Kembali Ke Nahdliyin

Beberapa hari lalu saya kembali mengunjungi kota dimana saya banyak belajar dan diajari oleh orang –orang yang saya kenal. Kebetulan saya mendapatkan dua undangan perkawinan kawan saya. Tetiba saya di stasiun Purwosari, saya bertemu dengan orang baru. Obrolan basa basi menjadi pengantar keakraban sampai pada satu pembahasan dimana saya mengaku bahwa pernah kuliah di ilmu hukum Universitas Sebelas Maret (UNS).

Obrolan semakin serius membahas dunia mahasiswa saat menyebutkan nama sahabatnya Bahar Sani, saat ini menjabat Ketua PMII Surakarta yang juga dalam hal tertentu memanggil saya dengan sebutan “Sahabat Yogo”. Rupanya lawan bicara saya ini bernama Susilo yang tak lain juga salah seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Susilo menceritakan profil serta ketenaran Bahar baik diluar maupun di kampus, sampai pada akhirnya dia penasaran dengan saya. Singkat saja saja jawaban saya “jenengku Prayogo Mas, arek Suroboyo. Kon takok ae nang Bahar sopo aku (namaku Prayogo Mas, orang Surabaya. Kamu tanya saja ke Bahar siapa saya)”.

Dia mengira bahwa saya juga kader PMII karena berasal dari Jawa Timur, belum juga saya tidak-kan dia melanjutkan obrolannya mengenai aktifitas PMII di kampus termasuk salah satunya menggagas gerakan Kentingan Bersholawat dan aktifitas lainnya. Rupanya kawan ini masih ingat pertanyaan yang belum saya jawab. Sampeyan iki yo kader NU to? (Kamu ini kader NU kan?) Dan saya menjawab “Aku alumni Daurah Marhallah papat (DM 4), Cuk! (Saya alumni DM 4) Hahaha. Sampeyan lak ngertine DM iku sampe telu kan? Aku wes papat, daripada bingung sampeyan goleki ae nang google key word e kultural (Kamu taunya DM sampai tiga kan? Aku sudah empat, dari pada bingung searching aja di google key word nya kultural)”. Saya jelaskan, Dauroh Marhalah adalah sarana pintu masuk organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

“Bajingan! Opo maneh iku sampe papat? Koe mesti nge-bid’ah ke aku iki. Waaah ndadakno sampeyan iki wong kono”. (Apalagi itu sampai empat? Kamu pasti mem-bid’ah- kan aku. Wah ternyata kamu ini orang sana). Sumpah serapah ala wong jawa timuran dilontarkan dan saya hanya tertawa “haha jancuk aku dipisui! (Wah aku disumpahi)”. Obrolan tidak berlangsung lama karena Go-Jek pesanan saya sudah datang untuk mengantar saya ke resepsi perkawinan kawan saya. Sampai ketemu di lain waktu sahabat.

Kembali Pulang

Setelah lima tahun hidup di Surakarta, maka pada akhir Oktober 2016 lalu saya memutuskan untuk kembali ke Surabaya dahulu. Rasa canggung menghinggapi, walaupun kampung halaman sendiri tapi kira – kira dua tahun saya tidak pulang, pulangpun hanya beberapa hari untuk menghadiri suatu undangan, selanjutnya kembali lagi ke Surakarta.

Saat adzan tiba saya bergegas ke masjid. Selang beberapa saat iqamah dan solat dimulai. Tanpa lama imam bertakbir tanda dimulainya solat, “eh, iki la kok gak dirapetno sek shaf e? Ujug – ujug wes takbir ae (La ini kenapa tidak dirapatkan dahulu shafnya? Tiba – tiba sudah takbir saja)”. Sudah menjadi kebiasaan ketika di Surakarta, baik di kampus, di kampung, dekat kantor ataupun di masjid – masjid lainnya imam mengingatkan makmumnya untuk merapatkan shaf, bahkan ada jika kaki belum menempel ke kanan kiri makmum solat belum dimulai. Selesai solat, rata – rata di Surakarta doa sesudah solat dilakukan sendiri – sendiri tanpa bersuara dan dilanjutkan dengan solat sunnah rawatib.

Teringat obrolan liar saat bertemu Susilo di Surakarta mengenai bid’ah. Istilah bid’ah ini rupanya menyinggung hati warga Nahdlatul Ulama (NU), ketika menjalankan solat Jum’at pada 23 Desember lalu di Masjid Al – Marsu’ah. Sang kyai dalam ceramahnya mengingatkan bahwa awal mula perayaan maulid Nabi adalah ketika Sholahuddin Al Ayubi berinisiatif untuk meningkatkan kecintaan umat muslim kepada Rasulullah dengan memperingati maulid Nabi Muhammad.

Apakah saya termasuk pada golongan yang mem-bid’ah-kan itu? Itu tidak sepenuhnya benar saudaraku. Latar belakang saya sebelum ke Surakarta diwarnai oleh warga Nahdiyin. Ibu saya tergabung dalam majlis taklim NU, saya dahulu mengaji dengan ‘guru’ yang merupakan pengurus NU sehingga menurut saya tidak perlu diragukan lagi ke-NU-annya, masjid dekat rumah saya bernama Al – Marsu’ah yang juga pasti kental ala NU: sholawatan antara adzan dan iqamah, shubuh dengan qunut, imam mengeraskan suara doa setelah solat, tahlil setiap kamis malam dan kegiatan keagamaan yang jarang dan bahkan tidak pernah saya ikuti selama tinggal di Surakarta.

Memang dalam aktifitas tertentu saya memilih untuk ke masjid dan majelis taklim yang sesuai dengan hati saya. saya sendiripun masih belajar untuk mencari tahu mana yang benar menurut hati saya. Kegalauan ini pernah saya bahas dengan senior saya Dharma Setyawan, pegiat diskusi kamisan di Metro Lampung ketika sedang mengikuti International Conference On University – Community Engagement di UIN Sunan Ampel Surabaya. Pesannya sederhana, kurang lebih “kembalilah, kembali dari mana asalmu dibentuk, jangan terkotakkan dengan pahammu sendiri dan berpikirlah terbuka”. Secara sederhana Dharma juga mencontohkan kawan lain bernama Umar, alumnus UGM dan University Of Sheffield editor di kammikultural.org dimana sampai saat ini masih kental dengan Muhammadiyahnya.

Pengalaman spiritual ini mengantarkan kemana hati saya memilih. Berbeda cara pandang bukan berarti saya tidak mengikuti solat berjamaah di masjid dekat rumah, demi kemaslahatan yang lebih besar baiknya memang mengikuti kebiasaan yang sudah tercipta lama sambil berkomunikasi dengan jemaah masjid, toh juga jemaah masjid ini masih mengingat saya sebagai peserta didik unyu yang dahulu belajar dari Iqra satu. Tidak semerta – merta pula dengan gampangnya mengatakan bid’ah, apalagi memperdebatkan itu dengan Ibu saya, bisa – bisa dikutuk menjadi patung buaya nanti.

Prayogo Kurnia (Konsultan di  Kantor Hukum Donald R.O. Pardosi & Partners)

0 Response to "Kembali Ke Nahdliyin"

Post a Comment