Menakar Kegalauan dan Kalkulasi Politik "Sang Presiden"
Sunday, November 6, 2016
Add Comment
"Presiden Jokowi bukanlah sahabat bagi seorang Ahok di mata Hukum"
Aksi damai yang dilakukan oleh berbagai elemen dan ormas keagamaan Islam dengan menghadirkan ratusan ribu ummat Islam pada tanggal 4 November 2016 dengan agenda besar menuntut Pemerintah untuk segera memproses Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang telah menistakan Al~Qur'an berakhir dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara Pemerintah dan perwakilan demonstran (baca: peserta aksi). Salah satu poin pentingnya adalah bahwa proses penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur non aktif DKI Jakarta Ahok akan diselesaikan secara tepat, cepat, dan transparan. Bahkan secara lugas dalam waktu 2 minggu proses hukum tersebut sudah selesai. Tentu ini semua harus disikapi sebagai sebuah ikhtiar dan niatan baik dan positip antara kedua belah pihak sebagai upaya penegakan supremasi hukum. Bahwa proses hukum dimaksud dilakukan dengan transparan harus dikonsepsikan sebagai sebuah proses yang tidak akan bisa diintervensi oleh pihak manapun. Ini semua tentu dalam frame menjaga rasa keadilan semua pihak.
Ahok sebagai tokoh sentral yang menjadi obyek dan subyek aksi damai tersebut tidak boleh dilindungi oleh pihak manapun dan oleh siapapun. Kenapa? Karena memang selama ini ada sebuah konspirasi politik yang secara tidak langsung berupaya sekuat mungkin melindungi Ahok yang notabene adalah salah satu pasangan calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 15 februari 2017 yang akan datang. Hantu-hantu politik ini mencoba bermanuver dengan melindungi Ahok agar terbebas dari jerat hukum. Penulis tidak perlu menyebut siapa "hantu-hantu" politik dimaksud, karena kita semua tahu siapa dan apa motif dibalik begitu kuatnya hantu-hantu tersebut melindungi sang petahana.
Presiden sedang "galau"
Tulisan ini hanya ingin mengungkap fakta empirik di atas. Kekuatan hantu-hantu politik dalam mendramatisir fakta semakin menunjukkan dan membuktikan betapa kekuatan politik menjadi senjata tajam yang tidak bermata untuk menghantam dan menghancurkan kekuatan lainnya, termasuk kekuatan hukum yang sudah dianggap sebagai panglima dalam menegakkan aspek kebenaran dan keadilan di bumi Indonesia ini. Kalau sudah seperti ini, patut juga kita bertanya: apakah ada kekuatan politis yang bermain dibalik suksesnya aksi damai tersebut? Tentu saja kita harus melihat dari perspektif mana pertanyaan itu ditujukan? Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada para peserta aksi, maka jawabannya tentu saja tidak. Dengan kata lain, bahwa aksi yang dilakukan, adalah pure aksi solidaritas menuntut tegaknya supremasi hukum sebagaimana yang penulis maksud di atas. Tidak ada muatan atau kepentingan politis. Realistis dan masuk akal. Karena ratusan ribu manusia yang hadir pada jum'at "keramat" tersebut memang datang dari berbagai penjuru nusantara. Artinya, kalau kita relevansikan dengan kepentingan politik dalam konteks pilgub Jakarta, maka ini tidak akan bertemu. Karena sejatinya yang memiliki urgensitas terhadap kontestasi tersebut adalah warga dan masyarakat DKI Jakarta.
Selanjutnya, kalau perspektif pertanyaan di atas ditujukan kepada hantu-hantu politis, tentu saja jawabannya ya. Dengan kata lain ada muatan politis terselubung (implicity political). Apa indikator faktanya? Ini mungkin yang menarik untuk kita kaji dan dalami. Menurut analisa penulis ada beberapa faktor yang mungkin bisa memperkuat tesis tersebut.
Pertama, diawali dari silaturrahmi yang dilakukan Presiden Jokowi ke kediaman Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Silaturahmi ini tentu tidak bisa dimaknai silaturahmi yang sepele. Walaupun diselingi menunggang kuda, silaturahmi tersebut tentu memiliki agenda besar dalam upaya meredam aksi besar tanggal 4 November dimaksud. Lalu apa kepentingan Jokowi dalam hal ini? Tentu saja mudah ditebak, ada semacam kekhawatiran yang besar-kalau tidak ingin disebut kegalauan politik- pada diri sang presiden, apabila aksi rarusan ribu ummat muslim tersebut berubah menjadi people power layaknya sebagaimana yang terjadi pada reformasi 1998.
