Marjinalisasi Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, pertumbuhan perekonomian Indonesia ditopang oleh perusahaan-perusahaan berskala besar yang berkecimpung dalam sektor industri dan jasa. Selama ini terdapat kesan marjinalisasi usaha kecil dan menengah (UKM) akibat rendahnya kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) yang di dominasi oleh sektor usaha skala besar.

Namun demikian, ambruknya nilai tukar rupiah yang pernah memporak-porandakan perekonomian Indonesia paling tidak menjadi momentum penting berbaliknya ayunan pendulum dari dominasi sektor usaha besar menuju meningkatnya UKM. Melambungnya kurs dolar AS menimbulkan dampak yang luar biasa besar bagi perusahaan-perusahaan raksasa. Paling tidak untuk belasan tahunan belakangan ini, sumber daya perusahaan-perusahaan besar sedang disibukan untuk menyelesaikan hutang-hutangnya.

Ketika sektor usaha besar sibuk melakukan rekayasa ulang terhadap korporasi, sektor UKM justru mendapat momentum untuk melakukan ekspansi usaha. Bukan hanya ekspansi dalam pengertian merambah pasar ekspor yang selama ini nampaknya sangat sulit untuk ditembus sektor UKM, tetapi juga ekspansi kapasitas produksi. Tetapi apakah peluang ini sudah memberikan ruang baru bagi UKM untuk melejit? Atau justru masih ditergugu dibawah bayang-bayang ketidak berpihakan pemangku kebijakan?

Realitas marjinalisasi usaha kecil dan menengah dapat kita saksikan dalam kenyataan sehari-hari. Kita sering melihat pelaku UKM terngah-engah menghadapi persaingan usaha yang kian ketat. Para pelaku UKM tersebut jelas membutuhkan keberpihakan yang tidak sebatas komitmen politik belaka. Kita sangat menantikan tranformasi kebijakan dan pemberdayaan UKM menuju aras realitas.

Marjinalisasi atau peminggiran terhadap UKM merupakan persoalan aksesibilitas dan akomodasi terhadap perumusan kebijakan-kebijakan publik. Sebetulnya, gejala marjinalisasi bisa dieliminasi jika ada tekanan-tekanan publik yang diluncurkan kepada perumus kebijakan, sehingga produk kebijakan tidak merugikan UKM.

Lemahnya tekanan-tekanan terhadap perumus kebijakan publik agaknya terkait dengan pemahaman tentang UKM yang kini masih carut marut. Di indonesia, salah satu acuan yang memberikan gambaran profil usaha kecil dapat dilihat dari definisi yang termuat dalam surat edaran Bank Indonesia No. 26/UKK tanggal 29 mei 1993 perihal kredit usaha kecil. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa: “yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang memiliki modal aset maksimum 600 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan rumah yang ditempati.

Sementara itu dari undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang pemberdayaan usaha kecil, definisi usaha kecil adalah badan usaha yang memiliki aset bersih maksimal 200 juta rupiah (di luar tanah dan bangunan) serta mempunyai aset penjualan maksimal 1 milyar per tahun.

Beragamnya pemahaman mengenai usaha kecil menjadi salah satu faktor yang membuat sektor ini terkesampingkan. Marjinalisasi UKM sesungguhnya amat ironis, sebab ini menyangkut kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Jumlah kontribusi sektor UKM terhadap produk domestik bruto 60,34 persen dalam lima tahun terakhir. Serapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai 97,22 persen pada periode yang sama.

Menurut laporan badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan (United Nations Conference On Trade And Development—UNCTAD), peran sektor usaha kecil di Indonesia dan Filipina masih sangat kurang jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya (dalam ismawan, 2001). Menurut laporan tersebut, perekonomian dua negara tersebut lebih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, sementara perusahaan-perusahaan yang lebih kecil hanya terkonsentrasi pada sektor pertanian, sektor informal dan sektor lain yang pertumbuhannya rendah.

Marjinalisasi UKM di Indonesia bertolak belakang dengan yang ada di negara maju. Di sana, perekonomian ditopang oleh sektor usaha kecil. Di AS misalnya, bahwa sebanyak 98 persen dari semua bisnis di AS adalah industri kecil, dimana 55 persen merupakan perusahaan milik peroangan. Dan ternyata, sektor usaha kecil menyumbang 43 persen dari Gross National product (GNP). Kontribusi lain yang paling substansial adalah sumbangan berupa inovasi dan penemuan-penemuan baru. Lebih dari 50 persen inovasi dan hasil cipta industri skala besar pada mulanya ditemukan oleh sektor usaha kecil. Ada semacam direktori hasil penemuan usaha-usaha kecil yang setiap saat bisa dimanfaatkan oleh sektor usaha besar atau investor bermodal besar. Para investor ini mengembangkan penemuan usaha kecil itu dalam skala produksi massal dengan membayar royalti kepada penemu.

Di indonesia, marjinalisasi UKM juga nampak dari lemahnya peran pemerintah dan birokrasi yang (maha) rumit. Misalnya masalah keterbatasan anggaran yang memaksa pemerintah untuk melakukan pungutan-pungutan yang terkadang sangat artifisial, ditambah mentalitas pejabat kita yang sudah terkenal korup. Pungutan-pungutan ini akan menambah invisible cost atau ‘biaya siluman’. Di samping itu, birokrat kita masih memegang teguh kultur mentalitas merumit-rumitkan urusan birokrasi, atau justeru malah merasa eksis dengan kerumitan itu?

Dalam skala makro, banyak kebijakan-kebijakan yang terkesan ‘memukul mundur’ pelaku UKM. Kita masih ingat dengan kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi penggilingan bulir gandum menjadi tepung kepada PT Bogasari yang berakibat memberi ‘monopoli alamiah’ kepada PT indofood Sukses Makmur dalam bidang produksi mie instan. Tak ayal, kebijakan ini kemudian disusul dengan aksi ‘gulung tikar’ ribuan industri kecil penghasil mie instan milik rakyat. Usaha waralaba minimarket  seperti Indomaret dan Alfamart juga menjadi raksasa baru yang menggeser usaha kecil masyarakat. Letaknya yang seringkali tidak jauh dari pasar tradisional membuat pedagang pasar ‘megap-megap’ karena kehilangan pelanggan.

Kita berharap pemerintah segera melakukan transformasi kebijakan yang lebih berpihak kepada UKM, bukan hanya sekadar wacana yang sering diobral sebagai pemanis pidato saat pencalonan. UKM tidak hanya sekadar butuh dengan uluran dana atau kredit murah dari pemerintah, UKM juga butuh persaingan usaha yang sehat dan adil!

 

Tomi Nurrohman (Pegiat Jurai Siwo Corner)

0 Response to "Marjinalisasi Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM)"

Post a Comment