Membaca Pram
Wednesday, December 14, 2016
Add Comment
Sepuluh tahun di buang ke pulau Buru (1967 - 1979), Pram dan sesama tapol (tahanan politik) menjalani hidup melarat dan siksa. Dipaksa banting tulang serupa kerja rodi di masa kolonial. Terisolasi dari peristiwa dan perkembangan nasional dan luar negeri. Jauh dari sanak keluarga orang-orang tercinta juga peradaban. Mental-psikologis berangsur kacau diiringi tatapan nanar anak manusia dihadapan dunia yang melahirkannya. Kelaparan menggodam lambung para tapol, yang tak kuat mati, sebagian putus asa lalu memilih bunuh diri sebab tak kuat bertarung dalam rotasi waktu yang membanting-banting tiada kenal jeda. Pram menyaksikan bagaimana kesuraman hadir begitu telanjang. Itu sebabnya ia berucap: berjuang menahan rasa lapar adalah juga bentuk kepahlawanan. Segala sesuatu yang berurusan dengan perut harus diperhitungkan dengan baik, nama lain dari pengiritan konsumsi. Makanan tampil sebagai barang mewah bagi tubuh-tubuh koyak.
Ke mana mata memandang hanya maut yang tampak; bagaimana pun dan kemana pun kau bergerak kuburan juga tujuannya. Kehidupan pembuangan di pulau Buru waktu itu, kata harapan terdengar seperti sesosok makhluk asing yang jauh di langit. Tapi Pram menolak takluk oleh keadaan yang mencekik. Ia memilih meninju wajah takdir dengan seluruh manifestasi yang ditampakkannya. Pram tidak tersungkur di balik batubesar penuh airmata meratapi nasib, tidak mengutuk-sumpahi keras keseharian yang dijalaninya. Ia seorang petarung dalam arti sebenar-benarnya. Pram dan sesama tapol setiap hari melakukan kegiatan kerja-kobar yang mengandalkan tenaga fisik, memeras kesabaran. Para tapol dihukum dipaksa terus bekerja tiada henti membabat hutan belukar yang masih perawan guna membangun infrastruktur dan perluasan persawahan.
Di tengah aktivisme sebagai tapol, Pram masih membagi waktu untuk kegiatan kerja-tekun berupa membaca, menulis, dan mengajar. Perhatian dan pikirannya seperti tidak pernah tidur memikirkan Indonesia dan persoalan yang dihadapi negeri tercinta meliputi banyak aspek: sejarah, hak asasi manusia, pendidikan, ekonomi maritim, demokrasi, dan kebudayaan. Semua itu ia refleksikan untuk kemudian dituangkan lewat tulisan. Ajaibnya, Pram lakukan itu dalam keadaan krisis dan penuh tekanan, belum terhitung selusin perlakuan tidak adil dan sarat kekerasan yang dialaminya sebelumnya. Bandingkan dengan kehidupan eksponen Manikebu, bekas rival Pram (dan Lekra) dilapangan kebudayaan, ideologi dan politik itu yang sedang di atas angin, yang begitu mudah mendapat akses dan fasilitas serta terbuka lebar ruang pengembangan diri dan literatur yang berlimpah.
Jiwa Pram pernah terpukul hebat ketika pada suatu hari perpustakaan dan dokumentasi sejarah yang telah ia bangun selama kurang lebih 20 tahun dihancur-binasakan. Peristiwa itu terjadi setelah Pram diambil paksa dari rumah dan dibawa ke Kostrad. Padahal Pram telah berpesan kepada mereka yang mengambilnya agar menyelamatkan perpustakaan dan dokumentasi tersebut. Kalau pemerintah mau ambil, ambillah, asal diselamatkan. Karena bagaimana pun, kata Pram, akan sangat berguna bagi kepentingan nasional. Menghancurkan perpustakaan dan dokumentasi sama halnya memusuhi ilmu pengetahuan, menghancurkan tonggak-tonggak peradaban, memacetkan upaya kemajuan dan akal sehat. Rezim telah berbuat sewenang-wenang pada seorang pengarang brilian dan pejuang kemerdekaan asal Blora itu. Hanya mereka yang idiot dan berjiwa binatang yang tanpa malu melakukannya. Namun, sejarah adalah matahari yang tak bisa mereka sembunyikan terang cahayanya.
Saya kira, Pram dengan gigih telah menunjukkan dedikasi intelektual yang berakar kuat pada kekuatan cinta akan hidup, yang takkan bisa dipatahkan oleh taufan sekalipun. Dan mendadak teringat bebaris sajak WS Rendra: "Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh. Hidup adalah untuk mengolah hidup. Bekerja membalik tanah memasuki langit dan samodra. Kita menyandang tugas. Karena tugas adalah tugas. Bukan demi sorga atau neraka. Tapi demi kehormatan manusia."