Kemudian, mengapa harus ke Prabowo? Inipun tidak akan sulit menafsirkannya. Karena Prabowo memiliki track record dan peran penting serta kekuatan pada saat terjadinya peristiwa berdarah tersebut. Tentu ini harus dilihat dan disikapi oleh Jokowi sebagai langkah antisipatif. Tentu bukan untuk mengatakan bahwa: "Pak Prabowo, ente kan punya pengalaman 1998, tolong dong jangan ditularkan pada aksi tanggal 4 November besok". Tapi Penulis melihat bahwa kehadiran bapak Presiden ke Hambalang dikarenakan sosok seorang Prabowo Subianto yang memiliki kharisma politik yang kuat dan dianggap mampu memberi arah, warna serta dinamika politik yang dikhawatirkan oleh sang Presiden saat ini. Dan yang masih segar dalam ingatan kita adalah bahwa Prabowo Subianto adalah rival politik Jokowi pada Pilpres 9 Juli 2014 yang lalu. Maaf, penulis tidak ingin menganalogikan ini sebagai dendam politik pasca pilpres. Dan sudah bisa dipastikan komunikasi politik diantara keduanya akan menjadi komunikasi polutik yang "buntu". Karena bersinggungan pada kondisi politik yang berbeda. Satu membela Ahok, satunya apriori terhadap Ahok. Ini kalau tema sentralnya adalah Ahok. Karena kalaupun komunikasi politik itu dalam upaya menekan resistensi politik dari aksi ummat muslim Indonesia, pasti akan bermuara pada Ahok juga. Inilah sumber kebuntuan tersebut.
Pada aspek lain, Penulis melihat substansi silaturahmi tersebut dilakukan dalam upaya mendapatkan simpati dan empati politik dari Prabowo Subianto. Tentu saja ini tidak bisa dikesampingkan, mengingat Ahok pada tahun 2012 maju sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta melalui perahu politik Partai Gerindra. Dan memang Ahok adalah kader partai Gerindra saat itu setelah hengkang dari Partai Golkar. Untuk mendapatkan simpati dan empati politik dari aspek ini, penulis meyakini sangat sulit. Mungkin kalau ini dijadikan harapan Jokowi kepada Prabowo, maka akan bisa dipastikan argumentasi politik yang akan dikeluarkan Prabowo adalah: "maaf pak Presiden, kalau bapak Presiden berharap saya mau melindungi Ahok, maka saya tegakan, No way, karena untuk bapak Presiden ketahui dan maklumi, bahwa Ahok sudah kami "haramkan" dan kami "kafirkan" untuk kami bela. Bukan saja karena beliau sudah di dukung partai politik lain pada Pilgub 2017 ini, ataupun Ahok sudah menjadi lawan politik kami pada kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 yang akan datang, tapi keharaman dan kekafiran Ahok lebih disebabkan atas "kemurtadan" yang membabi buta yang telah beliau lakukan. Dan itu tidak saja ditingkat partai, tapi juga pada level komunitas masyarakat miskin Jakarta yang harusnya dia bela, bukan digusur, bukan dipukuli, lalu dicamakkan seperti binatang, pak Presiden. Dan mohon maaf bapak Presiden kalau "bacot" saya agak kasar, karena memang inilah bahasa yang pantas untuk disampaikan kepada Ahok yang juga punya "bacot" tidak dirawat dan terpelihara dengan baik ketika dia berbicara".
Kemudian yang kedua, menurut penulis, ketika presiden Jokowi mengutus wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk membangun komunikasi politik dengan mantan Presiden SBY. Untuk yang satu ini mungkin tidak perlu penulis ulas, karena komunikasi ini berakhir dengan.sikap tegas SBY, yang mengatakan: "Ahok harus diproses secara hukum. Equality before the law harus ditunjukkan oleh aparat penegak hukum kita. Kalau ini hanya dijadikan dagelan saja, maka sampai lebaran kuda pun, demonstrasi tidak akan berhenti". Tentu tidak banyak yang bisa diharapkan dari komunikasi politik yang dibangun kedua negarawan tersebut. Sikap tegas SBY membuktikan bahwa semua orang sama di mata hukum, termasuk Ahok sekalipun.
