Fir'aun
Tuesday, February 7, 2017
Add Comment
Jutaan umat Islam dibuat jengkel oleh ulah seorang gubernur dan beberapa pejabat yang membekinginya. Semua seolah boleh diperbuat meski nalar dan hukum dipermainkan sesuka nafsu. Tapi jujur, perilaku yang dipertontonkan hari ini begitu kasar dan semena-mena bukan tanpa "teladan".
Tersebutlah nama Daoed Joesoef, nama agung di kalangan tersenyap penyokong rezim sekarang. Bapak intelektual yang begitu radikal dan fundamentalis menolak keterlibatan agama dalam domain publik. Sebagai penganut sekuler garis keras, mantan Menteri Pendidikan era Suharto ini dapat dilihat dari autobiografinya: Dia dan Aku. Sebuah buku yang menjelaskan isi kepala Daoed yang masih mendaku muslim tapi pikiran dan ucapannya begitu "mengerikan".
Bila Pramoedya A Toer sempat bermusuhan semasa jayanya dengan Hamka, di usia senja kenangan silam tak mesti diungkit buat saling serang. Beda dengan Daoed, di bukunya itu ia umbar kebencian pada seorang ulama yang kalau dari cirinya tidak ada lain kecuali Hamka.
Dalam autobiografinya, sosok ulama itu dikatakan "penjilat dan pemain sandiwara ulung (hebat)"; pintar memanfaatkan atau menyalahgunakan Islam demi kedudukan dan kenikmatan dunia di masa pendudukan Jepang.
Hamka punya "cacat", kita akui ada. Salah satunya pernah menjadi propagandis Jepang di Medan. Kota yang menjadi saksi Daoed kecil merekam kiprah Hamka. Kala 80 tahun usia Daoed, bijak dan adil menilai Hamka masih sukar. Hamka baginya hanya ulama dunia yang pintar cari muka. Entah kenapa begitu keras bahasa Daoed kepada almarhum.
Menyimak tulisan Daoed, saya akhirnya mafhum. Gubernur Jakarta dan gang pengikutnya yang tak sedikit intelektual jebolan kampus bonafid hanya mencontoh Daoed; lelaki yang digosipkan level tinggi di organisasi rahasia (soal ini belum terkonfirmasi karena organisasi itu pasti tak sembarangan buka suara).
Ialah lelaki itu. Lelaki yang menantang ketika seorang menteri menyebut kemerdekaan merupakan hadiah umat Islam. Lelaki yang pasang badan menolak SKB 3 Menteri soal pendirian tempat ibadah. Lelaki yang menolak pembangunan masjid/mushala di kampus-kampus. Lelaki yang anti jilbab dan Aktivisme mahasiswa. Lelaki yang vokal mendukung pembubaran departemen Agama. Lelaki yang benci ada uluk salam Islami di rapat kementerian. Lelaki yang menghardik, "Jangan kearab-araban!" Lelaki yang oleh angkatan NKK/BKK ia disematkan sebagai "fir'aun". Jauh sebelum ada gubernur ibu kota bertingkah bak Fir'aun, pernah ada pejabat kementerian selalu menantang umat Islam.
Hari ini, ia masih setia menanti ajal dengan genggaman isme yang diimaninya. Masih dengan sabar melihat anak-anak didiknya menjadi pembeking rezim. Sembari itu ia sesekali berkhotbah di rubrik opini koran Palmerah. Opini yang sakral bagi para pemuja Daoed Joeseof. Lelaki di umur kepala sembilan kini tapi masih setia mengumbar dendam pada pihak yang bersebelahan pendapat di masa silam. Dari Hamka, Alamsjah Perwiranegara, sampai Suharto sang atasan dulu.[]
Yusuf Maulana
Tersebutlah nama Daoed Joesoef, nama agung di kalangan tersenyap penyokong rezim sekarang. Bapak intelektual yang begitu radikal dan fundamentalis menolak keterlibatan agama dalam domain publik. Sebagai penganut sekuler garis keras, mantan Menteri Pendidikan era Suharto ini dapat dilihat dari autobiografinya: Dia dan Aku. Sebuah buku yang menjelaskan isi kepala Daoed yang masih mendaku muslim tapi pikiran dan ucapannya begitu "mengerikan".
Bila Pramoedya A Toer sempat bermusuhan semasa jayanya dengan Hamka, di usia senja kenangan silam tak mesti diungkit buat saling serang. Beda dengan Daoed, di bukunya itu ia umbar kebencian pada seorang ulama yang kalau dari cirinya tidak ada lain kecuali Hamka.
Dalam autobiografinya, sosok ulama itu dikatakan "penjilat dan pemain sandiwara ulung (hebat)"; pintar memanfaatkan atau menyalahgunakan Islam demi kedudukan dan kenikmatan dunia di masa pendudukan Jepang.
Hamka punya "cacat", kita akui ada. Salah satunya pernah menjadi propagandis Jepang di Medan. Kota yang menjadi saksi Daoed kecil merekam kiprah Hamka. Kala 80 tahun usia Daoed, bijak dan adil menilai Hamka masih sukar. Hamka baginya hanya ulama dunia yang pintar cari muka. Entah kenapa begitu keras bahasa Daoed kepada almarhum.
Menyimak tulisan Daoed, saya akhirnya mafhum. Gubernur Jakarta dan gang pengikutnya yang tak sedikit intelektual jebolan kampus bonafid hanya mencontoh Daoed; lelaki yang digosipkan level tinggi di organisasi rahasia (soal ini belum terkonfirmasi karena organisasi itu pasti tak sembarangan buka suara).
Ialah lelaki itu. Lelaki yang menantang ketika seorang menteri menyebut kemerdekaan merupakan hadiah umat Islam. Lelaki yang pasang badan menolak SKB 3 Menteri soal pendirian tempat ibadah. Lelaki yang menolak pembangunan masjid/mushala di kampus-kampus. Lelaki yang anti jilbab dan Aktivisme mahasiswa. Lelaki yang vokal mendukung pembubaran departemen Agama. Lelaki yang benci ada uluk salam Islami di rapat kementerian. Lelaki yang menghardik, "Jangan kearab-araban!" Lelaki yang oleh angkatan NKK/BKK ia disematkan sebagai "fir'aun". Jauh sebelum ada gubernur ibu kota bertingkah bak Fir'aun, pernah ada pejabat kementerian selalu menantang umat Islam.
Hari ini, ia masih setia menanti ajal dengan genggaman isme yang diimaninya. Masih dengan sabar melihat anak-anak didiknya menjadi pembeking rezim. Sembari itu ia sesekali berkhotbah di rubrik opini koran Palmerah. Opini yang sakral bagi para pemuja Daoed Joeseof. Lelaki di umur kepala sembilan kini tapi masih setia mengumbar dendam pada pihak yang bersebelahan pendapat di masa silam. Dari Hamka, Alamsjah Perwiranegara, sampai Suharto sang atasan dulu.[]
Yusuf Maulana
0 Response to "Fir'aun"
Post a Comment