Jika ada orang bertanya kepada saya siapa sosok yang tepat dikalungi sajak WS Rendra itu dilehernya, dengan tandas saya menyebut Bung Pram. Bagi Pram, hidup adalah berkarya tiada batas meski dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun. "Bunuhlah aku bila tak dibutuhkan lagi oleh kehidupan." tulis Pram mendeskripsikan prinsip pribadi. Apabila ada sesuatu yang tampak dianggap masalah bagi Pram di pulau Buru, hal itu hanya terkait soal literatur bacaan. Di pulau Buru buku-buku terbatas sekali. Pram membaca apa saja yang bisa ia baca, majalah Amerika terbitan Serikat Jesuit adalah salah satu yang paling disukainya.
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang melarat, mendesak Pram berpikir cerdas, mencari alternatif solusi agar aktualisasi kognitif bisa jalan terus. Untuk mengongkosi kebutuhan fasilitas menulis, Pram melihara delapan ekor ayam dan telurnya ia jual ke pejabat di pulau Buru. Hasil jualan ia gunakan untuk membeli kertas, syarat mutlak bagi keberlangsungan menulis. Dari situlah Pram menafasi kerja kreatif.
Apa alasan penyebab Pram dan sesama tapol di buang ke pulau Buru? Jawabnya lucu dan sulit dimengerti: dituduh pengkhianat oleh aparatus Orde Baru yang baru saja naik takhta dan didukung blok-imperialis yang bahu-membahu sukses mengkudeta presiden Sukarno dan secara bertahap namun sistematis menyingkirkan prinsip-prinsip sosialisme Indonesia diganti konsep pembangunan berkiblat kapitalisme melalui serangkaian siasat, manipulasi, serta teror berkelanjutan. Para tapol macam Pram dan sesama disebut pemutar-balik Pancasila. Dan selalu, tanpa pernah Orde Baru membuktikan tuduhan mereka itu.
Banyak sekali korban dijebloskan ke penjara atau dilempar ke pulau pembuangan tanpa proses hukum dan pengadilan. Yang lain mendapat jatah langsung dibunuh, atau diculik kemudian dibunuh belakangan. Seluruh rangkaian praktik ini memperlihatkan kejahatan negara Orde Baru terhadap kemanusiaan dan keadilan. Dampaknya di pelbagai sektor amat terasa hingga sekarang dengan sub-sub persoalan yang semakin menggurita. Sejak itu sisi gelap berkalang aib menghiasi lembaran sejarah modern Indonesia. Mengapa terjadi? Mungkin mereka para korban adalah orang-orang benar, dan kebenaran merupakan musuh paling ditakuti kekuasaan yang keji dan korup.
Marlon Mochtar
Ke mana mata memandang hanya maut yang tampak; bagaimana pun dan kemana pun kau bergerak kuburan juga tujuannya. Kehidupan pembuangan di pulau Buru waktu itu, kata harapan terdengar seperti sesosok makhluk asing yang jauh di langit. Tapi Pram menolak takluk oleh keadaan yang mencekik. Ia memilih meninju wajah takdir dengan seluruh manifestasi yang ditampakkannya. Pram tidak tersungkur di balik batubesar penuh airmata meratapi nasib, tidak mengutuk-sumpahi keras keseharian yang dijalaninya. Ia seorang petarung dalam arti sebenar-benarnya. Pram dan sesama tapol setiap hari melakukan kegiatan kerja-kobar yang mengandalkan tenaga fisik, memeras kesabaran. Para tapol dihukum dipaksa terus bekerja tiada henti membabat hutan belukar yang masih perawan guna membangun infrastruktur dan perluasan persawahan.
Di tengah aktivisme sebagai tapol, Pram masih membagi waktu untuk kegiatan kerja-tekun berupa membaca, menulis, dan mengajar. Perhatian dan pikirannya seperti tidak pernah tidur memikirkan Indonesia dan persoalan yang dihadapi negeri tercinta meliputi banyak aspek: sejarah, hak asasi manusia, pendidikan, ekonomi maritim, demokrasi, dan kebudayaan. Semua itu ia refleksikan untuk kemudian dituangkan lewat tulisan. Ajaibnya, Pram lakukan itu dalam keadaan krisis dan penuh tekanan, belum terhitung selusin perlakuan tidak adil dan sarat kekerasan yang dialaminya sebelumnya. Bandingkan dengan kehidupan eksponen Manikebu, bekas rival Pram (dan Lekra) dilapangan kebudayaan, ideologi dan politik itu yang sedang di atas angin, yang begitu mudah mendapat akses dan fasilitas serta terbuka lebar ruang pengembangan diri dan literatur yang berlimpah.