Kedua, preposisi diatas memang belum tentu memiliki validitas dan realibilitas, tapi paling tidak menurut penulis, asumsi dan komunikasi politik yang terjadi diantara keempatnya bisa ditafsirkan tidak akan jauh dari seputar itu. Karena memang tulisan ini tidak pernah berharap mendapatkan justifikasi dari pembaca. Ekspektasinya tentu saja hanya memperlihatkan bahwa ada semacam dikhotomi politik yang saat ini terjadi dalam dunia perpolitikan kita saat ini. Dan itu bisa menjadi bara api yang besar yang bisa menyulut kondusifitas politik dan bidang lainnya, kalau ini tidak segera diredam dengan membangun kekuatan dan komunikasi politik kepada tokoh yang dianggap berpengaruh. Dan ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan oleh rezim penguasa saat ini. Dan tingkat resiko politik tersebut tidak ingin dianggap remeh ketika muncul aksi demonstrasi ratusan ribu ummat muslim. Apalgi setelah Presiden Jokowi angkat bicara terkait demonstrasi tersebut bahwa: "...aksi damai tersebut telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik".
Kalkulasi politik sang presiden
Kita mungkin sepakat bahwa terlalu kecil urusannya, kalau urusan seorang Ahok yang telah menistakan agama Islam melalui Tafsir Al-Maidah : 51, bisa membuat rakyat muslim Indonesia menjadi gelap gulita dan melakukan tindakan yang menjurus kepada gerakan people power.Bukan pula karena rasa spiritualitas ummat Islam mulai puda. Karena logikanya, kalau rasa keberagamaan itu sudah mulai menipis, tidak akan ada aksi solidaritas ratusan ribu ummat Muslim menuntut penuntasan kasus tersebut. Tapi yang lebih essensi adalah bahwa memang gerakan aksi solidaritas tersebut murni sebagai sebuah bentuk komunikasi dan transfer pesan yang multiarah dan multidimensional, bukan komunikasi yang linear. Dan itu harus disadari oleh semua kalangan bahwa ummat muslim Indonesia telah cerdas dalam memilih bentuk penyaluran pesan yang ingin disampaikannya.Inilah seharusnya yang harus disikapi pula secara bijak oleh para penguasa negara.
Terlalu prematur apabila eksekutif memaknai aksi damai tersebut sebagai sebuah ketidaksukaan ummat muslim terhadap pemerintahnya. Kalau boleh jujur, apa yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebuah langkah yang keliru, dengan terburu-terburu membangun komunikasi politik. Akan tetapi itu semua paling tidak membuka mata hati dan pikiran kita bahwa ada rasa khawatir yang terlalu berlebihan yang justru memperburuk citra Presiden dan Wakil Presiden. Kenapa? Karena kita bisa menjudge bahwa Presidwn dan Wakil Presiden kita belum mampu mengorganisir situasi politik yang ada disekitarnya. Yang terkooptasi dalam alam pikiran dan alam hayal mereka adalah bahwa aksi damai akan berakhir pada situasi politik yang buruk. Dan manakala itu yang terjadi, maka ada baiknya bapak Presiden dan Wakil Presiden secepatnya mengganti "penasehat politik" dan juga "penasehat spiritual" dengan yang lebih qualified. Jangan sampai kalkulasi politik yang terjadi pasca aksi damai ummat muslim yang lalu, membuat dan menambah kegalauan politik rezim penguasa saat ini. Dan yang terparah adalah menurunnya elektabilitas rakyat kepada pemimpin negaranya.
Dan pembuktian nyata atas proses hukum terhadap Ahok menjadi ujian kepada Presiden dan wakil presiden agar benar-benar dilaksanakan dengan cepat, tepat, dan transparan. Karena memang hanya inilah satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa Presiden Jokowi bukanlah sahabat untuk seorang Ahok di mata hukum. Pun dengan hantu-hantu politik yang ada disekitar Ahok, bahwa mereka tidak boleh lagi gentayangan melindungi sang penista agama, karena tidak akan pernah ada cerita hantu bisa melawan kekuatan kalimat-kalimat Allah SWT, termasuk hantu politik sekalipun. Ajang pembuktian supremasi hukum yang ditunggu oleh jutaan masyarakat muslim Indonesia, harus dijadikan kalkulasi politik bagi sang Presiden kalau benar ingin berkontestasi kembali pada pilpres 2019. Ahok hanyalah seorang manusia yang punya sifat lemah dan khilaf, tapi biarkanlah kekhilafan dan kelemahan diproses secara hukum. Jangan lagi ditambah oleh kelemahan dan kekhilafan yang lain lagi dengan cara melindunginya. Semoga.
