Kelas Menengah dan Kebijakan Publik

Ada hal menarik mencermati World Bank Development Report 2017. Disebutkan, seiring pertumbuhan ekonomi yang demikian cepat di sejumlah negara Asia, terutama India, Indonesia, China, dan Vietnam dalam dua dekade terakhir, kelas menengah pun tumbuh dengan sangat pesat.

Di Indonesia, dari hanya 7 juta orang kelas menengah pada 1995, kini berkembang menjadi hampir 50 juta orang. Namun, hal tersebut tak serta merta membuat kemiskinan terpangkas signifikan dan kesejahteraan merata. Bertambahnya kelas menengah juga diikuti melebarnya gap sosial ekonomi dan problem perkotaan. Kelas menengah bertambah, kesejahteraan rakyat bawah terangkat, namun peningkatannya tak sebanding dengan lonjakan kekayaan kelas orang-orang superkaya, dan kelas menengah ke atas yang jumlahnya tak besar dari keseluruhan populasi.

Kelas menengah menumpuk dan sulit bergerak ke atas lagi, bahkan sebagian kelas menengah rawan turun lagi ke bawah, khususnya di tengah situasi ekonomi dunia yang fluktuatif.

Report tersebut menyebut, problemnya pada kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi mata rantai yang hilang dari kemungkinan terjadinya pemerataan kue ekonomi hasil pertumbuhan. Sementara kelas menengah tak mendapat layanan publik dan akses ekonomi yang sama untuk berperan lebih jauh di bidang ekonomi, meski jumlahnya bertambah banyak. Mereka besar dalam jumlah, namun lemah dalam akses dan kekuatan ekonomi, sehingga keberadaannya lemah dalam relasinya dengan kelas atas dan kaum elite.

Ada enam persoalan terkait kebijakan publik yang dalam hal ini menjadi rantai yang putus: kebijakan yang tidak efektif; minimnya komiten, koordinasi, dan konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan; kebijakan yang asimetris atau tak adil, yang dapat menyebabkan terjadinya eksklusi dan klientalisme; kurangnya rule of law dan role of law; minimnya insentif atas kebijakan yang dibuat; dan gabungan di antara persoalan-persoalan tersebut.

Jika dicermati, dua tahun terakhir, laporan tahunan Bank Dunia lebih tampak sosialis dibanding sebelum-sebelumnya. Setelah dua tahun berturut-turut fokus pada problem ketimpangan, kali ini agak lebih progresif pada kebijakan negara.

Hal yang menarik lain yang juga disinggung adalah bahwa penggusuran adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik yang tak efektif, asimetris, dan kian memperparah ketimpangan.[]

Mohamad Burhanudin

0 Response to "Kelas Menengah dan Kebijakan Publik"

Post a Comment