Catatan Untuk Wisudawan
Monday, December 5, 2016
Add Comment
Dimana ada permasalah timbul, disitu jawaban akan muncul. Setali tiga uang, ratusan bahkan ribuan manusia yang digadang menjadi perubah dan pengurai masalah dikukuhkan sebagai wisudawan. Permasalahan yang ada, dengan lantang diberikan kepada mereka yang belum siap secara psikologis. Bagaikan lulusan sekolah dasar di pelosok desa tanpa jaringan internet yang diberikan komputer untuk digunakan sebagai alat administrasi desa.
Bayangkan mereka yang belum siap output-nya harus melawan sebuah teguran dan himpitan pekiknya masalah. Wal hasil, bukan solusi yang diperoleh namun menambah beban masalah. Mau jadi sarjana muda ataukah menjadi intelektual muda. Sarjana muda dan intelektual adalah sebuah frase yang mengandung arti nan jauh beda. Jika sarjana diinterpretasikan seseorang yang telah lulus dari bangku kuliah dengan kompetensi yang tak cukup untuk memikul beban akademik, maka lain beda dengan intelektual. Mereka diasah dalam kerumunan dan antrian peminjaman buku di perpustakaan atau diruang baca umum, mereka yang dengan gigih membaca ribuan literatur, dan mereka yang gagah menembus gurun nan terjal dalam ruang-ruang diskusi.
Semua itu bertolak dari apa yang dikerjakan dan ekspektasi. Barangkali, hanya segilintir orang dengan gamplang mengartikan kedua dengan baik, lainya menyamakan dua frase itu dalam satu arti. Sedangkan, ekspektasi dari kedua golongan itu akan menunjukan bias yang berbeda.
Gelar dan Pola Fikir
Kalau boleh mengkritisi gejala awal galaunya kiprah sarjana muda, penulis hanya ingin mengurai bahwa mereka yang saat ini menderita jiwa dalam kebisingan duniawiyah, sebenarnya telah mereka lalui 4 tahun silam, semenjak coretan warna-warni melukis indah di baju kebesaran SMA. Lulusan SMA yang malu untuk menjadi penggaguran sementara mencari selimut, sebagai “ Mahasiswa”, agar dipandang tak hina dan menjaga prestige di mata rekan sejawat. Gejala pertama ini seperti siklus penyakit kronis yang menggerogoti dan mematikan. Kini siklus kedua muncul dengan desaran yang amat besar, tamparan keras, ciutan miring kasar, pekikan kata “sudah kerja dimana?” membuat mati kutu sekujur organ dalam tubuh. Menyelimuti diri dengan jubah keren nan mentereng “ Mahasiswa” membuat nya lupa diri dan makin menghilang bahwa tuntunan menjadi intelektual adalah mengamalkan tri dharma perguruan tinggi.
Mereka yang hanya kuliah dan diskusi hal-hal ringan tentang lawan jenis, bukan tentang konsep-konsep keilmuwan asyik menikmati kultus menjadi pemikir. Mereka yang asik seharian duduk di kantin, dari pada berjam-jam di perpustakaan. Lebih faham gadget keluaran terbaru dari pada buku dan penelitian terupdate, gelar sarjana tanpa dedikasi keilmuwan, torehan prestasi, karya, dan literasi. Akhirnya, keluarlah mereka dengan gelar suci “Sarjana”, tanpa ada tanggung jawab akademik di dalamnya. ikrar hanya satu dari rentetan acara megah yudisium dan wisuda, selebihnya tanpa amalan yang nyata.
Berebut Materil
Ada perbedaan yang tajam antara ilmuwan dan broker yang menyamar menjadi ilmuwan. Gambaran sederhana, di terminal-terminal besar menjamur ratusan calo yang menyamar menjadi kemudi kendaraan. Demi uang receh, nyawa dan dendam kesumat menjadi taruhan. Naas nya sama dengan sarjana yang lebih memilih menjadi broker proyek, alih-alih merauk fee project sampai tindakan kotor nan busuk dilakukan. Nalar telah dipelihara dengan baik saat menjadi mahasiswa luntur sekejap berubah tak ubahnya preman yang berseragam.
Keahlian minim dan tuntutan jabatan bertemu membentuk perilaku instant, semua nya dilakukan tanpa prosedur, substansi yang tak jelas dan output tak berguna. Dengan berani di sini penulis menghadirkan gambaran klasik rebutan uang receh negara. Penelitian dan pengabdian tanggup jawab berat seorang akademisi tak ubahnya menjadi ladang penghasilan dan rebutan. Bukan secara kompetitif bertarung berdasarkan kemahiran menangkap fenomena sosial, akan tetapi dijadikan ajang pemuas birahi martabat dan uang.
Penelitian abal-abal dibiayai dengan mahal, isi tak perlu diperiksa, implementasi tak perlu dijalankan, yang penting Surat Pertanggung Jawaban keuangan harus dibuat untuk mencairkan dana umat. Pengabdian bukan lagi didasarkan jiwa yang ikhlas, proyek pengabdian dimanipulasi, peserta gadungan, materi tak masuk akal, program yang tak karuan, lagi yang penting SPJ digarap uang umat akan ada ditangan.