Buyung Syukron (Dosen STAIN Metro)
Aksi damai yang dilakukan oleh berbagai elemen dan ormas keagamaan Islam dengan menghadirkan ratusan ribu ummat Islam pada tanggal 4 November 2016 dengan agenda besar menuntut Pemerintah untuk segera memproses Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang telah menistakan Al~Qur'an berakhir dengan menghasilkan beberapa kesepakatan antara Pemerintah dan perwakilan demonstran (baca: peserta aksi). Salah satu poin pentingnya adalah bahwa proses penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur non aktif DKI Jakarta Ahok akan diselesaikan secara tepat, cepat, dan transparan. Bahkan secara lugas dalam waktu 2 minggu proses hukum tersebut sudah selesai. Tentu ini semua harus disikapi sebagai sebuah ikhtiar dan niatan baik dan positip antara kedua belah pihak sebagai upaya penegakan supremasi hukum. Bahwa proses hukum dimaksud dilakukan dengan transparan harus dikonsepsikan sebagai sebuah proses yang tidak akan bisa diintervensi oleh pihak manapun. Ini semua tentu dalam frame menjaga rasa keadilan semua pihak.
Ahok sebagai tokoh sentral yang menjadi obyek dan subyek aksi damai tersebut tidak boleh dilindungi oleh pihak manapun dan oleh siapapun. Kenapa? Karena memang selama ini ada sebuah konspirasi politik yang secara tidak langsung berupaya sekuat mungkin melindungi Ahok yang notabene adalah salah satu pasangan calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 15 februari 2017 yang akan datang. Hantu-hantu politik ini mencoba bermanuver dengan melindungi Ahok agar terbebas dari jerat hukum. Penulis tidak perlu menyebut siapa "hantu-hantu" politik dimaksud, karena kita semua tahu siapa dan apa motif dibalik begitu kuatnya hantu-hantu tersebut melindungi sang petahana.
Presiden sedang "galau"
Tulisan ini hanya ingin mengungkap fakta empirik di atas. Kekuatan hantu-hantu politik dalam mendramatisir fakta semakin menunjukkan dan membuktikan betapa kekuatan politik menjadi senjata tajam yang tidak bermata untuk menghantam dan menghancurkan kekuatan lainnya, termasuk kekuatan hukum yang sudah dianggap sebagai panglima dalam menegakkan aspek kebenaran dan keadilan di bumi Indonesia ini. Kalau sudah seperti ini, patut juga kita bertanya: apakah ada kekuatan politis yang bermain dibalik suksesnya aksi damai tersebut? Tentu saja kita harus melihat dari perspektif mana pertanyaan itu ditujukan? Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada para peserta aksi, maka jawabannya tentu saja tidak. Dengan kata lain, bahwa aksi yang dilakukan, adalah pure aksi solidaritas menuntut tegaknya supremasi hukum sebagaimana yang penulis maksud di atas. Tidak ada muatan atau kepentingan politis. Realistis dan masuk akal. Karena ratusan ribu manusia yang hadir pada jum'at "keramat" tersebut memang datang dari berbagai penjuru nusantara. Artinya, kalau kita relevansikan dengan kepentingan politik dalam konteks pilgub Jakarta, maka ini tidak akan bertemu. Karena sejatinya yang memiliki urgensitas terhadap kontestasi tersebut adalah warga dan masyarakat DKI Jakarta.
Selanjutnya, kalau perspektif pertanyaan di atas ditujukan kepada hantu-hantu politis, tentu saja jawabannya ya. Dengan kata lain ada muatan politis terselubung (implicity political). Apa indikator faktanya? Ini mungkin yang menarik untuk kita kaji dan dalami. Menurut analisa penulis ada beberapa faktor yang mungkin bisa memperkuat tesis tersebut.
Pertama, diawali dari silaturrahmi yang dilakukan Presiden Jokowi ke kediaman Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Silaturahmi ini tentu tidak bisa dimaknai silaturahmi yang sepele. Walaupun diselingi menunggang kuda, silaturahmi tersebut tentu memiliki agenda besar dalam upaya meredam aksi besar tanggal 4 November dimaksud. Lalu apa kepentingan Jokowi dalam hal ini? Tentu saja mudah ditebak, ada semacam kekhawatiran yang besar-kalau tidak ingin disebut kegalauan politik- pada diri sang presiden, apabila aksi rarusan ribu ummat muslim tersebut berubah menjadi people power layaknya sebagaimana yang terjadi pada reformasi 1998.
