Syahadat Bumi
Friday, December 23, 2016
Add Comment
Doa yang dilantunkan Gunretno dan Sukinah--para petani Kendeng--di acara Mata Najwa kemarin malam sepertinya sedang manampar persaksian tauhid kita bersama. Lihat bait-bait doanya:
"Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili, La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah."
Bait-bait ini seolah ingin mengingatkan kaitan paling awal antara kata "iman" dan "syukur". Jauh sebelum ia menjadi kata yang sering dilawankan dengan kata “kufur”, pada mulanya kata "iman" justru adalah sinonim dari kata "syukur". Dan syukur adalah lawan kata kufur. Orang dianggap tidak bersyukur atas karunia-Nya—termasuk di dalamnya atas sumberdaya alam—dikatakan adalah orang yang kafir atau kufur, alias “menutup” dan “mengingkari” diri dari karunia-Nya, alih-alih berterimakasih atas anugerah tersebut.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu kafir atas (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS.ibrahim 14: 7)
Iman adalah sebentuk kesadaran bahwa seluruh anugerah Allah atas kehidupan di bumi ini--dari sudut tauhid kita--sungguh benar-benar berasal dari-Nya, dan manusia dituntut untuk berterima kasih, serta sesuai mandat kekhalifahannya, disuruh merawat dan mengelolanya dengan cara bijak untuk kepentingan kemanusiaan dengan visi luas dan panjang dalam frame tauhid.
Orang kafir dengan begitu pada awalnya adalah orang yang menolak visi "keberterimakasihan” ini. Mereka hanya mengingat anugerah Tuhan di saat-saat terjepit, dan melupakan anugerah-Nya, atau bahkan menyalahgunakan karunia-Nya di saat longgar.
Bumi ini sebagai anugerah Allah telah banyak memberi, begitu bait awal doa itu dilantunkan. Dan kita tahu akhir-akhir ini, ibu bumi sedang disakiti, dieksploitasi, dan dikeruk atas nama keuntungan koorporasi yang merusak. Dan para pemimpin negeri ini justru menjadi aktor yang melapangkan jalan ini. Kita, orang-orang yang sering dengan gagah mengaku beriman, yang berulang kali melafalkan syahadat dalam keintimam sholat kita, sebagaimana disitir dalam bait lagu-lagu di atas, justru abai terhadap fakta eksploitasi yang mengancam.
Karena mungkin persaksian syahadat kita tak lagi ampuh menggerakkan laku kita ihwal pencegahan eksploitasi ini. Syahadat kita berhenti nyaris setelah dua salam kita selesai. Atau mungkin kita perlu menunggu ibu bumi mengadili kita bersama. Agar syahadat kita masih menjangkar tanah; Agar sembah kita juga berkait dengan bumi dan manusia yang menjejak di atasnya.
Doa para petani Kendeng mungkin juga sedang ingin mengingatkan kita bersama betapa dunia juga laku kita mengelola bumi—termasuk laku beragama kita—benar-benar telah disesaki oleh yang maskulin. Mengeruk daripada merawat; menguras daripada menanam; mengeksploitasi daripada melestarikan.
Ibu bumi ingin mengingatkan yang feminim dari dan dalam diri kita. Ia ingin memberi peringatan bahwa yang feminim nyaris tergusur oleh hasrat maskulin kita yang hari-hari ini sedang bersimaharajalela. Praktik kita mengelola bumi ini juga praktik beragama kita akhir-akhir ini berjalan dalam langgam mengeruk daripada merawat; membenci daripada mengasihi; menarik batas daripada merangkul; mengekploitasi daripada menumbuhkan.
Barangkali sikap agresif kita terhadap alam dan terhadap kenyakinan juga pandangan yang berbeda telah membutakan hati kita dari rasa welas asih yang dulu diajarkan para “ibu” kita yang membesarkan kita dengan cinta. Dan para “ibu” petani Kendeng itu sekali lagi ingin menarik kita kembali memeluk ajaran “ibu bumi” tentang sikap merawat dan mencintai, agar sifat rahim Tuhan menafasi perilaku kita terhadap alam dan sesama, layaknya kita yang baru keluar dari rahim “ibu” kita.
Di hari ibu ini, ibu bumi melalui para "ibu" petani di Kendeng, sedang mengingatkan kita akan pentingnya syahadat yang menjejak bumi.
