Akademisi, Antara Kemunafikan dan Kebohongan

 

Gotong royong untuk membuat suatu hal menjadi lebih baik merupakan suatu perbuatan yang memang seharusnya dilakukan. Halangan dan rintangan akan senantiasa mudah untuk dihadapi apabila dipikul secara bersama, akan tetapi bagaimana jika gotong royong tersebut justru tergolong kedalam suatu tindakan yang terorganisir sebagai cover sebuah kebohongan besar?

Kebohongan atau kemunafikan sudah menjadi bagian dari hidup, baik dari kalangan rakyat biasa, akademisi, politikus, dan lainya sarat akan tindakan yang menjurus kepada kata bohong. Islam sendiri jelas melarang bahkan banyak terpamapang jelas firman Allah atas tidak diperbolehkanya berbohong, salah satunya adalah Al-Quran Surat As-Shaff : 2-3.

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. As-Shaff : 2-3) maka dari itu jelas bahwa kebencian Alah terhadap mereka yang berbuat bohong.

Dewasa ini justru yang terjadi sangat berlawanan dengan isi kandungan dari firman tersebut. Bagaimana tidak, saat ini justru adanya tindakan terorganisir dalam kebohongan yang dilakukan oleh para akademisi yang padahal notabene adalah orang-orang yang berwawasan pendidikan tinggi. Mereka berhasil membuat sebuah desain yang apik terhadap kebohongan dan kemunafikan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi apabila sekelas profesor-pun akrab dan bergumul dengan tindakan kebohongan. Alih-alih ingin membuat suatu lembaga menjadi lebih “baik” mereka para pakar akademisi yang dituakan justru melakukan mind control terhadap antek akademisnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani.

Mereka yang berada dalam kasta tertinggi dunia pendidikan dengan kepintaranya senantiasa gemar menebar kebohongan dan kemunafikan. Hal ini justru menunjukan bahwa kredibilitas mereka jauh dari kata baik, imbasnya adalah tidak akan ada bedanya antara kebaikan dan keburukan apabila mereka telah membentuk wadah dengan sedemikian rupa sehingga terlihat begitu baik.

Perihal substansi tidak akan terlalu dipikirkan ketika melihat cover-dari suatu produk tersebut baik. Substansi baik, cover bagus akan sama dengan substansi buruk, cover bagus. Kemahiran mereka dalam mengatur pola kemunafikan dan kebohongan yang terstruktur sebenarnya sangat bertentangan dengan apa hakikat ilmu pendidikan pada umumnya. Buat apa pintar tapi gemar membodohi dan membohongi orang?

Perbuatan seperti itu sudah menjadi agenda rutin di setiap instansi maupun lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan. Walhasil para tetua akademisi dengan pikiran kolot dan sikap permisif terhadap hal seperti ini akan membentuk suatu siklus berupa lingkaran setan yang akan ditiru oleh generasi berikutnya. Terlebih lagi para antek akademisi yang masih belum terlalu picik pikiranya akan dipaksa turut dalam permainan kotor mereka.

Para antek akademisi ini pada kenyataanya tidak mampu melawan otoriterisasi dari tetua sehingga mereka yang masih dalam tataran belajar ilmu pendidikan tidak akan bisa merubah desain yang sudah menjadi budaya “borok” para tetua akademisi.

Patokan embel-embel baik di depan atau dibelakang nama mereka seharusnya mencerminkan attitude yang sesuai, namun faktanya dengan kebanggaan mereka dengan embel-embel tersebut mereka hanya sekedar bangga tanpa mampu merubah keadaan menjadi lebih baik dengan cara atau metode yang baik pula.

Pondasi yang mereka bangun untuk mendirikan suatu istana pendidikan nan megah berasal dari adukan kemunafikan dan kebohongan. Dari seberang mungkin tampak bagus bangunan tersebut, akan tetapi untuk kualitasnya bisa dilihat dari pondasi yang sudah ada.

Mirisnya mereka yang seperti itu tetap meminta hak penuh untuk dihormati dari segi apapun dan oleh siapapun, antek akademisi yang sebenarnya memiliki kekuatan terbesar bahkan sangat mampu untuk merobohkan bangunan besar itupun seolah dibius untuk senantiasa diam dalam hegemonisasi kaum sendiri. Tetua akademisi akan melihat kecil para antek yang ada tanpa mengapresiasi segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang sebenarnya sangat haus akan pengayoman dari para pini sepuh.

Pada masa dimana mereka berdiri diatas sikap pongah akan senantiasa terjaga, arogansi mereka terhadap pion-pion penggerak roda akademisi tidak akan berubah. Di lain waktu mereka juga akan memanfaatkan para pion tersebut untuk “tumbal” akademis pada masa kepemimpinanya. Misalnya ketika hendak ditinjau mengenai kinerja mereka maka rantai dusta akan kembali diikatkan di leher semua bawahan mereka.

“Sepelene.. koe adol keripik, ora mungkin kan koe arep ngomong neng uwong lek gorengmu nganggo minyak jelantah” jadi alternatifnya apabila ditanya maka bohong menjadi senjata pamungkas yang ampuh. Lebih tepatnya adalah berbondong-bondong dalam kebohongan untuk sesuatu yang lebih baik.

Seharusnya apabila lebih berpedoman kepada Al-Quran untuk tidak berbohong dalam bertutur dari segi apapun maka kebaikan yang sifatnya lebih hakiki akan diraih, terlebih lagi mereka adalah sekelompok orang-orang dengan tingkat dan kapasitas pendidikan yang tinggi. Bukankah berilmu setinggi apapun jikalau tak jujur maka akan tetap hancur?

Mereka seharusnya membaca buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer supaya tercerahkan dalam banyak hal. Mengutip kata-kata Pram, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”-Bumi Manusia- apalagi dilihat dari gelar mereka maka istilah terpelajar bahkan kurang, mereka adalah expert dalam ilmu pendidikan. Maka dari itu mind set mereka sudah seharunya menunjukan bahwa mereka adalah seorang yang ahli.

Lagi, Pram, “Kalian Boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai” kejujuran juga merupakan sastra yang harus senantiasa dilestarikan.

Julianto Nugroho (Pegiat Jurai Siwo Corner)

0 Response to "Akademisi, Antara Kemunafikan dan Kebohongan"

Post a Comment