Kemudian, mengapa harus ke Prabowo? Inipun tidak akan sulit menafsirkannya. Karena Prabowo memiliki track record dan peran penting serta kekuatan pada saat terjadinya peristiwa berdarah tersebut. Tentu ini harus dilihat dan disikapi oleh Jokowi sebagai langkah antisipatif. Tentu bukan untuk mengatakan bahwa: "Pak Prabowo, ente kan punya pengalaman 1998, tolong dong jangan ditularkan pada aksi tanggal 4 November besok". Tapi Penulis melihat bahwa kehadiran bapak Presiden ke Hambalang dikarenakan sosok seorang Prabowo Subianto yang memiliki kharisma politik yang kuat dan dianggap mampu memberi arah, warna serta dinamika politik yang dikhawatirkan oleh sang Presiden saat ini. Dan yang masih segar dalam ingatan kita adalah bahwa Prabowo Subianto adalah rival politik Jokowi pada Pilpres 9 Juli 2014 yang lalu. Maaf, penulis tidak ingin menganalogikan ini sebagai dendam politik pasca pilpres. Dan sudah bisa dipastikan komunikasi politik diantara keduanya akan menjadi komunikasi polutik yang "buntu". Karena bersinggungan pada kondisi politik yang berbeda. Satu membela Ahok, satunya apriori terhadap Ahok. Ini kalau tema sentralnya adalah Ahok. Karena kalaupun komunikasi politik itu dalam upaya menekan resistensi politik dari aksi ummat muslim Indonesia, pasti akan bermuara pada Ahok juga. Inilah sumber kebuntuan tersebut.
Pada aspek lain, Penulis melihat substansi silaturahmi tersebut dilakukan dalam upaya mendapatkan simpati dan empati politik dari Prabowo Subianto. Tentu saja ini tidak bisa dikesampingkan, mengingat Ahok pada tahun 2012 maju sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta melalui perahu politik Partai Gerindra. Dan memang Ahok adalah kader partai Gerindra saat itu setelah hengkang dari Partai Golkar. Untuk mendapatkan simpati dan empati politik dari aspek ini, penulis meyakini sangat sulit. Mungkin kalau ini dijadikan harapan Jokowi kepada Prabowo, maka akan bisa dipastikan argumentasi politik yang akan dikeluarkan Prabowo adalah: "maaf pak Presiden, kalau bapak Presiden berharap saya mau melindungi Ahok, maka saya tegakan, No way, karena untuk bapak Presiden ketahui dan maklumi, bahwa Ahok sudah kami "haramkan" dan kami "kafirkan" untuk kami bela. Bukan saja karena beliau sudah di dukung partai politik lain pada Pilgub 2017 ini, ataupun Ahok sudah menjadi lawan politik kami pada kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 yang akan datang, tapi keharaman dan kekafiran Ahok lebih disebabkan atas "kemurtadan" yang membabi buta yang telah beliau lakukan. Dan itu tidak saja ditingkat partai, tapi juga pada level komunitas masyarakat miskin Jakarta yang harusnya dia bela, bukan digusur, bukan dipukuli, lalu dicamakkan seperti binatang, pak Presiden. Dan mohon maaf bapak Presiden kalau "bacot" saya agak kasar, karena memang inilah bahasa yang pantas untuk disampaikan kepada Ahok yang juga punya "bacot" tidak dirawat dan terpelihara dengan baik ketika dia berbicara".
Kemudian yang kedua, menurut penulis, ketika presiden Jokowi mengutus wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk membangun komunikasi politik dengan mantan Presiden SBY. Untuk yang satu ini mungkin tidak perlu penulis ulas, karena komunikasi ini berakhir dengan.sikap tegas SBY, yang mengatakan: "Ahok harus diproses secara hukum. Equality before the law harus ditunjukkan oleh aparat penegak hukum kita. Kalau ini hanya dijadikan dagelan saja, maka sampai lebaran kuda pun, demonstrasi tidak akan berhenti". Tentu tidak banyak yang bisa diharapkan dari komunikasi politik yang dibangun kedua negarawan tersebut. Sikap tegas SBY membuktikan bahwa semua orang sama di mata hukum, termasuk Ahok sekalipun.