Doaku untukmu.
Irfan Afifi
"Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili, La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah."
Bait-bait ini seolah ingin mengingatkan kaitan paling awal antara kata "iman" dan "syukur". Jauh sebelum ia menjadi kata yang sering dilawankan dengan kata “kufur”, pada mulanya kata "iman" justru adalah sinonim dari kata "syukur". Dan syukur adalah lawan kata kufur. Orang dianggap tidak bersyukur atas karunia-Nya—termasuk di dalamnya atas sumberdaya alam—dikatakan adalah orang yang kafir atau kufur, alias “menutup” dan “mengingkari” diri dari karunia-Nya, alih-alih berterimakasih atas anugerah tersebut.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu kafir atas (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS.ibrahim 14: 7)
Iman adalah sebentuk kesadaran bahwa seluruh anugerah Allah atas kehidupan di bumi ini--dari sudut tauhid kita--sungguh benar-benar berasal dari-Nya, dan manusia dituntut untuk berterima kasih, serta sesuai mandat kekhalifahannya, disuruh merawat dan mengelolanya dengan cara bijak untuk kepentingan kemanusiaan dengan visi luas dan panjang dalam frame tauhid.
Orang kafir dengan begitu pada awalnya adalah orang yang menolak visi "keberterimakasihan” ini. Mereka hanya mengingat anugerah Tuhan di saat-saat terjepit, dan melupakan anugerah-Nya, atau bahkan menyalahgunakan karunia-Nya di saat longgar.
Bumi ini sebagai anugerah Allah telah banyak memberi, begitu bait awal doa itu dilantunkan. Dan kita tahu akhir-akhir ini, ibu bumi sedang disakiti, dieksploitasi, dan dikeruk atas nama keuntungan koorporasi yang merusak. Dan para pemimpin negeri ini justru menjadi aktor yang melapangkan jalan ini. Kita, orang-orang yang sering dengan gagah mengaku beriman, yang berulang kali melafalkan syahadat dalam keintimam sholat kita, sebagaimana disitir dalam bait lagu-lagu di atas, justru abai terhadap fakta eksploitasi yang mengancam.
Karena mungkin persaksian syahadat kita tak lagi ampuh menggerakkan laku kita ihwal pencegahan eksploitasi ini. Syahadat kita berhenti nyaris setelah dua salam kita selesai. Atau mungkin kita perlu menunggu ibu bumi mengadili kita bersama. Agar syahadat kita masih menjangkar tanah; Agar sembah kita juga berkait dengan bumi dan manusia yang menjejak di atasnya.
Doa para petani Kendeng mungkin juga sedang ingin mengingatkan kita bersama betapa dunia juga laku kita mengelola bumi—termasuk laku beragama kita—benar-benar telah disesaki oleh yang maskulin. Mengeruk daripada merawat; menguras daripada menanam; mengeksploitasi daripada melestarikan.
Ibu bumi ingin mengingatkan yang feminim dari dan dalam diri kita. Ia ingin memberi peringatan bahwa yang feminim nyaris tergusur oleh hasrat maskulin kita yang hari-hari ini sedang bersimaharajalela. Praktik kita mengelola bumi ini juga praktik beragama kita akhir-akhir ini berjalan dalam langgam mengeruk daripada merawat; membenci daripada mengasihi; menarik batas daripada merangkul; mengekploitasi daripada menumbuhkan.
Barangkali sikap agresif kita terhadap alam dan terhadap kenyakinan juga pandangan yang berbeda telah membutakan hati kita dari rasa welas asih yang dulu diajarkan para “ibu” kita yang membesarkan kita dengan cinta. Dan para “ibu” petani Kendeng itu sekali lagi ingin menarik kita kembali memeluk ajaran “ibu bumi” tentang sikap merawat dan mencintai, agar sifat rahim Tuhan menafasi perilaku kita terhadap alam dan sesama, layaknya kita yang baru keluar dari rahim “ibu” kita.
Di hari ibu ini, ibu bumi melalui para "ibu" petani di Kendeng, sedang mengingatkan kita akan pentingnya syahadat yang menjejak bumi.
Doaku untukmu.
Irfan Afifi
0 Response to "Syahadat Bumi"
Post a Comment