Begitulah realita di lapangan, mereka yang enggan jujur dengan hati dermawan dan negarawan. Realitas memanggil seraya meminta ulur tangan, sang ilmuwan sibuk menjadi hartawan.
Nyanuar Algiovan
Bayangkan mereka yang belum siap output-nya harus melawan sebuah teguran dan himpitan pekiknya masalah. Wal hasil, bukan solusi yang diperoleh namun menambah beban masalah. Mau jadi sarjana muda ataukah menjadi intelektual muda. Sarjana muda dan intelektual adalah sebuah frase yang mengandung arti nan jauh beda. Jika sarjana diinterpretasikan seseorang yang telah lulus dari bangku kuliah dengan kompetensi yang tak cukup untuk memikul beban akademik, maka lain beda dengan intelektual. Mereka diasah dalam kerumunan dan antrian peminjaman buku di perpustakaan atau diruang baca umum, mereka yang dengan gigih membaca ribuan literatur, dan mereka yang gagah menembus gurun nan terjal dalam ruang-ruang diskusi.
Semua itu bertolak dari apa yang dikerjakan dan ekspektasi. Barangkali, hanya segilintir orang dengan gamplang mengartikan kedua dengan baik, lainya menyamakan dua frase itu dalam satu arti. Sedangkan, ekspektasi dari kedua golongan itu akan menunjukan bias yang berbeda.
Gelar dan Pola Fikir
Kalau boleh mengkritisi gejala awal galaunya kiprah sarjana muda, penulis hanya ingin mengurai bahwa mereka yang saat ini menderita jiwa dalam kebisingan duniawiyah, sebenarnya telah mereka lalui 4 tahun silam, semenjak coretan warna-warni melukis indah di baju kebesaran SMA. Lulusan SMA yang malu untuk menjadi penggaguran sementara mencari selimut, sebagai “ Mahasiswa”, agar dipandang tak hina dan menjaga prestige di mata rekan sejawat. Gejala pertama ini seperti siklus penyakit kronis yang menggerogoti dan mematikan. Kini siklus kedua muncul dengan desaran yang amat besar, tamparan keras, ciutan miring kasar, pekikan kata “sudah kerja dimana?” membuat mati kutu sekujur organ dalam tubuh. Menyelimuti diri dengan jubah keren nan mentereng “ Mahasiswa” membuat nya lupa diri dan makin menghilang bahwa tuntunan menjadi intelektual adalah mengamalkan tri dharma perguruan tinggi.
Mereka yang hanya kuliah dan diskusi hal-hal ringan tentang lawan jenis, bukan tentang konsep-konsep keilmuwan asyik menikmati kultus menjadi pemikir. Mereka yang asik seharian duduk di kantin, dari pada berjam-jam di perpustakaan. Lebih faham gadget keluaran terbaru dari pada buku dan penelitian terupdate, gelar sarjana tanpa dedikasi keilmuwan, torehan prestasi, karya, dan literasi. Akhirnya, keluarlah mereka dengan gelar suci “Sarjana”, tanpa ada tanggung jawab akademik di dalamnya. ikrar hanya satu dari rentetan acara megah yudisium dan wisuda, selebihnya tanpa amalan yang nyata.
Berebut Materil
Ada perbedaan yang tajam antara ilmuwan dan broker yang menyamar menjadi ilmuwan. Gambaran sederhana, di terminal-terminal besar menjamur ratusan calo yang menyamar menjadi kemudi kendaraan. Demi uang receh, nyawa dan dendam kesumat menjadi taruhan. Naas nya sama dengan sarjana yang lebih memilih menjadi broker proyek, alih-alih merauk fee project sampai tindakan kotor nan busuk dilakukan. Nalar telah dipelihara dengan baik saat menjadi mahasiswa luntur sekejap berubah tak ubahnya preman yang berseragam.
Keahlian minim dan tuntutan jabatan bertemu membentuk perilaku instant, semua nya dilakukan tanpa prosedur, substansi yang tak jelas dan output tak berguna. Dengan berani di sini penulis menghadirkan gambaran klasik rebutan uang receh negara. Penelitian dan pengabdian tanggup jawab berat seorang akademisi tak ubahnya menjadi ladang penghasilan dan rebutan. Bukan secara kompetitif bertarung berdasarkan kemahiran menangkap fenomena sosial, akan tetapi dijadikan ajang pemuas birahi martabat dan uang.
Penelitian abal-abal dibiayai dengan mahal, isi tak perlu diperiksa, implementasi tak perlu dijalankan, yang penting Surat Pertanggung Jawaban keuangan harus dibuat untuk mencairkan dana umat. Pengabdian bukan lagi didasarkan jiwa yang ikhlas, proyek pengabdian dimanipulasi, peserta gadungan, materi tak masuk akal, program yang tak karuan, lagi yang penting SPJ digarap uang umat akan ada ditangan.
Begitulah realita di lapangan, mereka yang enggan jujur dengan hati dermawan dan negarawan. Realitas memanggil seraya meminta ulur tangan, sang ilmuwan sibuk menjadi hartawan.
Nyanuar Algiovan
0 Response to "Catatan Untuk Wisudawan"
Post a Comment