Kedua, preposisi diatas memang belum tentu memiliki validitas dan realibilitas, tapi paling tidak menurut penulis, asumsi dan komunikasi politik yang terjadi diantara keempatnya bisa ditafsirkan tidak akan jauh dari seputar itu. Karena memang tulisan ini tidak pernah berharap mendapatkan justifikasi dari pembaca. Ekspektasinya tentu saja hanya memperlihatkan bahwa ada semacam dikhotomi politik yang saat ini terjadi dalam dunia perpolitikan kita saat ini. Dan itu bisa menjadi bara api yang besar yang bisa menyulut kondusifitas politik dan bidang lainnya, kalau ini tidak segera diredam dengan membangun kekuatan dan komunikasi politik kepada tokoh yang dianggap berpengaruh. Dan ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan oleh rezim penguasa saat ini. Dan tingkat resiko politik tersebut tidak ingin dianggap remeh ketika muncul aksi demonstrasi ratusan ribu ummat muslim. Apalgi setelah Presiden Jokowi angkat bicara terkait demonstrasi tersebut bahwa: "...aksi damai tersebut telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik".
Kalkulasi politik sang presiden
Kita mungkin sepakat bahwa terlalu kecil urusannya, kalau urusan seorang Ahok yang telah menistakan agama Islam melalui Tafsir Al-Maidah : 51, bisa membuat rakyat muslim Indonesia menjadi gelap gulita dan melakukan tindakan yang menjurus kepada gerakan people power.Bukan pula karena rasa spiritualitas ummat Islam mulai puda. Karena logikanya, kalau rasa keberagamaan itu sudah mulai menipis, tidak akan ada aksi solidaritas ratusan ribu ummat Muslim menuntut penuntasan kasus tersebut. Tapi yang lebih essensi adalah bahwa memang gerakan aksi solidaritas tersebut murni sebagai sebuah bentuk komunikasi dan transfer pesan yang multiarah dan multidimensional, bukan komunikasi yang linear. Dan itu harus disadari oleh semua kalangan bahwa ummat muslim Indonesia telah cerdas dalam memilih bentuk penyaluran pesan yang ingin disampaikannya.Inilah seharusnya yang harus disikapi pula secara bijak oleh para penguasa negara.
Terlalu prematur apabila eksekutif memaknai aksi damai tersebut sebagai sebuah ketidaksukaan ummat muslim terhadap pemerintahnya. Kalau boleh jujur, apa yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebuah langkah yang keliru, dengan terburu-terburu membangun komunikasi politik. Akan tetapi itu semua paling tidak membuka mata hati dan pikiran kita bahwa ada rasa khawatir yang terlalu berlebihan yang justru memperburuk citra Presiden dan Wakil Presiden. Kenapa? Karena kita bisa menjudge bahwa Presidwn dan Wakil Presiden kita belum mampu mengorganisir situasi politik yang ada disekitarnya. Yang terkooptasi dalam alam pikiran dan alam hayal mereka adalah bahwa aksi damai akan berakhir pada situasi politik yang buruk. Dan manakala itu yang terjadi, maka ada baiknya bapak Presiden dan Wakil Presiden secepatnya mengganti "penasehat politik" dan juga "penasehat spiritual" dengan yang lebih qualified. Jangan sampai kalkulasi politik yang terjadi pasca aksi damai ummat muslim yang lalu, membuat dan menambah kegalauan politik rezim penguasa saat ini. Dan yang terparah adalah menurunnya elektabilitas rakyat kepada pemimpin negaranya.
Dan pembuktian nyata atas proses hukum terhadap Ahok menjadi ujian kepada Presiden dan wakil presiden agar benar-benar dilaksanakan dengan cepat, tepat, dan transparan. Karena memang hanya inilah satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa Presiden Jokowi bukanlah sahabat untuk seorang Ahok di mata hukum. Pun dengan hantu-hantu politik yang ada disekitar Ahok, bahwa mereka tidak boleh lagi gentayangan melindungi sang penista agama, karena tidak akan pernah ada cerita hantu bisa melawan kekuatan kalimat-kalimat Allah SWT, termasuk hantu politik sekalipun. Ajang pembuktian supremasi hukum yang ditunggu oleh jutaan masyarakat muslim Indonesia, harus dijadikan kalkulasi politik bagi sang Presiden kalau benar ingin berkontestasi kembali pada pilpres 2019. Ahok hanyalah seorang manusia yang punya sifat lemah dan khilaf, tapi biarkanlah kekhilafan dan kelemahan diproses secara hukum. Jangan lagi ditambah oleh kelemahan dan kekhilafan yang lain lagi dengan cara melindunginya. Semoga.
Buyung Syukron (Dosen STAIN Metro)
0 Response to "Menakar Kegalauan dan Kalkulasi Politik "Sang Presiden""
Post a Comment