Jiwa Pram pernah terpukul hebat ketika pada suatu hari perpustakaan dan dokumentasi sejarah yang telah ia bangun selama kurang lebih 20 tahun dihancur-binasakan. Peristiwa itu terjadi setelah Pram diambil paksa dari rumah dan dibawa ke Kostrad. Padahal Pram telah berpesan kepada mereka yang mengambilnya agar menyelamatkan perpustakaan dan dokumentasi tersebut. Kalau pemerintah mau ambil, ambillah, asal diselamatkan. Karena bagaimana pun, kata Pram, akan sangat berguna bagi kepentingan nasional. Menghancurkan perpustakaan dan dokumentasi sama halnya memusuhi ilmu pengetahuan, menghancurkan tonggak-tonggak peradaban, memacetkan upaya kemajuan dan akal sehat. Rezim telah berbuat sewenang-wenang pada seorang pengarang brilian dan pejuang kemerdekaan asal Blora itu. Hanya mereka yang idiot dan berjiwa binatang yang tanpa malu melakukannya. Namun, sejarah adalah matahari yang tak bisa mereka sembunyikan terang cahayanya.
Saya kira, Pram dengan gigih telah menunjukkan dedikasi intelektual yang berakar kuat pada kekuatan cinta akan hidup, yang takkan bisa dipatahkan oleh taufan sekalipun. Dan mendadak teringat bebaris sajak WS Rendra: "Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh. Hidup adalah untuk mengolah hidup. Bekerja membalik tanah memasuki langit dan samodra. Kita menyandang tugas. Karena tugas adalah tugas. Bukan demi sorga atau neraka. Tapi demi kehormatan manusia."
Jika ada orang bertanya kepada saya siapa sosok yang tepat dikalungi sajak WS Rendra itu dilehernya, dengan tandas saya menyebut Bung Pram. Bagi Pram, hidup adalah berkarya tiada batas meski dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun. "Bunuhlah aku bila tak dibutuhkan lagi oleh kehidupan." tulis Pram mendeskripsikan prinsip pribadi. Apabila ada sesuatu yang tampak dianggap masalah bagi Pram di pulau Buru, hal itu hanya terkait soal literatur bacaan. Di pulau Buru buku-buku terbatas sekali. Pram membaca apa saja yang bisa ia baca, majalah Amerika terbitan Serikat Jesuit adalah salah satu yang paling disukainya.
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang melarat, mendesak Pram berpikir cerdas, mencari alternatif solusi agar aktualisasi kognitif bisa jalan terus. Untuk mengongkosi kebutuhan fasilitas menulis, Pram melihara delapan ekor ayam dan telurnya ia jual ke pejabat di pulau Buru. Hasil jualan ia gunakan untuk membeli kertas, syarat mutlak bagi keberlangsungan menulis. Dari situlah Pram menafasi kerja kreatif.
Apa alasan penyebab Pram dan sesama tapol di buang ke pulau Buru? Jawabnya lucu dan sulit dimengerti: dituduh pengkhianat oleh aparatus Orde Baru yang baru saja naik takhta dan didukung blok-imperialis yang bahu-membahu sukses mengkudeta presiden Sukarno dan secara bertahap namun sistematis menyingkirkan prinsip-prinsip sosialisme Indonesia diganti konsep pembangunan berkiblat kapitalisme melalui serangkaian siasat, manipulasi, serta teror berkelanjutan. Para tapol macam Pram dan sesama disebut pemutar-balik Pancasila. Dan selalu, tanpa pernah Orde Baru membuktikan tuduhan mereka itu.
Banyak sekali korban dijebloskan ke penjara atau dilempar ke pulau pembuangan tanpa proses hukum dan pengadilan. Yang lain mendapat jatah langsung dibunuh, atau diculik kemudian dibunuh belakangan. Seluruh rangkaian praktik ini memperlihatkan kejahatan negara Orde Baru terhadap kemanusiaan dan keadilan. Dampaknya di pelbagai sektor amat terasa hingga sekarang dengan sub-sub persoalan yang semakin menggurita. Sejak itu sisi gelap berkalang aib menghiasi lembaran sejarah modern Indonesia. Mengapa terjadi? Mungkin mereka para korban adalah orang-orang benar, dan kebenaran merupakan musuh paling ditakuti kekuasaan yang keji dan korup.
Marlon Mochtar
0 Response to "Membaca Pram"
Post a Comment