehingga kebutuhan nasional dapat terpenuhi tanpa harus mengimpor. Ini kalau memang alasan Pemerintah mengimpor cangkul adalah untuk memenuhi kebutuhan ketersediaan cangkul di Indonesia. Harus ada proses inventarisasi atas kebutuhan cangkul di Indonesia. Bukan malah terburu-terburu membuka keran impor. Sungguh bukan sebuah kebijakan ekonomi yang menguntungkan bagi industri "percangkulan" di Indonesia.
Tesis di atas, tentu tidak berlebihan, mengingat Indonesia memiliki pabrik baja terbesar di Asia, Krakatau steel. Terlalu remeh rasanya bagi pabrik baja sekelas krakatau steel apabila hanya diminta untuk mencukupi kebutuhan cangkul untuk seluruh petani di Indonesia. Belum lagi kalau kita bicara pabrikan-pabrikan lainnya. Belum lagi claim sebagai negara agraris, seharusnya Pemerintah harusnya berfikir dan bertindak atas dasar tingkat kebutuhan para petani akan alat pertanian yang tergolong sederhana dan tradisional tersebut. Alih-alih berbicara tentang modernisasi pada dunia pertanian yang selalu menjadi jargon pemerintahan kita, malah kita dihadapkan dengan persoalan cangkul yang harus diimpor dari China. Sangat menakjubkan.
Krisis Identitas Nasionalisme
Identitas harus dimaknai sebagai ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada sebuah bangsa atau sesuatu yang membedakannya dengan bangsa lain. (Wibisono Koento, 2005). Dan Identitas ini sekaligus menjadi parameter yang menjadi ukuran mutlak suatu bangsa untuk menyatakan kemampuan dan kejayaannya. Kalau melihat term identitas yang penulis kutip tersebut, maka makna identitas bagi sebuah bangunan Nasionalisme tidak bisa dianggap sepele. Kalau kita kaitkan dengan impor cangkul, maka akan sangat remeh dan kecil bagi sebagian orang melihat dampak negatif impor cangkul terhadap kesadaran utama rakyat, kebanyakan orang dan intelektual masyarakat cenderung memberikan argumentasi positif bahwa dengan impor cangkul bisa menolong rakyat miskin ke bawah, artinya kebijakan impor cangkul sejalan dengan kebutuhan mayoritas rakyat Indonesia yang mayoritas bekerja pada sektor agraris.
Hadirnya cangkul impor yang notabene lebih murah pada titik yang lain memunculkan gap yang sangat luas dan kurang memiliki daya beli diakibatkan pendapatan minim. Dengan adanya impor cangkul dapat mendorong tingkat pembelian rakyat yang dibarengi dengan pola subsidi karitatif seperti Raskin, Kartu Sehat dan lain sebagainnya. Sampai saat ini tidak ada satupun yang berani mengatakan bahwa impor cangkul yang dilakukan adalah program dari imperialisme untuk menghancurkan alam fikir rakyat, baik itu pemerintah, pakar, LSM, media cetak dan elektronik. Karena alasan murah dan berkualitas kemudian membentuk budaya inlander secara terstruktur dan sistematis kebawah alam sadar rakyat miskin, sehingga anggapan rakyat segala sesuatu yang berasal dari luar, dalam hal ini produk dan kebudayaan, sangat baik dan bermanfaat, membentuk watak rendah diri.
Akan tetapi deskripsi di atas paling tidak menunjukkan bahwa cerminan identitas Bangsa ini sebagai negara yang kaya, subur, makmur dan sederet nama indah lainnya menjadi abstrak. Kita saat ini dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis dalam kerangka identitas kebangsaan sekaligus kebanggaan sebagai bangsa yang mandiri. Pada satu sisi, sebagai sebuah bentuk nyata kecintaan kita terhadap Negara ini harus dibuktikan dengan mencintai produk dalam negeri, akan tetapi pada sisi yang lain kita dihadapkan pada sikap dan kebijakan Pemerintah yang memasukkan barang-barang impor untuk dinikmati oleh anak bangsa di negeri ini.
Identitas Nasionalisme bukan saja dibentuk dan terbentuk atas dasar agama, suku, kebudayaan, bahasa semata. Lebih dari itu, identitas nasionalisme terbentuk atas dasar kemampuan bangsa dan pemerintah di negeri ini melindungi rakyatnya dari serangan produk-produk asing. Dan ini tidak kalah berbahayanya dengan radikalisme dan terorisme. Karena menurut penulis, kalau budya impor tetap dipertahankan sebagai sebuah trend dan solusi kebijakan, maka pertaruhannya tidak saja munculnya kapitalisme gaya baru, akan tetapi mempertaruhkan identitas nasionalisme dan kebangsaan kita di mata dunia. Mempertontonkan sisi gelap ketidakmampuan bangsa ini dalam memenuhi kesejahteraan para petaninya sendiri.
Identitas Nasionalisme sebagai sebuah bangsa yang berdaulat harus diorientasikan dan ditunjukkan dengan membangun semangat dan budaya untuk mencapai kejayaan di atas kekuatan bangsa sendiri. Untuk mencapai semua ini, penulis melihat Pemerintah harus adil, konsisten, konsekuen, dan kreatif, dalam melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan Pemerintahan yang indoktriner. Identitas Nasionalisme dalam frame kebijakan-termasuk impor cangkul- penulis lihat sebagai sebuah ketidakmampuan Pemerintah dalam mengambil posisi strategis sekaligus mengambil posisi tersebut sebagai pelaku yang turut memberikan warna dan nilai positif tidak saja bagi Pemerintah, tapi juga bagi rakyat yang ada di negeri ini, terlebih di mata internasional.
Kita punya pabrik pesawat terbang, kita punya pabrik baja terbesar di Asia Tenggara, Kita punya pabrik kimia, kita punya sumberdaya manusia, dan kita punya asset yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Lalu pertanyaannya: kenapa untuk urusan cangkul saja kita harus import? Ada baiknya kita mencermati apa yang dikatakan oleh Berger dalam the Capitalist Revolution: “kapitalisme akan menguasai dunia, kaptalisme telah mengubah cara pandang suatu pemerintahan untuk menjadikannya lebur dalam sistem pemerintahan yang dijalankannya”. (Berger, 2008).
Pengaruh impor harus dipikirkan secara hati-hati, harus ada sebuah kearifan kebijakan (Policy wisdom), karena budaya impor jelas akan mempengaruhi identitas lokal dan nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa. Yang terbaik menurut penulis adalah bagaimana melakukan sebuah proses “lokalisasi” kebijakan dengan tetap memperhatikan identitas lokal (baca: nasionalisme) dan mengatur antara keduanya menjadi sesuatu yang layak dan benar-benar ideal untuk diimplementasikan. Kesemua ini harus dimulai dari pemahaman yang terintegratif antara semua sektor melalui sebuah proses yang tersistem, terstruktur, dan terpola dengan sempurna. Sehingga kebijakan yang dilakukan tidak berdampak pada kerugian yang dialami oleh rakyat, tetapi lebih dari itu, tidak mempertaruhkan jati diri dan identitas nasionalisme bangsa ini hanya disebabkan oleh urusan kebijakan yang remeh seperti impor cangkul. Semoga.
Buyung Syukron (Dosen STAIN Jurai Siwo Metro)
0 Response to "Cangkul Impor Dan Identitas Nasionalisme"
Post a Comment